Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Politik

Setelah Membaca Kultwit Salah Satu Keluarga Mahasiswa (KM)

8 November 2013   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:26 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak bergulirnya reformasi, ditambah dengan adanya desentralisasi pemerintahan belasan tahun yang lalu, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa Negara ini mulai menemukan pola baru suatu demokrasi, pemerintah daerah memiliki potensi dan wewenang dalam mengelola daerahnya masing-masing. Dengan pikiran yang baik, tentu ini mendatangkan angin segar bagi pembangunan di tiap-tiap daerah.

Sekilas dengan adanya desentralisasi tersebut, saya teringat dengan cara perjuangan bangsa ini sebelum kemerdekaan (atau bahkan hampir semua sejarah perjuangan di Bumi ini), bahwa perjuangan itu menuju ke pusat, bukan dari pusat menuju ke bawah. Ternyata setelah kemerdekaanpun cara ini kemudian dikembalikan.

Dari organisasi modern pertama di Indonesia yaitu SDI, kemudian Muhammadyah, NU,OAI, organisasi Sosialis, organisasi Nasionalis muncul dari daerah-daerah. Bahkan bank BRI yang muncul pada akhir abad 19 berada di daerah Jawa Tengah. Ini membuktikan bahwa pergerakan di daerah memainkan peran yang signifikan bagi perubahan bangsa besar ini sampai sekarang.

Menoleh pada terminologi kekuasaan, maka betul kata Dr. Kuntowijoyo bahwa “kekuasaan itu adalah kuasa”, begitu singkat dan jelas arti kekuasaan itu dimata Kuntowijoyo. Khususnya untuk saat sekarang, hal itu bukan lagi barang asing. Merasakan betapa kekuasaan yang berada pada tingkat teratas negeri ini (bukan masyarakat) dapat menyentuh sampai ke akar. Bayangkan saja masuk-tidaknya PNS di daerah bisa diurusi oleh orang-orang di pusat (benar-benar kuasa). Ini jadi pembicaraan umum dan biasa saja ditelinga.

Sungguh pola pergerakan yang sudah dicontohkan oleh kakek-nenek moyang bangsa ini dahulu hanya menjadi sebatas aturan formal dan teks-teks undang-undang, suatu paradoks yang terbungkus dalam demokrasi yang disanjung-sanjung. Hal ini tentunya disadari dengan baik oleh masyarakat (buruh atau mahasiswa) yang akhir-akhir ini mendemonstrasikan kekuatan fisiknya untuk berlama-lama berjalan dan duduk di pinggir bahkan tengah jalan di Ibu kota. Mereka sadar kalau yang kuasa itu adalah yang di pusat.

Yang tidak disadari ialah, orang-orang (pemerintah bahkan masyarakat umum) yang ada di pusat (ibu kota) sudah semakin “berdamai” dengan keadaan tersebut, muncul acuh dari masyarakat, sedang pemerintah sendiri menganggapnya sebagai suatu yang normal (kalau kata kakak saya = duniawilah). Tak ada yang “menarik”, ini sudah seperti agenda tahunan bahkan mungkin pemerintah sudah memasukkan kerusakan jalan dan pot tanaman di jalan (akibat demonstrasi) dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) tahunan pemerintah.

Bahwa setelah saya membaca kultwit salah satu Keluarga Mahasiswa (KM) yang berada di sekitaran ibu kota tentang aksi yang akan dilakukan bertepatan dengan hari pahlawan (10 November) tentang nasionalisasi Blok Mahakam, saya menemukan titik balik pergerakan dari akar tersebut, pergerakan yang seharusnya menjadi perjuangan masyarakat (mungkin khususnya mahasiswa) di daerah, bak perjuangan organisasi-organisasi pribumi yang militan dulu, “membangun dari akar terlebih dahulu, setelah itu punch Up”. Tentang hal ini (Blok Mahakam) yang kontraknya akan berakhir pada tahun 2017, pemerintah masih tarik ulur mengenai (perpanjangan kontrak atau tidaknya). Sungguh menteri JW termasuk orang yang berpedoman pada prinsip pesimis dan kurang pede, bahwa orang-orang kita dianggapnya tak mampu secara finansial dan ilmu—mungkin beliau lupa kalau pada pejabat-pejabat di Indonesia ini masih banyak bergelimpahan duit, walau duit hasil korupsi.

Pergerakan yang “anomali” bisa menjadi kunci dari suatu tuntutan dapat dikabulkan, dalam pengertian, pergerakan ini harus dikelola dengan masiv dan baik dari daerah, Surabaya, Makasar, Jogja, Medan, Palangkaraya, Nusa Tenggara, Papua, Maluku dan sebagainya (saatnya pergerakan kembali menuju ke pusat, tidak perlu berkumpul di pusat). Dengan sadar sayapun tetap memiliki keyakinan melihat seluruh blok Migas di Indonesia menjadi milik anak negeri seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun