Larangan berlakunya hukum/Undang-Undang Pidana secara retroaktif ini, dilatarbelakangi oleh ide perlindungan HAM. Prinsip ini juga tercantum dalam
Pasal 11 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 15 ayat (1) International Convention on Civil and Political Rights (ICCPR), Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) Statuta Roma tentang International Criminal Court (ICC).
Walaupun prinsip nonretroaktif dilatarbelakangi ide perlindungan HAM, namun di era seperti sekarang masalah retroaktif ini juga sering muncul sewaktu dibicarakan masalah “kejahatan HAM” dalam rangka perlindungan HAM. Dalam hal ini, penerapan asas nonretroaktif dikecualikan dalam praktek hukum pidana internasional.
Penerapan hukum internasional humaniter terhadap penjahat perang dan pembentukan mahkamah ad hoc yang berlaku retroaktif dalam mengadili kejahatan genosida dan kejahatan perang; diperbolehkan dan bahkan diakui putusannya sebagai yurisprudensi hukum pidana internasional.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menentukan bahwa pelanggaran HAM berat akan diadili oleh Pengadilan HAM. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur hukum pidana materiil dan membagi/merinci “pelanggaran HAM yang berat” menjadi dua tindak pidana,
yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari beberapa peraturan tersebut baik nasional maupun internasional diakui adanya perluasan terhadap asas legalitas namun terbatas pada kejahatan HAM berat (pelanggaran HAM berat).
Ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan HAM berat pun dengan jelas dan rinci menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan tersebut dan kejahatan apa saja yang termasuk dalam kejahatan HAM berat.
Berbeda dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak dapat diperkirakan, terbuka, dinamis, tumbuh berkembang, dan berubah termasuk tentang terlarang atau tidaknya suatu perbuatan.
Dengan demikian justru akan melanggar HAM karena dapat diberlakukan sewenang-wenang. Karena jika hukum yang hidup dalam masyarakat menjadi lebih berperanan dalam kasus-kasus tindak pidana, bagi aparat penegak hukum terutama hakim nampaknya tidaklah terlalu mudah untuk mencari dan menemukan serta melaksanakan hukum adat yang berlaku di daerah tertentu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H