Ada benarnya jika banyak orang sering berteriak tentang tertinggalnya orang pulau jika dibandingkan dengan derap pembangunan di kota besar. Hal itu saya buktikan ketika dalam suatu kesempatan , bersama beberapa kawan berkunjung ke kepulauan Tanakeke, kabupaten Takalar propinsi Sulawesi Selatan.
belajar mengajar (muhammad idhan)
Anda yang melewatkan masa kecil di daerah terpencil mungkin merasa biasa saja dengan foto diatas. Saya yakin telah banyak orang sukses yang bermuasal dari kampung, pedesaan dan bahkan pulau terpencil sekalipun. Sementara anda yang menghabiskan masa kecil dan bersekolah di kota besar yang berfasilitas memadai barangkali lebih sering hanya menontonnya di televisi atau melihatnya lewat foto.
Suasana yang sedang berlangsung adalah suasana belajar mengajar. Lihatlah ibu guru yang mengajar. Seorang anak kecil duduk dipangkuannya. Ini adalah hal biasa dan lumrah saja setiap hari. Anak-anak murid tak pernah merasa terganggu. Soal apakah ibu guru dapat fokus atau tidak mengajar sambil membawa anaknya yang masih kecil, itu soal lain. Mungkin itu masih lebih baik daripada ibu guru sama sekali tak datang mengajar.
Beberapa kali berkunjung ke pulau-pulau, saya paham sebuah kelaziman. guru hanya akan datang mengajar beberapa hari saja dalam sebulan. alasan para guru itu sama. mereka tak nyaman berada di pulau. bukan soal masyarakat tak menerima. tapi daya tarik kota dengan segala keramaiannya masih enggan mereka lepaskan.
Di pulau memang berbeda. Listrik hanya ada saat sore hingga jam 11 malam. Selebihnya akan gelap gulita jika tak punya genset pembangkit listrik pribadi. Keramaian di pulau hanya ada ketika seseorang menggelar hajatan seperti penikahan dan lain-lain dimana petugas listrik akan berbaik hati memberi bonus hingga jam 1 dinihari. Air minum juga bersumber dari air hujan yang harus disimpan dulu semalam sebelum dikonsumsi. Agar zat kapurnya mengendap. Jika kemarau tiba, mereka harus membeli air dengan harga 2.500 rupiah setiap jerigen yang berkapasitas 20 liter.
Lihat juga anak-anak murid itu. Nyaris semuanya tak beralas kaki. Ibu guru juga tak akan marah. Beliau sudah paham situasi di pulau tempatnya mengajar. Kalau di kota, tentulah kebiasaan itu tercap sebagai tak disiplin. Tapi di pulau batas etika nampaknya punya rentang yang lebih luas.
Tak banyak yang melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA. Apalagi hingga perguruan tinggi. Soal biaya pendidikan yang tinggi dan keinginan untuk secepatnya mendulang rupiah menjadi alasan. Dapat membaca dan menulis itu barangkali sudah cukup. Bagi anak perempuan, di usia remaja mereka akan segera dikawinkan. Bagi anak lelaki mereka harus segera bekerja untuk membantu mencari nafkah. kerja apa saja biasanya. nelayan, petambak, petani rumput laut dan kalau perlu merantau ke kota untuk menjadi tukang ojek, buruh dan sebagainya.
Kalaupun ada yang menjadi sarjana, tak banyak yang kembali ke pulau. Sekali dua ada juga yang kembali, tapi kebanyakan memilih bertarung hidup di kota. gaji, fasilitas dan status sosial tentulah lebih mending, dibandingkan kembali ke pulau dan berpanas-panas ria mencari ikan dengan resiko hilang tertelan ombak.
Begitulah sekolah di pulau. Saat elit pemerintah dan mereka yang menganggap dirinya sebagai pelayan rakyat berkoar-koar negeri ini telah maju dan sejahtera, anak-anak di pulau tetap tersenyum di ruang kelas kusam….
Nb : Namun tawa riang dan canda khas anak-anak pulau, tak jauh beda dengan anak-anak yang bergelimang fasilitas diperkotaan. Nampaknya ditengah keterbatasan (menurut standar modern) itu, kebahagiaan adalah sesuatu yang mereka dapatkan dengan mudah setiap hari..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H