Perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-79 mendorong saya untuk membaca kembali sejarah peristiwa proklamasi. Saya teringat dengan apa yang ditulis oleh Bung Karno dalam otobiografinya.Â
Tidak seperti menyimak pelajaran sejarah di kelas yang terkesan membosankan dan biasanya hanya diminta untuk menghafal nama tokoh, waktu dan peristiwa.
Membaca sejarah dari buku yang ditulis langsung oleh pelaku utama sejarahnya memberikan kepuasan pengetahuan tersendiri karena bisa mengetahui konteks kejadian sejarah secara lebih mendalam.
Dari buku Penyambung Lidah Rakyat inilah pertama kali saya mengetahui bahwa peristiwa proklamasi berlangsung dengan penuh keterbatasan.Â
Tidak ada kemegahan dan kemeriahan dari peristiwa yang telah ditunggu dan diperjuangkan oleh rakyat Indonesia selama ratusan tahun ini.
Seperti yang diceritakan oleh Bung Karno "Dan peristiwa itu tidak sama dengan apa yang telah kuangankan dalam kuburanku yang gelap di Banceuj dulu.Â
Tidak dengan terompet yang megah, tidak diiringi paduan merdu dari nyanyian bidadari-bidadari.Â
Tidak ada upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira berpakaian seragam. Ia tidak diabadikan oleh wartawan juru potret dan pidato-pidato yang menggairahkan.Â
Ia tidak dimeriahkan oleh para pembesar pakai celana bergaris-garis, pun tidak oleh wanita-wanita cantik berbaju satin dengan perhiasan intan-berlian. Dan pun tempatnya bukanlah ruangan mahkota dari istana Ratu Juliana."
Wajar, kesederhanaan peristiwa penyusunan dan pembacaan proklamasi ini terjadi dalam situasi yang amat berat.Â
Jepang, yang walaupun sudah menyerah dalam perang masih berwenang untuk membatalkan proklamasi kemerdekaan karena diminta untuk mempertahankan status quo oleh pemenang perang.
Peristiwa menjelang kemerdekaan juga diliputi oleh ketegangan yang tinggi. Golongan pemuda memaksa Soekarno untuk segera menyatakan kemerdekaan. Soekarno menolak sehingga golongan pemuda memutuskan untuk menculiknya.
Penculikan ini membuat rapat persiapan kemerdekaan terakhir yang mestinya berlangsung pada 16 agustus pagi harus tertunda hingga tengah malamnya, dan membuat Bung Karno dan Bung Hatta tidak tidur selama 2 hari.
Tidak ada seremonial selayaknya acara pemerintahan yang kita ketahui, tidak ada sambutan-sambutan untuk petinggi, tidak ada susunan acara, tidak ada protokol.
Tiang bendera hanya dari bambu yang dipotong secara tergesa-gesa, naskah proklamasi tidak ditulis di perkamen emas, melainkan ditulis di kertas sobekan buku tulis anak sekolah. Bendera resmi pertama Republik Indonesia dijahit dengan tangan oleh Ibu Fatmawati dari 2 potong kain.Â
Seeprti yang dilukiskan oleh Bung Karno, "Upacara sederhana saja. Akan tetapi apa-apa yang kurang dalam kemegahannya, kami penuhi dalam pengharapan."
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H