[caption id="attachment_83796" align="alignleft" width="300" caption="Haji Tayeb (dok: YKL 2009)"][/caption] Kata orang bijak kisah sukses memberikan energi bagi orang lain. Demikian halnya dengan Haji Tayeb. Beliau adalah seorang yang bagi pemerhati lingkungan merupakan tokoh yang tidak asing lagi, baik di ranah Sulawesi, indonesia bahkan global. Sebenarnya apa yang dilakukan oleh lelaki yang sekarang telah berumur 70 tahun ini sehingga peneliti dari Jepang, AS, Jerman, Belanda dan lain-lain menyambanginya? mengapa pula lelaki dari dusun Tongke-tongke ini kerap diundang menjadi pemateri pada pelatihan dan lokakarya di hampir seluruh indonesia? H. Tayeb, begitu ia dikenal adalah seorang warga yang tinggal di Dusun Tongke-tongke Kabupaten Sinjai Propinsi Sulawesi Selatan. Syahdan, pada awal tahun 1980-an kampung Tongke-tongke sedang mengalami ancaman abrasi karena gelombang laut. Abrasi besar-besaran itu membuat warga tak tenang karena rumah dan perahu yang tertambat dipantai selalu terhempas ombak. Warga tak tinggal diam. ”Kami inisiatif melaporkan kepada pemerintah bagaimana menanggulangi masalah ini”, kata Haji Tayeb memulai cerita. Tapi rupanya laporan tersebut tak digubris. warga lalu bermusyawarah dan sepakat untuk membangun tanggul penahan ombak yang bahannya dari batu karang yang terdapat disekitar kampung. Sosoknya yang ringkih tak memberikan halangan untuknya dalam menuturkan pengalamannya. Berikut ini penggalan cerita langsung Haji Tayeb saat memberikan materi dalam pelatihan Konservasi Laut yang digelar pada pertengahan bulan februari 2009 oleh Yayasan Konservasi Laut (YKL) Indonesia dengan dukungan WWF-Russel E Train Education for Nature Program. Assalamu Alaikum Wr, Wb. Mohon maaf karena bahasa yang digunakan adalah bahasa petani. Cuman tamat SR (Sekolah Rakyat) dan umur saya sudah 70 tahun. Kita mulai dari apa yang pernah saya kerjakan di Sinjai. Sinjai dulu terkikis oleh ombak sehingga muncul inisiatif ini. Setiap air pasang naik ombak dan rumah-rumah terapung oleh ombak. Saya melaporkan kepada pemerintah untuk menanggulangi. Saya inisiatif untuk melakukan musyawarah dan sepakat untuk mengambil karang untuk tanggul 1×1 setiap jumat untuk penahan sementara. Lama kelamaan ada hasil tapi tidak memuaskan. Saya mendiskusikan dengan masyarakat, bagaimana kalo kita ke kampung sebelah untuk melihat bakau di kampung Pangasa dan bertemu dengan petani tambak. Mempertanyakan mengapa tambak di pematangnya ditanami bakau. Katanya untuk penanggulangan abrasi. Kemudian saya kembali ke kampung mendorong masyarakat untuk mencari bakau untuk kemudian disimpan di kolong rumah dan ditanam ketika pulang melaut. Awalnya hanya 20 orang yang bersedia ikut dan menanam lebih dari 5 Ha bibit bakau. Hasilnya 90 % bakau tumbuh pada saat itu. Melihat tumbuhnya bakau tersebut, warga lainnya lalu mengikuti dengan sukarela. Sekarang luasan tanaman bakau di Tongke-tongke mencapai 500 Ha yang merupakan hasil swadaya murni. Mendorong warga lain turut serta memang bukan hal mudah. Prinsip dasar yang kami gunakan adalah kesadaran, ketekunan dan keihlasan. Jika niat kita baik, maka yakinlah Tuhan bersama kita. Wajo juga sudah berhasil yaitu Keera, saya menginspirasi Abu Wenna yang kemudian mendapat penghargaan Kalpataru. Tiga prinsip ini kuncinya. Di Sinjai saya mengembangkan bakau di beberapa kecamatan lagi. Pulang dari tanah suci saya menanam 30,000 pohon dengan biaya sendiri. Kepada peserta tolong swadaya sedikit dan dapat selanjutnya dibantu dari pemerintah. Masyarakat jangan hanya mengharap pemerintah, tonjolkan swadaya dulu baru minta pemerintah mencukupi. Sekarang di Sinjai jalan diaspal karena adanya pengelolaan bakau. Tekunlah, ikhlas, dan niat baik Insya Allah Tuhan menerima. Fungsi-fungsi hutan bakau sudah dinikmati oleh masyarakat di kampong saya. Fungsi fisik hutan bakau : - Pelindung pantai, tempat berlindung dan memijah berbagai biota, penghasil bahan organik, daerah penyangga atau peralihan darat dan laut. Fungsi ini menyebabkannya sangat peka akan perubahan. Makanya hutan bakau harus dilestarikan dan menempatkan hutan bakau sebagai kawasan Konservasi. Di kampung saya 1 Ha penambahan daratan, pendangkalan cepat rumah-rumah mulai dibangun di daerah daratan baru ini. Kalau bakau sudah tumbuh, daratan akan baik. Di kampong kami buat jalur perahu disela-sela mangrove. Mangrove disana sudah ada yang 30 meter tingginya.Bakau paling rapat paling bagus. Pemerintah hanya nilai luas bukan jumlah pohon, saya mengingatkan pemerintah jangan terlalu luas. Biasanya mereka menggunakan ajir dan tidak berhasil lebih baik simpan ajirnya untuk masyarakat untuk penyulaman dan perawatan. Jangan membuang uang di ajir, paling bertahan 6 bulan. Bakau dirawat minimal 3 tahun. Umur 2 tahun paling bahaya karena akar lutut belum keluar. 4 tahun akar lutut akan keluar dan sudah aman. Saya 2 kali seminar di Wajo dengan instansi pemerintah dan alhamdulilah berhasil lebarnya hanya 50 meter keluar tapi panjangnya 10 km. Di Sinjai lebar 700 meter. Kehadiran hutan bakau ternyata tidak saja membebaskan masyarakat dari ancaman abrasi. Lebih dari itu memberikan manfaat ekonomis yang cukup tinggi. Terbukti, hutan bakau di Tongke-tongke telah menjadi “sarang” kepiting, udang, benur (bibit udang), nener (bibit ikan bandeng), serta berbagai jenis ikan lainnya. Setiap hari sejumlah warga setempat selalu memanen komoditas tersebut sehingga menambah pendapatan keluarga. Volume produksi kepiting, misalnya, sekitar satu ton per bulan. Harga kepiting di Sinjai berkisar Rp 20.000-Rp 30.000 per kilogram. Satu ekor kepiting super memiliki berat satu kilogram sampai 1,3 kilogram. Kepiting yang terkecil biasanya tiga ekor baru mencapai satu kilogram. Sementara itu, harga nener berkisar Rp 100-Rp 150 per ekor. Jika dalam sehari setiap orang dapat menangkap 100 ekor, berarti memberi penghasilan Rp 10.000. Belum lagi benur yang potensinya semakin besar. Apabila potensi yang ada digarap optimal, masyarakat Tongke-tongke tidak akan mengenal ketiadaan uang.
***************
Meskipun usaha dan keberhasilan Haji Tayeb dan warga Tongke-tongke juga telah mengantarkan Haji Tayeb memperoleh penghargaan Kalpataru dan bertemu dengan dua Presiden Republik Indonesia yakni Soeharto dan Gusdur, namun baginya penghargaan itu bukanlah tujuan. ” saya melakukan itu semua bukan demi penghargaan atau mau ketemu pejabat tetapi karena keikhlasan semata. kini hari-hari haji tayeb diisi dengan beribadah kepada Allah SWT, bermain bersama cucunya, dan sesekali berkeliling tukar pengalaman dalam pelatihan dan lokakarya. begitulah... ...........tulisan ini juga dimuat di link ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H