Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Hujan di Tanah Abang

16 Juni 2015   09:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:01 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“ibu, tak lihatkah sekarang anak kita sudah mulai tumbuh dewasa, sudah mulai butuh teman semasa kecil”. “iya pak, ibu pikir temannya yang ada di lingkungan rumah kita sudah banyak”. Sahut dinda kemudian. “ibu, coba ibu perhatikan, Nur sekarang tak pernah mengajak temannya bermain ke rumah, walaupun ada, itu hanya Rini juga Tini. Mereka berdua pula yang punya kesamaan dengan nur, punya gadget juga punya orang tua yang persis dengan kita. Pedagang yang cukup sukses”. Dinda dan ismail memikirkan pembicaraan mereka sendiri. Apakah mereka telah salah berlaku, bertindak. Apakah mereka ceroboh mendidik. Ah bukan, mereka tidak berpikir sampai kesana. Mereka yakin dengan kasih yang mereka berikan. Kasih sebagai kerelaan memberikan seluruh keinginan dari si Nur kecil. Tak kurang mereka mengajaknya untuk berjalan, memperlihatkan kehidupan manusia yang ada dilingkungannya. Menunjukkan bahwa dunia inilah tak sempit seperti satu keluarga dengan pembantu-pembantunya. Memberi contoh untuk membantu manusia lain. Memberi panduan untuk selalu sayang dengan lingkungan serta kebersihan.

Pikiran mereka, ismail dan dinda hampir sama merumuskan. Bahwa pertemuan diakhir pekan bisa membuat mereka semakin hangat dalam satu keluarga. Menjadikan cintanya keluarga semakin mekar. Inilah untuk anaknya yang sangat mereka sayangi itu. Tapi tentu itulah hanya sangkaan.

Mereka menentukan juga kalau Nur lebih baik pula harus masuk di sekolah PAUD. Sudah pertimbangkan lebih dan kurangnya. Mereka mengaku bahwa merekapun butuh bantuan pada saat ini. Tidak cukup oleh pengasuh anaknya saat ini yang lebih banyak bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Rencana itu menjadi khayal kemudian. Nur menolaknya dengan wajah dan prilaku manjanya. Ia ceritakan, sudah nyaman dengan keadaanya sekarang. Ia ingin bermain saja seperti sekarang, dengan teman-teman yang sering ia ajak ke rumah. Sekali itulah ismail membentak anaknya, karena menurutnya telah berlebihan. “nur, dengar bapak bicara sekarang. Simpan benda yang ada di tangan Nur sekarang”. Nur tak menghiraukannya karena asyik dengan mainanya. “nur!”, tibalah bentakkan itu. Nur terlihat takut, matanya kemudian mulai berkaca. “dengar kata bapak nur, nur harus masuk ke sekolah PAUD”. “bapak, itu terlalu berlebihan”, sahut dinda kemudian. Jadilah saat itu menjadi hubungan yang canggung antara ke tiga orang itu.

Memang tak jadilah Nur masuk di sekolah PAUD itu. Dinda lebih tidak tega kalau anaknya tersebut murung karena kelakuan ia dan ismail. Ia memberi kebebasan pada Nur untuk melanjutkan kebiasaanya. Memainkan gadget dan bersenang-senang dengan teman sepermainannya itu.

Semakin bertambah tahun, ismail semakin banyak pula menunjukkan kemarahannya pada anaknya seorang. Ia berdalih, bahwa Nur harus mulai disiplin. Harus didik untuk tidak manja lagi, karena setiap saat siapapun, seorang kaya raya sekalipun dapat jatuh pada penderitaan hidup. Itulah yang harus dibekali pada anaknya. Dinda harus sampai menangis untuk menahan kemarahan ismail terhadap anaknya itu. Walau kadang iapun berpikir ismail memang benar. Ismail harus tegas. Tapi tentu perasaanlah yang dimenangkan dinda dalam situasi yang seperti itu.

Memang sayang lebih banyak mengalahkan segala yang punya kejernihan pikiran. Nur tak berubah karena sayang. Dinda tak ingin kecewakan anaknya karena sayang. Lebih baik ia menuju pada perang mulut dengan ismail.

Ismail berubah menjadi seorang yang pemarah dalam keluarganya. Dinda semakin tunduk dengan keinginan anaknya—sungguh itulah kasihnya terhadap anaknya seorang. Nur tumbuh tanpa tahu membersihkan tempat tidurnya sendiri.

***
 Ia tertegun melihat anaknya sudah ada di depan hadapannya. “nur”, sahutnya pelan. “iya pak, ayo pak, kita makan pisang goreng buatan Nur”, nur sambil tersenyum. “oh, sekarang Nur sudah mulai pandai memasak rupanya”, sahut ismail kemudian sambil mengusap rambut anaknya. “ayo pak, di luar sini dingin”. Mereka berdua kemudian masuk ke dalam rumah.

Mereka berdua masih diantar oleh suara hujan yang menembus tembok rumahnya yang kecil. Tembok yang tak pernah berubah sejak Nur terlahir ke dunia. “terimakasih tuhan”. Sahut Ismail dalam hatinya yang penuh dengan syukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun