“yang saya mengerti adalah, perjuangan kaum “menengah” atau mahasiswa ( meminjam istilahStalin ), pergerakan mahasiswa Indonesia dari tahun ke tahun mengalami beberapa perubahan—baik itu dikategorikan sebagai degradasi nilai, atau cara yang dilakukan dalam pergerakan—terutama pergerakan yang berhubungan dengan implementasi nilai “social control”. Tentunya banyak faktor yang mempengaruhi hal tersebut, antara lain “kenyamanan zaman”, orientasi dan tujuan, serta pendidikan yang didapatkan”
Tulisan ini saya buat, karena melihat keadaan di sekitar saya berdasarkan pemahaman yang mungkin terbilang “sempit”. Lewat konstelasi pemikiran sederhana, saya mulai menggambarkan bahwa terdapat tiga jenis mahasiswa, dalam hal ini saya mengafiliasikan antara status ekonomi dan implementasi pergerakannya dalam “social control”. Tiga golongan itu antara lain : yang pertama adalah golongan miskin (beruntung), golongan sedang (bimbang) dan terakhir golongan kaya (aman).
Flash Back
Saya pernah membayangkan bagaimana kondisi pergerakan mahasiswa Indonesia tahun-tahun sebelum kemerdekaan dan pasca kemerdekaan lewat sedikit literatur yang saya baca—pada saat bersamaan mulai di implementasikannya jargon perjuangan “kelas” oleh orang-orang sosialis atau semacamnya. Satu hal yang saya tanggapi dalam tulisan ini adalah, pergerakan mahasiswa Indonesia pada saat itu betul-betul memaknai perjuangan kelas tersebut—tidak membedakan kelas, siapapun, dari golongan manapun, kaya atau miskin, semua tergabung dalam usaha-usaha revolusi nasional. Ki Hajar dewantara, Dr. Cipto, Ir. Soekarno, Shjahrir, Tan Malaka, Samin, Hatta dan yang lain. Lihatlah biografi mereka, maka yang akan kita temukan adalah heterogenitas asal-usul dan status yang tertuang dalam suatu kesatuan perjuangan.
Bahwa perjuangan untuk meraih kesejahteraan bagi seluruh bangsa Indonesia adalah tujuan yang ingin dicapai bersama—lihatlah semangat orang-orang terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini berjuang dengan melepas batas-batas status sosial dan batas-batas demarkasi latar belakang. Hal ini rasanya yang sedikit terdegradasi dalam pergerakan pada tataran mahasiswa sekarang.
Intelektual yang Utama
Definisi intelektual yang saya patrikan adalah definisi intelektual dari salah seorang mantan presiden Indonesia yaitu BJ Habibie bahwa intelektual menurut beliau adalah “seseorang yang memiliki ilmu dan memikirkan sekaligus mengaplikasikan ilmunya tersebut untuk kepentingan rakyatnya”, kurang lebihnya seperti itu (tanpa mengabaikan pemikiran tokoh-tokoh kepemimpinan yang lain). Tentunya definisi ini merupakan definisi yang masih umum, dan ketika seorang anak SD memiliki ilmu pengetahuan sekaligus sudah dapat mengaplikasikanya untuk kemanfaatan dalam masyarakat, diapun akan termasuk seorang Intelektual.
Tentunya ketika dalam keseharian kita memaknai definisi ini sebagai sesuatu yang menjadi tuntutan dalam suatu pergerakan dan pemikiran, sudah barang tentu faktor-faktor selain hasrat mencari dan menerapkan ilmu pengetahuan dapat kita kesampingkan—baik itu status ekonomi, sistem sosial, keberagaman latar belakang dan sebagainya. Intelektual memang harus ditujukan pada pengabdian untuk masyarakat, karena dalam setiap implementasi dari tindakan-tindakan sangat mudah kita bedakan. Adalah wajar ketika dalam setiap tindak-tanduk intelektual memiliki proses yang panjang, sebab intelektualpun harus memiliki banyak pemikiran dan juga perhitungan tapi bukan menjadi “oportunis”.
Dalam hal ini, sebenarnya hubungan antara tindakan intelektual dengan ketiga kategori yang saya tuliskan di atas—dapat kita lihat pada seberapa jauh seorang mehargai intelektualitasnya dalam melihat dan merespon gejala sosial yang timbul dalam masyarakat—timing yang tepat adalah salah satu entitas yang harus diperhatikan dalam melakukan sesuatu hal (intelektual). Karena entitas waktu ini tidak bisa kita atur, sehingga yang harusnya menjadi pertimbangan adalah menoleh kembali pada tujuan intelektual itu berdasarkan suatu pemahaman yang telah terbentuk oleh seseorang. Karena itu sadar dan pergunakanlah status intelektual tersebut.
Yang Miskin
Dalam konstelasi pemikiran terkait tiga kategori yang saya tuliskan di atas, hal pertama yang saya lihat adalah status ekonomi dari keluarga seorang mahasiswa. Tentunya sesuai dengan hal tersebut, akan banyak mempengaruhi tindak-tanduk mahasiswa tersebut dalam fungsi sebagai social control. Yang pertama adalah golongan Miskin, kenapa saya tuliskan sebagai golongan miskin karena berdasarkan kemampuan ekonomi dari seorang mahasiswa tersebut—dan mahasisawa ini adalah salah satu jenis mahasiswa yang “beruntung”.