Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Presidenku dari Rakyatku

18 Januari 2015   00:41 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Negara berpenduduk banyak rupa…..
Angin subuh itu masih sepoi-sepoi dengan kesunyian yang menjadi. Mata dan badannya sudah bersiap untuk memulai lagi perjuangan hidup. Beranjak dari warung tempat ia sekedar mengisi sebagian isi perut, ia terpikir lagi dengan mimpi-mimpinya waktu tadi. Semakin ia mencoba mengingatnya, semakin jauh pula letak logika dari kenyataan. Sekali ia menoleh ke belakang, sudah jauh dari keramaian warung, mengatur lagi posisi keranjang dan besi pengailnya. Ia menggaruk-garuk kepalanya, kemudian mulai lagi berjalan meyusur hawa dingin.
Musim hujan selalu menjadi waktu yang tak ia inginkan, begitu becek dan kotornya sisa-sisa makanan dan minuman. Gelas air mineral dan stereoform pembungkus makanan yang sudah dua hari tergeletak tak beraturan, sudah terisi pula dengan berbagai macam air, sebagai campuran hujan dan air-air yang tak jelas sumber dan baunya. Walau ia seorang pemulung, masih ada juga rasa jijiknya dengan sisa-sisa bungkus makanan, lebih-lebih dengan bungkusan yang masih menyisakan segala macam yang tak dimakan orang kantoran.
“Ohh, hujan, oh hujan, tak bisa lagi aku mengais sisa makanan, karena sudah lebih cepat berbaur dengan segala kotoran”.
Ia mengambil sobekan kain disakunya, biasa digunakan untuk menutup hidung dan mulutnya atau juga untuk membersihkan sisa ingus selama ia sakit. Sudah tak jelas pula warna kain itu. Ia menutup hidung dan mulutnya sembari mengais botol-botol dan bungkus makanan yang bisa dijual. Sesekali ia harus berhenti sebelum melanjut mengais, karena bau sampah sampai sesakan indera penciuman.
Hari sudah mulai bercahaya surya, tapi begitulah kota, tak akan menyediakan horizon alam bagi orang-orang yang tak punya rumah dan gedung tinggi. lima jam ia mondar-mandir untuk mengais, keringat mulai muncul dari pori-pori. Ia mengambil rehat sejenak, menepikan diri dari asap dan kendaraan yang mulai penuh di ibu kota Negara yang berpenduduk banyak rupa.
Bekal segelas kopi dan sebuah gorengan tentu telah tercerna tanpa sisa, hilangnya bersama tenaga. Apalagi yang ingin dilakukan kalau tenaga tak tersisa, rupiah tak ada? Paksalah diri untuk tidur melupakan semua.
“air adalah sumbernya kehidupan, begitupula dengan hujan, muncul sebagai pelepas dahaga tumbuhan dan hewan. Barang siapa ingkar, tentu tak tahu diri dan tak tahu terimakasih, akhirnya akan menunggu murka alam. Pandai-pandailah bersyukur, pandai-pandai berterimakasih pada tuhan”.
“kenapa lagi otakku ini”, ia memukul-mukul kepalanya sesaat sebelum tidur. Tapi tentu bukan tidur dan tenang yang ia dapat, berkembanglah pikirannya menjadi semesta yang tak bisa diatur. Bahkan perutnya sudah berlagu keroncong kesepian.
“Bagaimana aku bersyukur kalau rumah dan sembako hanyut bersama banjir, kalau makanan sisapun tak bisa aku kunyah karena menjadi sampah, bagaimana aku bisa syukur, ah kau ustadz bicara kalau ada uang, ceramah kalau ada angpao. Tak ada imbalan berubah bentuklah wajahmu, ganjillah suaramu. Apa bedanya sekarang dengan tukang kritik yang temanku sering ceritakan. Engkau bicara iman, mereka bicara keburukan, ujungnya tetap hal uang”.
Ia sungguhnya tak ingin berdebat lagi dengan hati dan pikiran, karena begitu perih ia menahan lapar dan kantuk, tapi pikiran dan hati bukanlah manusia yang mengatur, bahkan jasad manusia itu sendiri. Semua ada pengaturnya, semesta ada yang memelihara. Sungguh inilah yang sering mengganggu ia sehari-hari. Ia memperbaiki lagi posisinya di bawah pohon, mengatur lagi letak keranjang yang baru terisi seperempatnya, mencoba menemukan posisi kepala yang cukup nyaman.
Sekarang ia mencari-cari kebaikan, setidaknya dalam angan. “oh kepala, oh raga, kenapa juga kau tak kunjung cerahkan gelap”, rintihnya.
Pikirannya seakan diloncati sinar harapan, ia teringat akan seseorang. Bukan sanak famili atau teman senasib, bukan pula manusia berbudi yang sempat memberikannya uang untuk membeli makan. Ialah penguasa negeri berpenduduk banyak rupa, pimpinan seluruh pedagang, pimpinan seluruh pengusaha, pimpinan pemulung, pimpinan petani dan pelaut, pimpinan supir angkot, pimpinan tukang cukur rambut, pimpinannya para jendral dan pejabat eselon di bumi yang pertiwi.
Wajahnya mulai sumbringah, sedikit menutupi keresahan karena lapar.
“oh inilah yang membawa harapan”.
Pertarungan kekuasaan pertengahan tahun lalu merupakan kesejukan alam yang dirasakan. Ia tak banyak melakukan perjalanan untuk mencari makanan, cukuplah ia mengikuti kampanye-kampanye partai dari bagian belakang. Ia juga tak sering mengangkat keranjangnya siang dan malam. Karena sekali ia ikut dalam keramaian, cukuplah untuk kehidupannya sehari semalam.
Ia tak banyak tahu tentang politik, politikus dan tetek bengeknya, tapi cukup pintar untuk menimbang-nimbang. Percakapan orang di warung-warung adalah sumber utama.
“oh ada rupanya, mantan tentara, jadi ksatria berkuda keliling senayan. Menoleh kiri dan kanan sambil melambaikan tangan. Badan tegap tak terlihat sisa umur tinggal berapa. Ingat, dia bukan pilihan utama, sekelilingnya hanya terdapat orang dan partai lama. Tahu arti orang lama dan partai lama?”. Keadaan hening sesaat. “sudah jelas tak ada jaminan buat kita, mereka-mereka itu hanya bawa utang, kasus, dan susah buat Negara”.
“bagaimana calon yang satunya”, sahut seseorang.
“dengarlah baik-baik ceritaku ini”, nadanya antusias, matanya bersinar-binar penuh dengan semangat.
“Kau tahu anak desa, anak desa miskin yang hidup seadanya?” Semuanya mengangguk serempak.
“kita inilah anak-anak desa, dia sama seperti kita, tahu hidup susah payah, tahu makan nasi tanpa lauk, dan juga kurus kering kerontang, sama dengan kita”, iya tertawa sealakadarnya.
Semua yang mendengarnya termasuk pemulung itu terdiam, entah sedang khusuk mendengarkan atau melamun tak menghiraukan. Tapi bagi pemulung itu, inilah salah satu acara pengisi waktu senggangnya.
“lihat dia sekarang, dahulunya tak punya apa-apa, sekarang ia tumbuh menjadi idola, tak ada partai dan golongan yang tak mengejarnya, ingin diangkat menjadi orang terpercaya. Ia mengerti keluh kesah orang macam kita, penjual sayur juga supir-supir angkot. Ia tahu karena langsung bertatap muka dengan mereka semua, ohh itulah harapan kita, berkat tuhan, ia sudah menjadi kepala daerah ini”.
Selayaknya orang yang tak punya pendidikan, semua menurut tanpa bersahut.
“Nasibnya perlu kita syukuri, perlu kita do’akan untuk selanjutnya. sekarang ia maju sebagai calon pemimpin satu Negara, tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam kata kemajuan, ia generasi baru, belum ada sangkut paut dengan tindak-tanduk kekuasaan lama. Kalian setuju bukan?”. “aku beritahukan lagi satu hal yang paling penting, di Negara ini tak ada duanya seorang itu, iya maju bak hanoman, yang melindungi kebenaran, titisan dewata. Tak ada yang lebih sederhana, tak ada yang lebih berperasa, tak ada yang lebih paham akan nasib-nasib seperti kita selain orang yang tumbuh dalam lingkungan kita sendiri, dan itulah dia”.
Begitu percaya diri seorang yang menyampaikan itu, ia seperti sedang berpidato, meyakinkan pendengar agar menuju pada harapan yang sama.
Orang-orang kecil termasuk pemulung itu mulai saling mengeluarkan suara, terdengar sedikit gaduh, mengiyakan, membenarkan dan setuju dengan kalimat panjang seorang tersebut. Tidak sering mereka merasakan hal semacam ini, karena mereka lebih tahu tentang kehidupan di area bawah, di lingkungan fakir dan miskin yang sering menjadi tumbal. Kebanyakan dari mereka sangat sering acuh dengan kata kemajuan dan perbaikan nasib. Sebab yang sering mengeluarkan kalimat itu hanya seorang penipu, berulang kali berjanji manis, pilu dan pahit yang menjadi kenyataan.
Ingatan ini muncul dari beberapa bulan yang lalu, pemulung itu masih saja belum bisa membenamkan mata dan kesadaran, oleh karena kemanisan harapan yang baru ia dapatkan. Kali ini ia berdiri sejenak, melihat-lihat jalanan yang semakin panas, badannya terasa semakin lemas.
Seminggu sebelum pemilihan
“saudaraku, ia tak punya kroni, jauh dari kelakuan orang-orang yang pintar bicara, sungguh yang ia tahu hanyalah bekerja, bekerja untuk kebaikan kita”.
Pemulung itu akhirnya tertidur, tambahan beban dari ingatan dan harapan membuat semakin payah. Tak sempat lagi ia membenarkan kedudukan keranjang dan pengail sampah, ia terlentang begitu saja.
Asap kendaraan masih penuh beterbangan, hilir mudik manusia semakin padat. Siang itu tak tampak awan gelap di atas kota, hanya suara Guntur yang terdengar dari arah kejauhan, mungkin di kota seribu angkot atau juga dari arah kawasan industri. Beruntung pemulung tak temui hujan saat ia lelap tidur. Tapi tak baik nasibnya karena terlalu awal terlelap pada saat sampah sisa makanan dan minuman tak bercampur dengan hujan dan bau menyengat. Harusnya ia bisa memanfaatkan waktu seperti sekarang di saat musim penghujan.
Di tempat yang cukup jauh dari pemulung itu tidur pulas, orang-orang ramai di warung kopi. Mereka seperti menonton acara wayang. Tapi tak lazim wayang di siang bolong.
“oi, oi harga minyak naik lagi, harga makanan pasti naik lagi”. Sahut seorang yang menonton berita ditelevisi.
“itu pemimpin kita yang membacakan, presiden kita, pasti dia sudah punya rencana”. Jawab seorang yang pernah berpidato dihadapan pemulung beberapa bulan lalu.
“Lalu?”
“Lalu apa maksudmu, engkau tak percaya dengan pilihan rakyatmu?”.
“tak ada yang lebih pantas selain dia saat ini”, lanjutnya.
“keruntuhan dan kejahatan saja butuh proses lama, penjajahan portugis, belanda, orde-orde yang muncul di Negara ini tak makan waktu singkat, bertahun-tahun bahkan sampai hitungan abad, apalagi membangun kebaikan dan kemajuan. Kata orang pintar di sebelah benua, setidaknya akan makan waktu dua kali waktu untuk meruntuhkan. Sekali waktu untuk membangun kembali, sekali waktu yang lain untuk mengembangkan, barulah itu namanya kemajuan”. Orang itu mengeluarkan lagi pidato ajaibnya.
Tapi kali ini bukan pemulung dan yang tak berpendidikan sebagai teman bicaranya, warga kampung, dengan pedagang warung yang setiap hari menyalakan televisinya siang dan malam ikut pula berkomentar.
“itulah, lihat, lihat ia mulai muncul dengan kroni partainya. Janjinya tak balas jasa sudah hampir terbukti terbalik semua. Itulah bang penyakit kalau sudah jadi penguasa, anak petanipun bisa jadi serigala”. Sahut empunya warung.
“Nah itulah juga penyakitnya penduduk bumi ini, ya kita ini. ingin cari kesenangan instan, tak suka bersusah payah sebelum sampai surga dunia. Kita kemarin kan sudah bersepakat, sudah setuju pula dengan revolusi, reformasi atau apapun namanya itu. Yang namanya perjuangan seperti itu tak seperti cari kenikmatan ditempat penjaja malam, sebentar saja negosiasi, kalau cocok langsung puaskan birahi”.
“ah abang bisa saja. Bukan seperti itu pula kami maksud. Ia jadi pemimpin bukan untuk satu sampai tiga bulan, setidaknya lima tahunlah normalnya. Kalau tiga bulan awal saja sudah lain kata lain pula perbuatan, apa bisa jamin selanjutnya bisa kembali lurus”, warga itu menggeleng-gelengkan kepalanya.
Suasana sempat terdiam sesaat ketika mendengar akan dinaikannya tarif-tarif dan bahan pokok untuk kehidupan. Keramaian karena perbincangan itu mulai mereda karena disusul suara kilat dari atas kota. orang-orang segera saling berpamitan, karena sudah takut akan hujan, siap siaga sebelum kejadian yang berpuluh tahun menjadi langganan terulang lagi.
Pemulung yang sedang tertidur pulas terkaget karena suara kilat yang menggelegar. Ia menoleh ke langit, melihat kumpulan awan hitam sudah mulai mengepung keramaian kota. Ia sedikit melompat, mengambil keranjang dan pengailnya. Lupalah ia akan isi perut dan kelelahannya. Mata tak sempat diusap, baju dan celananya tak sempat dikibas-kibaskan. Segera ia menuju sarangnya di dekat sungai. Tapi itu masihlah teramat jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki.
Dalam benaknya masih tersisa angan yang berbau harapan, ia berlari kecil, berlomba dengan rintik hujan yang mulai turun. Seperti puisi ia menyusun lagi harapan itu lewat pikirannya.
Iyalah yang memberi harapan
Sehingga hilang lapar dan penderitaan
Iyalah pemimpinku
Presidenku dari rakyatku
Bukan presiden dari orang kaya dan pengusaha besar
Bukan presiden dari orang asing dan Negeri adidaya
Presidenku dari rakyatku
Tak ingin hanya menjadi harapan palsu
Seperti orang-orang dahulu yang suaranya serba merdu
Hingga akhirnya sekarang tak laku
Oh presidenku dari rakyatku
Semuanya sudah mulai bertumpu padamu
Orang seperti daku tak punya kuasa untuk membantu
Tapi akan selalu ku ingat kata-katamu
Mengangkat harkat dan nilai manusia
Mementingkan negerimu sehingga setara bangsa maju
Pemulung itu tak sanggup lagi berlari kecil, ia mengatur nafasnya, jalan seperti biasa. Hujan tak bisa dibendung lagi, turunlah ia di ibu kota negeri banyak rupa. Tak bisa ia lanjutkan perjalanan ke tujuan. Beruntunglah ia karena menemukan emperan ruko yang tak bertuan, tak di isi oleh pemulung dan gembel jalanan yang lain.
“iya aku akan istirahat di sini sejenak”, sahutnya dalam hati.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun