Asas legalitas memiliki beberapa makna. Salah satu di antaranya adalah tidak melarang atau mengancam dengan pidana jika ada sesuatu hal yang terjadi namun hal tersebut belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Dalam bahasa latin, asas ini dikenal sebagai nullum delictum nulla poena sine pravia lege (tidak ada delik tidak adapidana tanpa peraturan lebih dahulu).
Hingga saat ini, asas legalitas masih diatur dalam pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pada pasal 1 ayat (1) RUU KUHP menentukan bahwa tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenakan tindakan,
kecuali perbuatan yang dilakukan telah ditetapkan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan. Selanjutnya yaitu ayat ke (2) yang mentukan bahwa dalam menetapkan tindak pidana, tidak diperbolehkan menggunakan analogi.
Dalam pasal 1 ayat (3) RUU KUHP menentukan konsep yang sedikit berbeda dengan adagium nullum delictum nulla poena sine pravia lege. Ayat ini menentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seorang patut dipidana meskipun perbuatannya tidak diatur dalam perundang-undangan.
Selanjutnya yaitu ayat (4) yang menentukan bahwa berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila atau prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat. Maka dari itu, dengan adanya ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) RUU KUHP ini, maka seseorang dapat dituntut pada pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat meskipun tindakan tersebut tidak dilarang dalam perundang-undangan.
Alasan Perumus RUU KUHP memasukkan hukum yang hidup dalam masyarakat salah satunya karena masih banyak perbuatan lain yang oleh masyarakat dianggap sebagai perbuatan jahat tetapi belum tertampung dalam RUU. Pemikiran demikian dapat dipersamakan dengan
anggapan masih terdapat criminal extra ordinaria dalam konsep jaman Romawi Kuno. Dengan kata lain, masih banyak tindakan kejahatan yang tidak tertampung KUHP, meskipun dalam RUU KUHP sudah banyak dirumuskan jenis-jenis tindak pidana baru.
Dari Penjelasan Umum RUU KUHP tergambar bahwa pemikiran pembentuk RUU KUHP untuk memasukan hukum pidana yang hidup dalam masyarakat ke dalam hukum formal, bertitik tolak dari keseimbangan monodualistik yaitu asas keseimbangan antara kepentingan/perlindungan individu dengan kepentingan/perlindungan masyarakat dan keseimbangan antara kepastian hukum dengan keadilan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa menurut Perumus RUU KUHP ketentuan asas legalitas formil (Pasal 1 ayat (1) mengedepankan kepastian hukum dan asas legalitas materiil (Pasal 1 ayat (3)) mengedepankan keadilan. Asas legalitas formil lebih mementingkan kepastian hukum di atas keadilan dan asas legalitas materiil lebih mementingkan keadilan di atas kepastian hukum.
Dalam perspektif HAM, perluasan terhadap asas legalitas terbatas pada kejahatan HAM berat (pelanggaran HAM berat). Ketentuan yang mengatur mengenai kejahatan HAM berat pun dengan jelas menentukan apa yang dimaksud dengan kejahatan HAM berat dan kejahatan apa saja yang termasuk dalam kejahatan tersebut. Perumusan asas legalitas mengandung asas “Lex Temporis Delicti” (LTD).