Perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke-79 mendorong saya untuk membaca kembali sejarah peristiwa proklamasi. Saya teringat dengan apa yang ditulis oleh Bung Karno dalam otobiografinya.Â
Tidak seperti menyimak pelajaran sejarah di kelas yang terkesan membosankan dan biasanya hanya diminta untuk menghafal nama tokoh, waktu dan peristiwa.
Membaca sejarah dari buku yang ditulis langsung oleh pelaku utama sejarahnya memberikan kepuasan pengetahuan tersendiri karena bisa mengetahui konteks kejadian sejarah secara lebih mendalam.
Dari buku Penyambung Lidah Rakyat inilah pertama kali saya mengetahui bahwa peristiwa proklamasi berlangsung dengan penuh keterbatasan.Â
Tidak ada kemegahan dan kemeriahan dari peristiwa yang telah ditunggu dan diperjuangkan oleh rakyat Indonesia selama ratusan tahun ini.
Seperti yang diceritakan oleh Bung Karno "Dan peristiwa itu tidak sama dengan apa yang telah kuangankan dalam kuburanku yang gelap di Banceuj dulu.Â
Tidak dengan terompet yang megah, tidak diiringi paduan merdu dari nyanyian bidadari-bidadari.Â
Tidak ada upacara keagamaan yang khidmat. Tidak ada perwira-perwira berpakaian seragam. Ia tidak diabadikan oleh wartawan juru potret dan pidato-pidato yang menggairahkan.Â
Ia tidak dimeriahkan oleh para pembesar pakai celana bergaris-garis, pun tidak oleh wanita-wanita cantik berbaju satin dengan perhiasan intan-berlian. Dan pun tempatnya bukanlah ruangan mahkota dari istana Ratu Juliana."
Wajar, kesederhanaan peristiwa penyusunan dan pembacaan proklamasi ini terjadi dalam situasi yang amat berat.Â