Mohon tunggu...
MUHAMMAD IHSAN
MUHAMMAD IHSAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PKN STAN

Perpajakan, Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negative Income Tax: Solusi Kemiskinan, Kepatuhan Pajak, dan Mobilisasi Sosial

7 April 2024   00:41 Diperbarui: 7 April 2024   01:02 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

3.   Bantuan sosial yang lebih tepat sasaran dan efisien

Harvey (2006) dalam Bohn (2021) mengilustrasikan bahwa NIT yang efektif akan menghabiskan $826 miliar pada tahun 2002 sementara Universal Basic Income (UBI) akan menggandakannya menjadi $1,69 triliun. Sebagai referensi, UBI merupakan program pemerintah di mana setiap warga dewasa menerima jumlah uang secara teratur, tanpa memandang kebutuhan mereka. Dalam arti singkat, UBI dapat diartikan sebagai Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan pemerintah. Kedua skema ini, baik NIT maupun UBI, bertujuan untuk mengurangi kemiskinan. Namun, NIT lebih efisien biaya dalam penerapannya dan lebih tepat sasaran karena adanya seleksi tak langsung, yakni hanya diberikan kepada orang-orang yang bekerja dan yang berpendapatan menengah ke bawah.

KEKURANGAN NEGATIVE INCOME TAX

Sama dengan insentif lainnya, dalam penerapannya EITC tentunya tidak sesempurna itu. Banyak sekali kritik dan kekurangan-kekurangan EITC yang harus dipertimbangkan jika ingin diimplementasikan di Indonesia. Salah satunya adalah terkait kepatuhan WP dalam pengajuan EITC. Edin (2022) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Penerima EITC menunjukkan perilaku pajak yang tidak patuh dengan menyesuaikan status pengajuan untuk memaksimalkan pengembalian dana karena kompleksitas dalam peraturan perpajakan yang bertentangan dengan keuangan rumah tangga berpenghasilan rendah dan dinamika keluarga. Ditambah lagi, galat pada sistem EITC dapat menyebabkan kerugian negara jika terjadi kekeliruan dalam pemberian kredit yang tidak sesuai (Margot, 2015). Kekeliruan ini tentunya dapat diatasi dengan proses pembentukan syarat kualifikasi yang jelas, namun tidak membebankan pengaju klaim. Persyaratan yang terlalu kaku malah memberikan disinsentif kepada pengaju klaim sehingga program yang seharusnya mendukung masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah tidak berjalan sebagaimana mestinya (Davis-Nozemack, 2012).

Kritik lainnya adalah terkait praktik program NIT yang pada umumnya efektif pada jangka waktu pendek dan hanya dapat optimal ketika tingkat pengangguran masih dapat dikontrol. Bohn (2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa NIT akan menunjukkan hasil yang lebih baik dalam jangka pendek, sedangkan UBI akan menjadi solusi untuk perekonomian yang lebih ekstrim. Meskipun UBI memerlukan biaya yang cukup besar, namun ini sepadan dengan biaya pengangguran (cost of unemployment) terlebih lagi untuk masyarakat yang tidak dapat mengikuti cepatnya perubahan ekonomi. Bohn (2021) mengusulkan bahwa dalam kondisi tingkat pengangguran meningkat, UBI akan dibutuhkan pada akhirnya.

Hal ini terbukti pada kejadian beberapa tahun silam, pada saat COVID-19 merajalela. Jamil (2021) mengungkapkan bahwa pemberian BLT pada saat COVID-19 paling mendekati penerapan UBI. Program BLT saat itu juga memberikan dampak yang cukup besar kepada masyarakat dalam menghadapi masa krisis. Secara ringkas, Jamil (2021) menyimpulkan bahwa dampak rangkaian program BLT saat COVID-19 pada kesejahteraan rumah tangga diantaranya menurunkan kemiskinan dan menaikkan tingkat partisipasi angkatan kerja. Namun, penerapannya program UBI ini tidak dapat menjadi solusi di jangka panjang. Daruich & Fernndez (2020) dalam penelitiannya menyatakan bahwa, dalam konteks Amerika Serikat, UBI memang membantu dalam masa krisis ekonomi, tetapi penerapannya secara permanen akan menyebabkan kerugian ekonomi yang jauh lebih besar dalam jangka panjang. Program EITC dapat menjadi solusi untuk masyarakat yang sudah bekerja. Namun, untuk kondisi dimana lapangan pekerjaan sedikit dan tidak mudah diakses oleh masyarakat, program UBI menjadi solusi yang lebih baik sebagai batu lompatan melawan kemiskinan.

Akhir kata, pembahasan terkait NIT, khususnya program EITC, merupakan sebuah potensi yang besar dalam mengatasi masalah kemiskinan, kepatuhan pajak, Tax Ratio, dan mobilisasi masyarakat. Namun diperlukan pengkajian lebih lanjut terkait penerapannya di Indonesia. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan seperti kondisi sosio-ekonomi dan keterbatasan administrasi yang ada saat ini. Program EITC juga harus didampingi dengan program bantuan sosial lainnya karena masalah kemiskinan dan pengangguran bukanlah masalah hitam dan putih. Program NIT ini dapat menjadikan contoh bagaimana kebijakan perpajakan dapat membantu menyelesaikan berbagai masalah ekonomi tanpa harus mengorbankan pajak itu sendiri.

REFERENSI

https://news.ddtc.co.id/menggali-penerimaan-melalui-strategi-pemajakan-orang-pribadi-1797823

https://berkas.dpr.go.id/pa3kn/buletin-apbn/public-file/buletin-apbn-public-187.pdf

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/08/05/ini-tren-tax-ratio-indonesia-dalam-5-tahun-terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun