Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengira-ngira Arah Suara Intelektual Muda

16 Mei 2014   16:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:28 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak tergiur dengan potensi intelektual muda (baca: mahasiswa), apalagi pada tahun pemilu seperti saat ini. Jumlahnya cukup besar, sekitar 20-30% dari total penduduk Indonesia. mereka yang dielu-elukan sebagai generasi yang akan memakmurkan Indonesia. mereka menjadi sasaran dari propaganda partai dan tokoh yang akan bertarung untuk wakil-wakil rakyat. Terlepas dari hal tersebut, mereka juga sedang rajin-rajinnya meramu idealis, kritis, sikap independen, sikap ilmiah dan sebagainya untuk mempersiapkan diri menjadi suksesor selanjutnya. Tentu ketika kedua keadaan ini diafiliasikan, kita mengharapkan kualitas pilihan wakil-wakil rakyat yang dapat menjalankan cita-cita Indonesia.

Pemilu legislatif sudah berlalu, tidak sedikit wajah-wajah baru bermunculan sebagai pengganti jiwa dan wajah tua, tentu ini tak lepas dari pilihan dari intelektual muda sedang di depan kita sudah dinanti oleh pemilihan presiden dan wakilnya. Koalisi dan calon presiden sudah semakin jelas, dukungan dan kepentingan sudah mulai Nampak, akhir-akhir ini yang sering terdengar adalah muncul dua poros yang telah menentukan calon presidennya masing-masing—JW & PS, begitu inisialnya. Untuk poros ketiga, tentu masih dalam tanda tanya, mungkin juga bisa menjadi kuda hitam dalam pemilu presiden.

Tentu sangat menarik untuk memperhatikan suara orang-orang intelek ini, mengingat dari tahun ke tahun, dari sejarah Indonesia yang cukup panjang, mereka bisa dikatakan kaum yang berpengaruh besar terhadap perubahan besar di Indonesia, tentu saat inipun (barangkali) mereka juga akan membuat kejutan-kejutan baru. Terkait dengan kedua calon yang kemungkinan besar akan maju dalam pilpres tahun ini yaitu JW dan PS, dalam hemat saya, sebagian besar mahasiswa masih mengimpikan calon alternatif sebagai presiden Indonesia. Bukan tanpa sebab dan alasan, karena mahasiswa yang masih dalam proses pencarian wujud ideal bagi pribadi dan pemimpin.

Bagi mereka kedua sosok ini (mungkin) bukanlah sosok ideal, terutama karena sejarah masing-masing, janji masing-masing dan tindak-tanduk masing-masing akhir-akhir ini. JW yang masih memiliki tanggungan terhadap Jakarta bisa menjadi alasan utama, dianggap tidak konsekuen terhadap janji untuk membangun Jakarta, belum genap dua tahun kepemimpinan sebagai gubernur sudah berhasrat sebagai presiden Republik ini. Belum lagi dengan desas-desus bahwa selama ini yang dilakukan oleh JW dianggap lebih banyak sebagai usaha pencitraan dibanding dengan usaha menjadikan Jakarta lebih baik, akhir-akhir inipun beliau sudah disangkut pautkan dengan korupsi Busway. Sedangkan untuk tokoh dengan inisial PS tentunya sering disangkutkan sebagai penjahat HAM, yang ikut mengambil peran dalam kasus pembunuhan pada tahun 1998. Kasus ini tiba-tiba saja mencuat keras saat ini, menuntut untuk segera diadili, menuntut untuk diusut. Lebih-lebih karena beliau juga merupakan salah satu pemeran dalam praktek Orde Baru—istilah yang lebih banyak bermuatan pahit dimata masyarakat Indonesia, atau mungkin juga karena statusnya sebagai purnawirawan, dan pengalaman tak mengenakkan masyarakat Indonesia dengan pemimpin mantan Angkatan sudah cukup banyak. Secara aktual, sikapnya saat ini yang sering menyinggung dan menyerang calon presiden dan partai lain menambah wajah negatif dari PS.

Ya, sikap kritis dan mental muda tentu saja tak ingin kecatatan itu menjadi putih karena menjabat sebagai presiden Indonesia. Apalagi dalam hal politik, hal yang pada awalnya saja berniat dan berlangsung baik, bisa menjadi kelam setelah beberapa tahun, atau bahkan sering kita dengar pernyataan bahwa seperti kasus korupsi sudah mulai direncakan sejak sebelum menjadi wakil rakyat atau juga pemegang jawabatan. Bagi mereka yang mulai terlatih untuk menelurkan banyak solusi dan juga menganggap bahwa negeri ini belum kehabisan seorang yang “baik”, seorang pemimpin, tentu opsi calon presiden lain sudah ada dikepala. Hanya saja keadaan pendidikan perguruan tinggi atau juga lembaga pendidikan di Indonesia masih bersifat eksploitatif, memeras pikiran-pikiran sang intelektual untuk menghasilkan karya dan inovasi, tapi dalam tataran pengambilan kebijkan tak banyak membutuhkan sang intelektual—mereka dikerdilkan secara halus—perlakuan tak beda jauh yang didapatkan dari lembaga negara dan partai politik.

Tentu saja hal ini segera mendapat perhatian, mendapat respon dari para calon wakil rakyat dan partai peserta pemilu, berita-berita seputaran dukungan terhadap salah satu calon yang berasal dari universitas atau institusi, walau hanya dengan embel-embel alumni, guru besar, mantan rektor dan sebagainya mulai menjadi bumbu dalam pesta demokrasi. Tentu saja mereka memainkan isu untuk suatu keperpihakan. Tapi lagi-lagi saya rasa itu belum cukup untuk menutup keinginan para intelek muda, bahkan masyarakat lain untuk memunculkan alternatif baru.

Keinginan itu sampai sakarang ibarat tak tentu arah, disatu sisi berkembangnya fakta bahwa saat ini partai politik cunderung kalah pamor dibanding dengan tokoh dan orang-orang yang ada dalam partai tersebut, sehingga banyak juga yang tak lagi memperdulikan partai politik—kalau bisa danmaunya ingin mengajukan calon-calon independen (terutama untuk calon presiden), tapi disisi lain hal tersebut tak bisa dilakukan karena terbentur aturan, sehingga harus diajukan oleh partai politik.

Sebut saja dengan tiga orang yang berinisial AB, JK dan DI, mereka memiliki kans yang kuat menarik potensi suara intelektual muda sebagai pendukung utama dalam pencalonanya sebagai presiden RI atau setidak-tidaknya sebagai wakilnya. Hanya saja mereka terganjal dengan status yang sama, dibelenggu oleh sistem partai. Tiga tokoh ini bukan tanpa alasan menjadi popular dikalangan mahasiswa dan masyarakat lain. AB yang terkenal dengan program Indonesia Mengajar, Rektor Termuda, dan memiliki bahasa lugas dan jelas yang menggambarkan salah satu generasi intelektual Indonesia, seringkali menjadi Inspirasi bagi mahasiswa di Indonesia, pikiran-pikiran positif yang selalu diucapkanya menjadi cambuk bagi sang pencari ilmu. Gerakan turun tangan dan tak membiarkan orang baik untuk hanya diam, menjadikan kaum intelek muda semakin melambungkan mimpi kebaikan Indonesia kedepan akan terwujud. Dia sukses secara praktek sekaligus konsep. JK sendiri adalah mantan wakil presiden RI yang sudah berpengalaman, ia punya catatan baik dalam pemerintahan, sering bertindak sebagai pemberi solusi dan moderator bagi perselisihan. Sebagai salah satu enterpreuner, ia sukses dengan bisnis dan slogan untuk cinta dengan produk dalam negeri, point penting yang melambungkan ketokohanya adalah ia lebih mementingkan mencari jalan keluar daripada mendebatkan suatu masalah, cepat dan tegas. Sedangkan tokoh yang ketiga ini, DI, beranjak dari ketelatenanya memunculkan ide-ide baru bagi perkembangan ekonomi Indonesia. ia terkenal dengan perjalanan hidupnya yang menarik simpati banyak intelek muda, tentu cerita-cerita dari keterbatasan dan kekurangan kemudian melambung menjadi orang besar lewat usaha telatenyalah yang menjadi mimpi bagi si empunya idealis (setidaknya sedang belajar). Sedang saat ini ia menjadi menteri BUMN, ia menelorkan ide-ide gila dan sering melakukan Turba (turun ke bawah), menyidak sampai ke jalan tol, konsep sederhana dengan semboyan Kerja Kerja Kerja mengangkatnya lebih tinggi. Tapi yang terpenting dari semua itu, tentu catatan buruk selama sejarah hidup belum mengisyaratkan mereka memiliki integritas yang berlobang. Walau saat ini ada desas-desus miring yang menyerang salah satu atau dua orang tersebut.

Tentu saja tokoh seperti tersebut pada paragraf sebelum inilah yang menjadi tumpuan bagi kaum intelek muda. Terlebih pada seorang yang berinisial AB, ia muda, berbakat dan tentu saja berbahaya bagi musuh Negara karena kemurnian ide dan tindakanya. Tapi apakah harapan dari generasi pelanjut estafet perjuangan ini akan dikabulkan, tentu ini masih menjadi tanda tanya besar. Terutama karena sampai sekarang ketiga tokoh alternatif ini dalam posisi mengambang terkait pencalonanya. Sampai saat ini alternatif baru itu tentu masih diharapkan, baik menjadi calon presiden ataupun wakilnya. Ketika hal tersebut tidak muncul, bukan berarti harus menutup pilihan, karena Negara ini lebih rentan ketika terjadi facum of power atau ekstensi pemerintahan yang sudah tua. Maka setidaknya kita memilih orang yang telah selesai dengan urusanya, dengan tanggungjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun