Aurora mengirim tangkapan layar chat Fandi. Davira langsung membalas panjang, seperti sudah tahu betul kebiasaan sahabatnya ini.
"Ra, kita nggak punya tanggung jawab terhadap perasaan orang lain, selama kamu nggak pernah memberi harapan. Justru, sikap jujur kamu itu bentuk tanggung jawab. Kalau dia tetap kekeh meski kamu sudah menolak, itu bukan urusan kamu lagi. Kamu cukup buat batasan, jangan sampai itu mengganggu kesehatan mentalmu."
Aurora membaca dengan seksama, setuju dengan kata-kata sahabatnya. Davira menambahkan, "Pokoknya, jangan biarkan orang lain membuatmu merasa bersalah atas sesuatu yang bukan salahmu. Kamu sudah jujur, itu cukup."
Davira menutup ceramahnya dengan nada ringan. "Sudah ya, mandi, sarapan. Nanti aku jemput, kita healing bareng. Jangan mikirin yang nggak perlu. Semangat, Ra!"
Aurora tersenyum. Pesan itu menenangkan hatinya. Ia mengetik balasan singkat. "Makasih, Vir. Aku anggap case closed. Nanti aku curhat yang lain ya. Hehe."
Sambil menatap jendela, Aurora menarik napas panjang. Dalam hati, ia berjanji untuk lebih tegas pada dirinya sendiri. Ia tak bisa bertanggung jawab atas perasaan orang lain. Tapi ia bisa bertanggung jawab menjaga dirinya.
"Kita bukan bertanggung jawab atas perasaan orang lain, tapi kita bertanggung jawab untuk jujur pada mereka dan diri sendiri."
Cerita ini juga ada di blog saya nyusunkata
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H