Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pelajar Wanita—Pelawan Arus

17 Februari 2012   04:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:33 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mengawali tulisan ini dengan sebuah syair arab lama, yang saya kutip dari salah satu buku, bunyi dari syair tersebut adalah sebagai berikut:

Ibu adalah pendidik (sekolah)

Apabila kamu mempersiapkannya (sebaik mungkin)

Berarti kamu telah mempersiapkan generasi (bangsa)

Yang baik dan kokoh akarnya (potensial)

Demikianlah syair yang saya anggap memiliki makna yang sangat mendalam terkait peranan wanita dalam regenerasi bangsa. regenerasi bangsa dalam menciptakan manusia-manusia unggul dan memiliki potensi positif di tengah globalisasi dan terdekadensinya moral dan prilaku saat-saat sekarang. Dalam banyak kesempatan, tentu sangat sering kita dengar dan lihat sendiri, betapa kejamnya kita, sebagai orang yang terdahulu lahir membiarkan dan melalaikan generasi penerus yang akan melanjutkan estafet perjalan bangsa tersiksa dan menurun kualitas hidupnya, baik dari segi fisik, pengetahuan dan sikap dalam institusi masyarakat. Contoh yang paling sering kita dengar dan mungkin telah sama-sama kita lihat di depan mata adalah sering terjadinya pelecehan seksual, aborsi, kekerasan dalam pergaulan (antara pria kepada wanita)—dan akhir-akhir ini kita melihat ada seorang bayi yang tergeletak tidak berdaya dipinggir selokan. Inilah gambaran yang selalu terulang setiap tahunnya yang ada di Indonesia—berniat melahirkan (menciptakan) generasi ideal yang dapat membanggakan ibunda pertiwi, kita malah membuang bayi, membuang rasa malu, membuang nilai-nilai moral kita sampai tidak ada yang tersisa.

Krisis Multidimensional yang Melebur

Krisis multidimensional, ya inilah salah satu terminology yang sudah tidak tampak lagi diruang-ruang public dan media massa kita saat ini, semua sudah menjadi lebur bersama kebiasaan dan tingkah laku manusia-manusia abad sekarang. Kita seakan-akan tidak merasakan lagi bahwa krisis ini merupakan awal mula terjadinya krisis yang sering kita lihat di media massa atau televisi saat ini—krisis kepercayaan, krisis moneter, krisis kepemimpinan, krisis bahan bakar dan sebagainya merupakan “anak” yang memiliki lahir akibat krisis multidimensional, dan apakah krisis multidimensional itu? Tidak lain adalah terdekadensinya moral dan sikap kita dalam menjalankan hidup. Sampai disisni tentunya kita tidak akan berpikir lagi bahwa, ternyata kita telah keluar dari hal-hal moral yang seharusnya dijadikan acuan dalam bertingkah laku, kita telah terbiasa melihat, menyaksikan dan melakukan hal-hal yang menjadi lahan propaganda bangsa-bangsa yang tidak ingin kita saingi. Semua sudah melebur menjadi suatu kebiasaan baru yang mulai di pertahankan dengan berbagai alasan—terutama alasan modernitas dan pergaulan. Anak-anak yang rutin belajar dibilangnya “cupu” oleh pergaulannya, pemuda-pemuda yang yang tidak minum bir dan arak dibilang “kampungan” oleh temannya, perempuan-perempuan yang tidak berpacaran dibilang tidak “laku” dilingkungannya, orang tua yang (wanita) yang jarang keluar rumah diisukan dengn berbagai gossip dan gunjingan dan sebagainnya.

Wajah komunikasi dan pergaulan dicitrakan semata-mata sebagai wajah modernisasi dan materialistik, dan tanpa sadar kita sudah jatuh pada kebiasaan dan peradaban yang menghancurkan generasi sendiri bahkan generasi demokrasi yang dicita-citakan. Generasi ini seperti generasi yang “mengawang” karena tidak tau arah dalam bertindak, mengikuti segala macam tawaran dan sentilan kepuasaan sesaat—kehilangan idenditas. Implementasi dari semua itu adalah gambaran pemuda dan generasi yang ada di Indonesia sekarang, dan sapa yang mau disalahkan ketika semua menjadi lebur, yang salah dengan yang benar sudah tidak memiliki garis demarkasi yang jelas akibat tidak ada pendidikan yang mengimbangi dari awal, sangat berpikiran sempitlah kita, ketika kita menyalahkan zaman, sebab zaman itu hanya benda mati dan manusialah yang bisa bergerak membuat budaya dan zaman.

Berbicara tentang munculnya krisis multidimensional yang telah melebur ini, tentu saja tidak lepas dari kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan dan pendidikan yang diberi atau didapatkan oleh masyarakatnya sendiri, karena sebeulnya krisis ini hanya bersumber dari krisis moral dan tingkah laku. “Penguasaan atas ilmu adalah kunci kemajuan segala bangsa dan masyarakat”, kata seorang filsuf, dan pendidikan awal (sejak bayi) adalah salah satu bentuk pendidikan yang akan berpengaruh besar pada perkembangan anak maupun generasi penerus bangsa ini kedepannya—dan ini adalah kunci dalam menentukan karakter generasi bangsa selanjutnya. Seperti suatu analogi “induk ayam yang selalu menjaga dan memperhatikan makanan anaknya sebelum anaknya tersebut bisa mandiri untuk mencari makanan sendiri”—yang berbeda dengan kita saat ini, setelah lahir kita buang dan terlantarkan, kita tinggalkan atas alasan mencari tambahan nafkah dan sebagainya, dan ternyata, nafsu kita melebihi nafsu binatang. Jadi tidak heranlah keadaan krisis multidimensional di Negara kita mekar dan akarnya mulai menancap kuat.

Refleksi—Pelajar dan Wanita

Masih ingatkah kita bagaimana susahnya seorang wanita yang hidup di zaman kolonialisme Belanda mendapatkan pendidikan dan bergelar sebagai seorang pelajar, dimana hanya keluarga-keluarga borjuis dan bupati yang hanya dapat menyekolahkan anak-anak gadisnya tapi hanya sebatas dapat membaca dan menulis—dan apakah masih terngiang oleh kita kisah patriotic seorang RA. Kartini dalam membela hak-hak kaum wanita untuk dapat belajar dan menuntut ilmu? semoga kita semua masih mengingat hal tersebut dalam memaknai perjuangan pendidikan wanita saat itu. Hal yang ingin kembali saya angkat adalah, betapa menjamurnya tokoh-tokoh wanita yang bermunculan di Indonesia setelah RA. Kartini meninggalkan kado spesialnya berupa catatan hidupnya sebagai inspirasi kaum hawa. Ini merupakan babak baru lahirnya wanita-wanita yang berpendidikan di Indonesia, suatu awalan dimana pelajar-pelajar wanita mulai merasa akan pentingnya pendidikan dan memberikan pendidikan terhadap generasinya sejak dini.

Dalam hal ini, faktor yang menjadi bagian paling penting dalam kebangkitan pendidikan terhadap kaum wanita adalah kesadaran pelajar-pelajar wanita untuk memiliki pengetahuan yang mumpuni sebagai bentuk pegangan hidup—dengan memiliki pengetahuan akan terbentuklah protect terhadap berbagai globalisasi yang terwujud dalam krisis multidimensional.

Peran wanita setelah kemunculan emansipasi dalam bentuk perjuangan RA. Kartini, merupakan peran yang ditujukan untuk peningkatan derajat kaum “hawa” pada saat itu, lewat pelajar wanita yang mulai bergerak dalam bidang kesenian dan pendidikan terhadap kaum ibu, terutama dalam rangka melestraikan budaya nasional—indonesia menampakkan “batang hidungnya” di kancah internasional. Hal ini sejalan dengan usaha peningkatan kualitas hidup kaum wanita sendiri di Indonesia. Ini merupakan prestasi manis yang pernah ditorehkan kaum wanita di Indonesia.

Gambaran ini seharusnya menjadi titik tolak yang berkelanjutan di Indonesia, khususnya untuk pelajar-pelajar wanita Indonesia saat ini. Karena kehilangan pegangan dan pendidikan sejak dini, wanita bisa menjadi faktor yang paling mempengaruhi terwujudnya krisis multidimensional (moral) yang ada di Indonesia. Hal ini seperti banyak peringatan yang sering kita lihat di text book—Alqur`an pun telah memperingatkan itu bahwa “wanita dan anak adalah suatu ujian dalam hidup”, kemudian Napoleon Bonaparte pun telah menuangkan dalam kata-katanya bahwa “dunia ini bisa jatuh karena 3 hal, Harta, Tahta dan Wanita”, dan masih banyak lagi yang bernada serupa dengan peringatan ini.

Pendidikan Sejak Dini

Pendidikan, itulah kata yang identik dengan kemajuan suatu Bangsa dan Negara—dan karena pendidikan yang kurang baik pula yang dapat menghancurkan suatu masyarakat sampai ke akar-akarnya. Sejak kemunculan abad yang baru, yaitu abad ke 21, pendidikan telah melewati berbagai macam transformasi bentuk dan ragam, munculnya berbagai macam lembaga pendidikan merupakan imbas dari kemajuan orang atau umat manusia dalam berpikir. Bersamaan dengan itu, komunikasi dan penyebaran informasi mulai tidak terbendung. Banyaknya ragam pendidikan yang ditawarkan memberikan setiap manusia yang ingin mencari pendidikan memiliki banyak pilihan. Ini merupakan suatu perubahan positif dalam perkembangan sejarah umat manusia—tentunya hal ini juga membawa perubahan negatif dalam masyarakat, sebagai konsekuensi logis. Karena kita terkadang di”belai” dengan kemajuan pendidikan yang seperti ini, terkadang sebagian dari kita melalaikan pendidikan dini terhadap genarasi penerus kita yaitu anak-anak kita.

Pendidikan sejak dini ini merupakan pendidikan yang diberikan terhadap anak oleh orang tuanya masing-masing. Terkadang ini terlihat sederhana dan dianggap sepele, tapi setelah melihat perkembangan generasi Indonesia saat ini, dengan berbagai kenyataan yang membuat kita seakan lepas tangan—seharusnya saat ini kita kembalikan anak-anak yang masih dalam proses “pemberian ASI” itu, pada orang tuanya masing-masing. Pendidikan yang sifatnya berkelanjutan dan membutuhkan fokus tertentu ini seakan telah dilibas zaman, inilah salah satu penyebab dekadensi moral saat ini.

Kalau zaman dulu, karena orang belum mengenal banyaknya ragam pendidikan, mereka mendidik anaknya masing-masing dalam rumah-rumah sederhana, hasilnya adalah Indonesia bisa merdeka—sekarang kita yang ditawarkan dengan globalisasi dan modernitas, seperti melepas “binatang ternak tanpa digembalai”, rusaklah moral dan mulai hilangnya rasa tanggung jawab terhadap orang-orang di rumah. Pendidikan semacam ini memang membutuhkan fokus, terutama dari orang tua masing-masing, terutama dari kaum wanita atau ibu yang melahirkan. Kenapa demikian? Ini sangat berhubungan dengan kesadaran terhadap tanggung jawab masing-masing antara seorang Bapak dan Ibu. Ini sangat relevan dengan salah satu kisah yang sangat booming akhir-akhir ini, contoh nyata dalam hidup seorang guru bangsa BJ Habibie. Beliau tentu tidak sembarang mengeluarkan statement ketika mengatakan “yang membuat saya sampai dengan saat ini (sukses dan sebagainya) karena adanya dua orang yang selalu mendukungnya, yang pertama adalah ibunya sendiri dan yang kedua adalah istrinya”. Ini merupakan salah satu wajah sejarah, dimana fungsi kontrol dan kasih sayang sempurna seorang wanita/ibu terhadap anaknya membuahkan generasi yang luar biasa di Negara ini.

Pendidikan dini inilah yang perlu dilakukan oleh setiap orang yang ada di Indonesia ketika memiliki harapan untuk kemajuan bangsa—baik itu untuk seorang laki-laki terlebih lagi untuk seorang wanita. Tidak menggantikannya dengan memasukkan generasi ini ke sekolah-sekolah khusus atau sekolah privat yang notabenenya kurang tahu dengan kondisi seseorang yang bukan anaknya sendiri. Begitupun setiap detik bertambahnya umur seorang anak, setiap detik itu juga tugas pendidikan dini untuk menumbuhkan karakter sang generasi harus dibimbing, dikontrol maupun diawasi (tapi tidak dikekang), sebab dengan keadaan yang sedemikian canggih ini, sangat berpotensi untuk menjerumuskan seseorang yang belum memiliki dasar hidup yang kuat—dari orang tua sendiri untuk anak dan bangsanya.

Menjadi Pelawan Arus

Telah saya sebutkan pada bagian sebelumnya bahwa, saat ini kita sedang mengalami krisis multidimensional (moral), dan hal ini tidak lepas dari tanggung jawab seorang pelajar (dalam institusi pendidikan atau diluarnya) untuk menjadi salah satu tembok besar yang dapat menyaring rembesan kemajuan zaman. Hal ini tentu saja menuntut pemahaman yang sangat kompleks dalam menanggapi masalah tersebut.

Ada suatu ungkapan bahwa “tinggi rendahnya derajat suatu bangsa ditentukan oleh perempuan atau wanitanya”, ketika sebagian besar perempuan atau wanita di suatu Negara mengalami dekadensi moral, akan menurun pulalah “nilai” suatu Negara, begitupun sebaliknya. Senada juga dengan ungkapan bahwa “perempuan adalah pendidik yang paling baik untuk anak-anaknya”. Hal ini tentunya memberikan gambaran pada kita bahwa sesungguhnya wanita (wanita terpelajar) memiliki peran penting dalam melakukan filtrasi terhadap dampak negatif kemajuan zaman.

Pelajar wanita merupakan proyeksi dari generasi yang akan datang—dari berbagai sisi, sebetulnya wanitalah yang paling banyak menjadi sasaran untuk suatu globalisasi dan modernitas, hal ini tentu saja sebanding dengan fungsinya sebagai subjek pendidik yang paling baik. Ini tidak bisa dimaknai bahwa, penumpukan permasalahan yang terjadi sekarang berasal dari kaum wanita. Pelajar wanita yang memiliki pemahaman akan pentingnya perananya dalam proses resistensi dekadensi moral sebelum langsung terjun pada dunia “pengabdian pada masyarakat” adalah salah satu cara dalam menghadapi tantangan kehidupan kedepannya.

Secara umum, karena saat ini wanitalah yang paling banyak menjadi objek dari modernitas dengan berbagai banyak model, mulai dari fashion, gaya hidup, tampilan maupun acara-acara yang mengundang keinginan lahiriah yang menggebu, wanita pulalah yang harus menjadi palang terdepan melalui pelajar dan intelektual-intelektualnya—wanita yang tentunya lebih mengerti tentang wanita yang lain. Fungsi seperti ini bukanlah suatu diferensiasi isu gender dan emansipasi, tapi lebih mengarah pada pemahaman pendidikan terhadap wanita terutama saling mengingatkan.

Pelajar wanita pelawan arus merupakan pelajar wanita yang memiliki kesadaran akan pentingnya pendidikan, bukan hanya pendidikan yang berbasis pada penguasaan ilmu pengetahuan pada bidang masing-masing—tapi lebih mengarah pada aplikasi dari ilmu tersebut yang berorientasi pada pendidikan generasinya nantinya. Proteksi terhadap berbagai macam pengaruh lingkungan yang dapat mengarahkan pada hilangnya kewajiban utama sebagai pendidik harus mulai di jadikan agenda terdekat—syaratnya wanita tersebut harus memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai. Ini adalah agenda bagi siapapun yang ingin membawa perubahan bagi Indonesia dan harus dilaksanakan secepatnya.

Masalah yang utama bagi kita semua,

Lelaki maupun perempuan

Bukanlah untuk mempelajari sesuatu yang baru

Tapi untuk membongkar hal-hal buruk yang sudah

Mendarah daging

(Gloria Stainem)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun