Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengantar—Jangan Takut, Buat Indonesia Collapse!!

13 Februari 2012   11:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:43 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13291334392007799399

Ada satu cuplikan dari salah satu presiden Argentina, Nestor Kurchner yaitu “ Masa depan kita terletak pada Integrasi Amerika Latin, dan bukan penggabungan diri dengan Amerika Serikat”—respon atas kebencian dengan Amerika Serikat (AS) dan Free Trade Area of the American (FTAA) yang merupakan manifestasi politik ganda AS. Cuplikan diatas adalah salah satu signal dan indikasi adanya pertentangan yang terjadi di benua temuan C.Colombus—saat ketika apa yang kita sebut sebagai praktek perang dingin antara Si Kiri (sosialis) melawan Si Kanan (Pro-Imperialis), mulai meledak dan mengalami eskalasi. Pada tahap selanjutnya hal ini menjadi dinamika politik yang ada dalam suatu Negara—disatu sisi Negara-negara yang mulai sadar akan kekejaman dan ancaman capitalism, colonialism and imperialism mulai membentengi diri dengan program-program nasionalisme yang bertajuk sosialis serta mulai membuat tandingan bagi kaum imperial (AS) seperti salah satu contoh yang dilakukan oleh Negara amerika latin yaitu membuat the Bolivarian Alternative for the Americas (ALBA) oleh prakarsa Hugo Chavez. Disisi lain, Negara imperialis akan mulai membentuk oposisi dengan kaum borjuasi berbagai Negara untuk menjatuhkan Negara yang tidak lagi dapat diajak negosiasi (baca : Negara sasaran kapitalis) dengan berbagai cara dan berbagai source yang membantu legitimasi kaum kapital. Propaganda Kapitalisme Dalam kehidupan antara bangsa dan bernegara, sudah menjadi pemahaman umum bahwa Negara dan bangsa harus saling memiliki hubungan dan kerjasama yang saling menguntungkan. Nampaknya hal ini yang selalu menjadi pemerintah Indonesia lebih sering “lunak” dari pada bertindak tegas dalam setiap keputusan. Begitupun propaganda yang dilakukan Negara-negara yang terkenal sebagai Negara imperialis—ketika pasca perang dunia ke-2 (PD 2), petani, pekerja (buruh), pengusaha, ilmuan dan bahkan tentara yang membunuh banyak orangpun, meluapkan kekesalan terhadap perang dunia dengan “mengutuk” perang tersebut (agar tidak terjadi kembali). Perang fisik berlalu dengan kehancuran fisik—dan muncullah perang dingin yang membekukan moral dan pikiran manusia. Hal ini mungkin sering kita katakan sebagai perang pemikiran. Perang pemikiran sebetulnya bukan merupakan hal yang baru terjadi setelah perang dunia ke-2, sejak zamanya para teosofi dan sejak zaman kemuncullan teori-teori metafisik—perang pemikiran sangat sering diperankan dengan bentuk yang mengarah pada “Agitasi Propaganda”, entah itu kepercayaan, di bidang keilmuan dan masalah sosial masyarakat. Dalam perjalananya, praktek pemikiran tersebut telah masuk dalam babak baru dan memiliki tujuan baru—adanya kemampuan manusia sehingga dapat menemukan Sumber Daya Alam, kemampuan manusia dalam membuat selembar kertas yang di tuliskan angka, kemampuan manusia dalam membuat mesin dan sebagainya, menjadikan perang pemikiran pasca PD 2 ini berfokus pada “pengendalian materi terpusat”/kapitalisme. Kapitalisme muncul bersamaan dengan paham “kerjasama antara Negara” yang mulai di umbar sebagai awal mula perkenalan anatara sang Imperialis dan Negara yang menjadi target (terutama Negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang banyak dan tingkat intelektualnya masih rendah). Halus tapi pasti, bersahabat tapi menusuk—itulah cara yang dilakukan oleh golongan kapitalis, pemberian bantuan keuangan lewat, pemberian bantuan “sosial”, merebaknya gaya dan merk yang segera meninggi menjadi trand bagi bangsa yang masih kurang berpendidikan, penanaman modal jangka panjang yang tidak seimbang dengan cita-cita Negara, politik formal lewat investasi dan eksplorasi sumber daya alam oleh bangsa kapitalis adalah beberapa cara legitimasi institusi kapitalis. Propaganda selalu membutuhkan alat—dan alat yang digunakan sangat bervariatif antara lain melalui militer, ekonomi dan media massa sebagai pembentuk opini publik. Rasa-rasanya ketiga hal tersebut pernah dialami oleh bangsa Indonesia—karena Indonesia adalah target “empuk” praktek kapitalisme. Ingat tragedy G30 S PKI yang memiki banyak versi cerita sampai dengan keterlibatan CIA (militer), kemudian terjadinya krisis ekonomi dunia 1997, kita dicederai dengan IMFnya (Ekonomi), dan saat ini kita masih sering menjadi pengagum produk, style, siaran televisi dan berita sebagai bentuk propaganda kultural yang ampuh (Media massa) dan lain sebagainya—kita semua sudah masuk ke lubang yang ada di tanah sendiri, menjadi ketergantungan—tidak punya sikap!!! Resolusi Untuk Collapse Perjuangan pembebasan terhadap penjajahan adalah perjuangan yang tidak hanya membutuhkan perhitungan sesaat—harus memiliki pikiran untuk manifestasi yang akan dating. Kalau untuk membangun sebuah Negara harus rela untuk mengorbankan jiwa dan fisik, kenapa tidak, untuk keluar dari perang pemikiran yang berujung pada penumpukan modal sang imperial—kita tidak akan melihat orang mati tanpa tangan dan kaki, dan tidak pula melihat anak-anak kita mengenakan senapan seperti orang tua kita dulu berjuang untuk merdeka. Karena perang pemikiran adalah perang “kecerdasan”, maka sarat yang paling fundamental untuk menghantam imperialis yang berbentuk capital ini adalah dengan kecerdasan pula dengan ilmu pengetahuan. Seperti yang saya kutip dari salah satu buku, yang mengatakan bahwa : Kapitalisme, sistem yang dipertahankan oleh penguasa dan penindas global (pemupuk modal), memang merupakan sistem yang berdasarkan standar ganda. Apapun kondisinya, entah demokratis atau tidak, entah hitam atau putih, selama itu menguntungkan akan dipertahankan--dan jika merugikan akan dihancurkan. Demokratis atau tidak suatu masyarakat, teokratis atau sekuler, jika merugikan pasti akan dihancurkan--sama halnya seperti bahwa tak mungkin kapitalis (masyarakat dan pemerintah yang pro-kapitalis) akan membuat raknyatnya sehat, berpendidikan dan berkesadaran modern, maju dan demokratis-membebaskan. Kapitalisme tidak menginginkan orang sadar, berpengetahuan, maupun cerdas, karena kalau banyak orang yang sadar, maka kebohongan tatanan penindasan kapitalisme akan tersibak, dan tatanan kapitalisme akan dihancurkan. Resolusi collaps haruslah dimulai dengan kesadaran akan pentingnya pengetahuan ini—karena tidak mungkin kita membiarkan adanya kekosongan perjuangan ketika kita melakukan suatu tindakan yang besar. Berkaca pada Negara-negara yang sudah dapat membebaskan diri dari sistem target ganda sebagai manifestasi dari gerakan Kapitalism—orang tidak takut lagi karena tidak mendapat bantuan keuangan dan “pertemanan” yang semu dari bangsa imperialis, pemerintah tidak takut menasionalisasikan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) “yang selama ini menjadi perpanjangan tangan bentuk kapitalisme” menjadi Badan Usaha Milik Rakyat (BUMR/BUMN), masyarakat tidak takut meninggalkan ketergantungan pemakaian produk-produk luar negeri karena memiliki potensi yang sampai sekarang masih dihalangi untuk pengembanganya, percaya akan kemampuan negara dan terutama Bapak bangsa ini tidak takut lagi untuk bersikap tegas dalam pengambilan keputusan—tidak segan dan takut ketika langkah-langkah diatas mendapat kecaman dari Negara sekutu imperialism—tidak menciut ketika IMF ataupun bank dunia sekali waktu meminta utang Negara kita secara komulatif dengan bunga yang melonjak, tidak mulai bernegosiasi lagi untuk memperpanjang eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA), buatlah aturan yang mulai memprotect SDA dan SDM Indonesia. Sementara kita memulai semua itu—collapse akan datang karena merupakan penumpukan beban bangsa yang tidak kita pikirkan secara jangka panjang. Dalam high politic keadaan ini sering digunakan oleh orang-orang burjuis untuk membangun kembali tatanan pasar, sehingga mereka bisa kembali membangun pasar dengan alasan yang berbagai macam—balikan cara ini untuk menopang keadaan setelah terjadi collapse. Tidak semua orang burjuis di suatu Negara tak terkecuali Indonesia menjadi “satelit” kaum imperialism. Manfaatkan keunggulan dalam negeri yang sudah ada, potensi yang sudah lama terbenam seperti Industri Pesawat Terbang dan sebagainya. Kita harus mau untuk collapseuntuk lepas dari tangan pemilik modal!!! (Max tollenaar)……

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun