Mohon tunggu...
Muhammad Ikbal Efer
Muhammad Ikbal Efer Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan

Law - Criminal Law

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kejahatan Dunia Maya dan Hukum Pembuktiannya

7 September 2022   20:35 Diperbarui: 7 September 2022   20:39 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Di masa modern yang penuh dengan perkembangan teknologi saat ini yang tidak jauh dari pengaruh globaliasi dengan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi memudahkan kita untuk berinteraksi maupun melakukan hal-hal yang dahulunya terasa jauh atau sukar untuk dilakukan sekarang hampir tidak ada halangan dalam berkehidupan sosial karena kemudahan-kemudahan yang dihadirkan. 

Hal-hal yang penulis sebutkan di atas tentu saja mendorong terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan dan keamanan serta hukum yang berlaku. 

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi berpeluang besar menghadirkan kejahatan atau perbuatan melawan hukum melalui dunia maya mengingat mudahnya akses informasi sehingga kejahatan di dunia maya menjadi sangat mengkhawatirkan. 

Kemajuan teknologi informasi juga mendorong terjadinya jenis-jenis kejahatan atau perbuatan hukum baru yang muncul sehingga nantinya akan mendorong akan adanya penemuan-penemuan hukum baru. lalu muncul pertanyaan bagaimana system pembuktian kejahatan dunia maya (cyber crime) dimana semakin canggih suatu Tindakan kejahatan maka harus semakin canggih pula cara mengatasinya (modern problems require modern solutions). Sementara, di Indonesia kita masih mengacu kepada kitab undang-undang yang sudah sangat lama baik materiil maupun formiil. 

Penulis mengutip kalimat Prof. Eddy O.S. Hiariej yang kurang lebih mengatakan “Jangankan kejahatan yang paling canggih, kejahatan yang paling sederhanapun jika tidak dapat dibuktikan dengan layak maka tidak layak”. Sehingga perlu ditekankan mengenai sejauh mana kelayakan pembuktian kejahatan siber ini yang mana hal ini terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.

Teknologi informasi diyakini membawa manfaat dan kepentingan yang besar bagi negara-negara di dunia. Pertama, teknologi informasi mendorong permintaan akan produk teknologi informasi itu sendiri. Kedua, adalah untuk mempermudah transaksi bisnis khususnya bisnis keuangan disamping bisnis lainnya. 

Dengan demikian, teknologi informasi telah berhasil memicu dan memacu perubahan kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat, yang pada kenyataannya sebelumnya bertransaksi atau disosialisasikan secara konvensional menuju transaksi atau sosialisasi elektronik, hal ini dinilai lebih efektif dan efisien. Namun, kemudahan yang didapat melalui internet bukan menjadi jaminan bahwa hal tersebut aman atau tidak melanggar aturan/norma.

Mengenai kejahatan di dunia maya tidak pernah di atur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Maka pada tahun 2008 dibentuklah suatu undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Nomor 11 Tahun 2008 untuk mengatasi kekosongan hukum yang ada. Di dalam Undang-Undang a quo juga diatur mengenai alat bukti dan pembuktian terhadap tindak pidana siber (cyber crime). Mengingat locus delicti dari tindak pidana siber sangat berbeda dengan tindak pidana konvensional yang ada di dalam KUHP yang mana tempat terjadinya suatu perbuatan pidana berada di alam yang nyata sehingga dalam upaya pembuktiannya juga sangat berbeda nantinya.

Dalam sistem pembuktian di Indonesia khususnya di dalam hukum acara pidana bahwa untuk menentukan kesalahan terdakwa untuk dapat di adili adalah harus memenuhi minimal dual alat bukti yang sah dan meyakinkan yang mana tertuang dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Di dalam juga telah diatur secara jelas mengenai mekanisme dalam upaya paksa penggeledahan dan penyitaan. Kendatipun demikian, KUHAP tidak mengatur secara jelas mengenai penyadapan atau intersepsi, kendatipun demikian hal ini diatur di dalam undang-undang yang lebih spesifik

A. Pembuktian Kasus Cyber Crime

Perkembangan internet dapat dikatakan sebagai pedang bermata dua, di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan sekaligus menjadi sarana efektif dari perbuatan melawan hukum. Para calon pebisnis online dari luar negeri dapat memanfaatkan kondisi ini untuk menciptakan target pasar bagi Indonesia. Selain dampak positif, bahwa internet berdampak negatif dengan munculnya peluang tindakan anti sosial dan perilaku kriminal. Kejahatan di bidang informasi elektronik dan/atau transaksi elektronik dewasa ini sangat memprihatinkan dan dampaknya bersifat global.

Perkembangan teknologi telah mendorong terjadinya perubahan perilaku, salah satunya ketergantungan pada komputer (computer dependency). Disadari atau tidak, dengan teknologi saat ini, pengguna komputer dapat menyimpan atau mengirimkan informasi dalam berbagai bentuk dan kualitas yang banyak. Masyarakat tidak membutuhkan waktu lama untuk menerima informasi terbaru dari kerabat yang berada ribuan kilometer jauhnya. Cukup dengan email atau sms maka berita terbaru bisa didapatkan.

Sedikit tentang kondisi yang terjadi di masyarakat ini bisa memunculkan berbagai permasalahan dalam penyelesaian tindak pidana di bidang teknologi informasi. Kondisi seperti ini menimbulkan masalah dalam pembuktian informasi yang diproses, disimpan, atau dikirim secara elektronik. Informasi atau Dokumen elektronik yang mudah dimodifikasi seringkali menimbulkan pertanyaan hukum tentang keaslian informasi atau dokumen yang bersangkutan.

Sangat mudah bagi seseorang untuk menggunakan identitas apa pun untuk melakukan berbagai jenis transaksi elektronik di mana saja dapat mempersulit aparat penegak hukum untuk menentukan identitas dan lokasi sebenarnya dari para pelaku.

Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat, termasuk aparat penegak hukum, adalah: apakah informasi atau dokumen elektronik dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah? Keberadaan alat bukti elektronik dalam sistem peradilan pidana di Indonesia dan bagaimana alat bukti elektronik tersebut dapat diterima di pengadilan sebagai alat bukti yang sah akan menjadi topik yang penting dalam penegakan hukum siber di Indonesia, terlebih dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi. Elektronik.

Secara umum, perbedaan antara informasi/dokumen elektronik dan surat/dokumen dalam bentuk konvensional terletak pada bentuk dan sifatnya. Selain itu, sulitnya memperoleh (dapat diperoleh), ketersediaan (availability), dan isi (content) menjadi pembeda lainnya. 

Informasi atau dokumen elektronik dapat diperoleh karena dapat dengan mudah dibuat dan dikirim secara instan dan penerima informasi atau dokumen dapat menerimanya dengan lebih cepat. Di sisi lain, informasi di atas kertas membutuhkan waktu lebih lama untuk dikirim dan diperoleh – termasuk upaya dan biaya yang diperlukan besar.

Selain itu, tidak seperti kertas yang membutuhkan tempat penyimpanan fisik yang lebih besar, informasi atau dokumen elektronik dapat disimpan pada media yang jauh lebih kecil untuk jangka waktu yang lebih lama. Pihak yang membutuhkan kertas akan membutuhkan waktu lama untuk menemukannya, tapi Komputer saat ini dilengkapi dengan aplikasi pencarian file atau data.

Hal yang juga membedakan informasi atau dokumen elektronik dengan kertas ialah bahwa informasi atau dokumen elektronik dalam bentuk originalnya sering mengandung lebih banyak informasi yang penting yang tidak dapat ditemukan ketika informasi atau dokumen tersebut dicetak.

B. Kekuatan Alat Bukti Elektronik dalam Perkara Cyber Crime

Dalam hal sistem elektronik yang digunakan telah memenuhi persyaratan tersebut, maka kualitas bukti elektronik dalam bentuk aslinya (informasi elektronik atau dokumen elektronik) dan hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik tersebut adalah sama. Dengan kata lain, polisi, jaksa, dan hakim dapat menggunakan keduanya atau salah satunya. Namun, perlu juga diingat bahwa dalam hal tertentu ada kalanya penggunaan alat bukti elektronik lebih tepat daripada penggunaan informasi tercetak atau dokumen elektronik karena informasi atau dokumen elektronik tersebut dapat memberikan informasi yang tidak dapat diberikan jika informasi atau dokumen elektronik tersebut dicetak.

Bukti elektronik apa yang digunakan? Apakah dalam bentuk aslinya atau sudah dicetak? Hal ini tentunya dapat dilihat kasus per kasus. Salah satu contohnya adalah dalam kasus perampokan yang terekam di CCTV, dokumen elektronik yang terekam CCTV harus disajikan dalam bentuk aslinya. Video dapat berisi gambar dan suara bergerak. 

Penggunaan alat bukti dalam bentuk aslinya akan memudahkan aparat penegak hukum untuk memahami fakta hukum yang terekam dalam video tersebut. Aparat penegak hukum juga bisa mencetak setiap gerak-gerik pelaku saat melakukan pencatatan perampokan, namun hal ini tentunya akan membutuhkan banyak kertas sehingga tidak efektif.

Namun, dalam kasus tertentu penggunaan hasil cetak dari informasi atau dokumen elektronik memudahkan aparat penegak hukum untuk menghadirkannya di pengadilan. Salah satu contohnya adalah dalam tindak pidana pemerasan yang dikirim melalui SMS atau email. Dalam kasus seperti ini, penggunaan dan penyajian printout dari SMS atau email yang diperoleh dari ponsel atau komputer memudahkan aparat penegak hukum untuk menilai fakta hukum. Pada prinsipnya SMS atau email sama dengan tulisan, tetapi dalam bentuk elektronik. 

Oleh karena itu, selama SMS dalam ponsel yang bersangkutan telah diperiksa keutuhan, ketersediaan, dan keasliannya atau relevansinya dengan perkara yang diperkarakan, maka hasil cetak SMS tersebut sudah cukup sebagai bukti. Polisi atau kejaksaan tidak perlu membawa, mendemonstrasikan dan menunjukkan SMS di ponsel di pengadilan karena akan memakan waktu dan biaya lebih.

Di dalam ketentuan umum penjelasan kejahatan-kejahatan dengan menggunakan computer tidak diatur secara jelas. Padahal lingkup kejahatan cyber crime begitu luasnya tidak terbatas pada transaksi elektronik dimana UU No. 11 Tahunn 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik  belum mencakup semua aspek kejahatan dunia maya.

Perihal pelaksanaan perbuatan jahat atau perbuatan yang dapat dihukum seperti kelalaian atau khilaf (culpa) seperti yang diatur dalam Buku I KUHP belum masuk dalam undang-undang ITE dimana kelalaian atau kekhilafan atau kealpaan adalah hal yang seringkali dilakukan oleh manusia dalam melakukan kegiatannya.

Kemudian terkait masalah penipuan belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, mengingat sebenarnya kejahatan ini merupakan kejahatan yang dilakukan dengan menggunakan Media Informasi dan Fasilitas Transaksi Elektronik yang disediakan pada jaringan internet. 

Kendatipun demikian, kita tidak bisa hanya terpaku kepada kepada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik saja, melainkan harus ada konsep kitab undang-undang Hukum Pidana yang baru. Karena KUHP yang lama sudah tidak dapat lagi menjangkau tindak-tindak pidana baru yang tercipta oleh perkembangan jaman, untuk itu dibutuhkan konsep-konsep baru tentang KUHP dan KUHAP-nya.

Undang-Undang ITE tidak mengatur secara khusus hal-hal yang menyangkut cybercrime. Di dalam Bab Ketentuan Umum tidak secara jelas digambarkan tentang penjelasan kejahatan-kejahatan dengan menggunakan computer. Kejahatan-kejahatan computer yang dikenal dalam dunia maya tidak tergambar secara jelas.

Banyak ketentuan mengenai pelaksanaan tindak pidana atau perbuatan yang dapat dipidana belum dicantumkan dalam UU ITE, seperti hal-hal yang diatur dalam buku I KUHP yang tidak ada dalam UU ITE. Seperti kelalaian atau kesalahan, dimana kelalaian atau kesalahan merupakan kalimat yang sering dilakukan oleh manusia dalam menjalankan aktivitasnya. 

Jika kelalaian tersebut dilakukan oleh manusia di dunia nyata dan merugikan diri sendiri dan orang lain, maka diatur tersendiri dengan menggunakan pasal-pasal tertentu, bahkan terkadang pembuat kelalaian tersebut juga akan mendapatkan ancaman hukuman karena banyak ditemukan kasus pelanggaran lalu lintas. . 

Namun, di dunia maya, kelalaian merupakan tindakan fatal yang dapat menimbulkan kerugian yang cukup besar, bahkan menghancurkan suatu negara. UU ITE tidak menyebutkan apapun tentang kelalaian yang dilakukan oleh pembuat situs agar para hacker bisa masuk dengan bebas. Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya dengan kelalaian adalah upaya untuk melakukan perbuatan jahat dan ikut serta melakukannya. 

Undang-Undang ITE tidak mengatur apakah upaya untuk melakukan dan berpartisipasi dalam kejahatan peretasan dapat dihukum atau tidak. Kemudian UU ITE juga tidak mengatur kapan berakhirnya tindak pidana kejahatan hacking. Semua kegiatan kriminal ini diatur dalam bab tentang perbuatan apa yang dilarang, sehingga seolah-olah seperti pasal keranjang sampah, pada dasarnya semua kegiatan yang melanggar aturan telematika di Indonesia dilarang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun