Aurora terbangun lagi di tengah malam, tepat pukul 03.14. Suara notifikasi WhatsApp memecah keheningan, membuatnya menggerutu. Baru saja ia berhasil memejamkan mata setelah berjam-jam bergulat dengan pikirannya yang tak henti-henti bekerja---overthinking, istilah yang sering ia dengar.
Berusaha mengabaikan pesan itu, Aurora menarik selimut, mencoba kembali tidur. Tapi otaknya kembali aktif, bertanya-tanya siapa yang mengiriminya pesan dini hari begini. Setelah beberapa menit bergumul, ia menyerah, meraih ponselnya dan menggulirkan bilah notifikasi.
"Orang jahat."
Hanya dua kata itu yang muncul di layar. Pesan dari Fandi, mantan senior kampusnya yang beberapa waktu lalu ia tolak secara halus. Aurora terdiam, perasaan campur aduk menguasai dirinya.
Fandi, pikirnya. Ia mengomentari status WhatsApp Aurora yang berisi foto barang kesayangannya yang mulai rusak. Tidak ada kaitannya dengan perasaan, tidak ada kata-kata buruk. Namun Aurora tahu, pesan itu lebih dari sekadar komentar. Ini adalah ungkapan perasaan yang masih tersisa---kekecewaan, mungkin.
Aurora memutar ingatan, mencari apakah ia pernah bersikap tidak baik pada Fandi. Beberapa minggu lalu, Fandi memang memintanya untuk "berkomitmen" tanpa memberi kepastian. Tapi Aurora dengan jujur menolak. Ia tidak memiliki perasaan terhadap Fandi. Ia juga merasa tak pernah memberi harapan, hanya membalas chat seperlunya, tanpa nada yang bisa disalahartikan.
Namun, meski penolakan itu dilakukan dengan hati-hati, tampaknya Fandi masih menyimpan perasaan. Dan kini Aurora terjaga sampai adzan Subuh, pikirannya tak berhenti memutar skenario tentang apa yang harus ia lakukan.
Pukul 08.18, Aurora terbangun dengan kesimpulannya. Ia langsung mengetik pesan untuk Davira, sahabat sekaligus psikolog pribadinya.
"Sepertinya saya bertanggung jawab membalas perasaan orang-orang." Pesan itu diakhiri dengan emoji senyum.
Davira, seperti biasa, merespons dengan santai. "Masih pagi aku udah diteror sama si Pisces overthinking. Apa lagi ini?"