Ia sedang melihat-lihat. Bukan dunia yang ada menyeliputinya, bukan juga orang yang sedang berlalu lalang, atau penjual siomai yang sedang berteduh saat hujan itu mulai deras. Iya, saat itu sedang derasnya hujan, sedang ia duduk melipat kakinya yang terbungkus sarung.
***
Rintik hujan sudah mulai datang, ia panik sekaligus bingung. Tak ada persiapan apa-apa sebelumnya, sampai ia temui istrinya sedang merintih begitu sakitnya, menahan seorang makhluk yang akan segera keluar sebagai seorang manusia. Air keringatnya mulai membahasahi dahi sekaligus pipi kurusnya. “oh tuhan bagaimana aku sekarang”, sahutnya dalam hati, sedang ia melihat istrinya begitu kesakitan.
Ia berlari kedepan pintu rumah kecil itu, melihat kekiri dan kekanan. Tak jelas apa yang ia ingin lakukan. “pak, pak, ibu saudah tak tahan lagi”, sahut istrinya dari dalam. Ia kemudian masuk melihat sebentar dan keluar kembali. Entah apa yang ia katakana pada istrinya.
Matanya meluncur pada tukang becak yang sedang melintasi jalan di depan rumahnya. “pak, pak, sini pak”, sahutnya dengan keras. “pak cepat pak, istri saya butuh ke rumah sakit segera!”. Sahutnya kemudian ketika tukang becak itu sudah mulai masuk di pekarangan rumahnya.
Tukang becak itu sergap menyiapkan becaknya. Ismail kembali dari rumah dengan menggendong istrinya yang menahan sakitnya. Berjalanlah becak itu perlahan menuju rumah sakit yang cukup jauh.
Ismail menunggu kelahiran itu tiga jam lamanya. Belum juga terdapat kabar dari dokter. Ia sesalkan dirinya yang belum bisa menafkahi istrinya dengan baik. Ia marah sendiri, meratapi nasibnya. “kalau aku bisa menafkahi istriku, tentu aku tak kebingungan ketika ia akan melahirkan, ah belum lagi biaya yang sedang ada dihadapan mata”. Ia duduk, kemudian berdiri lagi. Berjalan ia keluar halaman rumah sakit, tak dapat ia benamkan gelisahnya itu.
Dokterpun sampai mencarinya ke halaman rumah sakit untuk memberi tahu kalau anaknya seorang perempuan. “bapak selamat, anaknya perempuan, seorang yang manis. saya melihatnya seperti bidadari”. Sahut dokter itu. Ismail tanpa menghiraukannya segera melangkah cepat menuju ruang persalinan. Ia melihat istrinya yang kelelahan, mata istrinya tertutup dan penuh peluh. “dimana anakku”, sahutnya tak terdengar.
Kemudian tak ingat lagi tentang bayangannya yang tadi. “kenapalah aku harus turuti untuk menikah lebih cepat, padahal pekerjaan sudah di depan mata, tentu setelah itu bisalah aku tak hadapi situasi yang tak perlu seperti ini. Andai aku menerima itu pekerjaan tentu sudah banyak yang bisa kulakukan dengan dia. Oh dinda, maafkan. Janganlah engkau menyesal dengan adanya aku sebagai suamimu. Maafkan aku”. Itulah yang ia pikirkan dua jam yang lalu. Sekarang sirna seluruhnya. Anak itu sepertinya matahari yang mengusir gelap. Pelitanya saat tak ada cahaya. Ialah beri nama “Nurjannah”.
Memang anak itulah yang membuka jalannya, ia sendiri tak punya sangka yang berlebih terhadap kelahiran anaknya. Hutangnya terbayar penuh, seluruh biaya persalinan yang lalu ia pinjam, telah tuntas. Lagi usahanya sebagai pedagang kain bekas berbuah menjadi pengusaha grosir kain terkenal di tanah abang. Tak lebih tak kurang, itulah yang ia dapati setelah dua tahun kelahiran anaknya. Usahanya maju pesat, perdagangannya melebarkan sayap. Hanya senyum yang sering terlihat dari wajahnya sekarang.
Nurjannah kecil tumbuh dengan banyak kemewahan baru, walau dahulu ibu dan bapaknya sempat merasakan keterbatasan sesaat ia lahir. Tapi tentu, nur tak dapat merasakan hal tersebut.