Mohon tunggu...
Muhammadibrahim Halim
Muhammadibrahim Halim Mohon Tunggu... lainnya -

.: diet ngopi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan "Penjara" Politik Pencitraan

16 November 2015   16:36 Diperbarui: 16 November 2015   16:36 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagaimana Jokowi ‘menutup’ fakta kebohongan tersebut dengan pencitraan? Tentu masih segar dalam ingatan, Kabinet Kerja Jokowi-JK dilantik melalui prosesi yang tak lazim. Puan Maharani cs dikukuhkan sebagai pembantu presiden di halaman Istana yang hijau. Juga didramatisir dengan teaterikal berlari-lari kecil menuju taman dengan balutan busana hitam-putih  sebagai simbol kesederhanaan. Jadilah fakta inkosistensi itu tidak menjadi realitas tunggal yang muncul media.

Berikutnya, janji tidak menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kado nyata pertama Jokowi-JK buat rakyat adalah menaikkan harga BBM alias mengurangi subsidi. Pola pencitraan atau sebut saja cover up strategy yang dilakukan agar tak menjadi bulan-bulanan adalah segera mengeluarkan trio kartu ‘sakti’; kartu Indonesia sehat, kartu Indonesia pintar, dan kartu keluarga sejahtera.

Tentu saja banyak fakta lain yang tak cukup ruang untuk menyebutnya satu per satu di sini. Yang pasti fakta-fakta itu membuktikan politik pencitraan Jokowi layak disebut penyempurnaan politik serupa yang diterapkan SBY dulu.

Fenomena politisi atau pemimpin menggunakan pencitraan untuk mendapatkan dukungan tentu sah-sah saja. Dari perspektif periklanan maka pencitraan menjadi modal sosial agar tetap menuai dukungan publik.

Dan ditinjau dari perspektif komunikasi, yang dilakukan Jokowi tentu tidak salah. Ia jeli memanfaatkan media-media mainstream yang masih setia menyokongnya karena media dianggap sebagai pembawa pesan dan media sebagai bahasa (Joshua Meyrowitz, 1999).

Pilihan Jokowi maupun SBY melebarkan makna dan sasaran politik pencitraan yang bukan sekadar meraih dukungan semata agar terpilih tentu menjadi kajian menarik. Sebab dalam beberapa literatur kajian komunikasi politik, pendekatan politik pencitraan selalu dirujuk sebagai salah satu bentuk kampanye agar khalayak memilihnya saat vote.

Setahun memimpin, Jokowi tak pernah lepas dari komunikasi politik beraroma pencitraan. Lihat saja dua fenomena terakhir yang banyak menyita energi anak bangsa; fluktuasi nilai rupiah dan kebakaran hutan.

Kedua cobaan berat ini seperti dejavu. Dulu digembar-gemborkan jika Jokowi terpilih nilai tukar rupiah terhadap dolar AS bisa turun ke Rp 10 ribu. Soal kebakaran hutan Jokowi penuh percaya diri menjanjikan tahun 2015 tidak ada lagi kebakaran hutan. Kedua janji ini justru bak palu godam yang balik menghantamnya dan jauh lebih keras dari yang diperkirakan.

Jokowi memang masih melancarkan cover up strategy demi memecah opini publik terhadap ketakberdayaannya menghadapi dua ujian terakhir ini. Misalnya, ia terjun langsung ke hutan-hutan yang terbakar demi menunjukkan keseriusannya. Juga dengan mengunjungi suku anak dalam yang masih heboh dibahas di jagad sosmed. Namun apakah itu berhasil? Masyarakat punya penilaian masing-masing.

Pertanyaannya, apakah pilihan mempertahankan politik pencitraan bisa menolong Jokowi agar tetap mendapat legitimasi dari sekitar 250 juta penduduk Indonesia? (Mungkin) hanya Jokowi dan Tuhan yang bisa menjawabnya. Semoga saja Jokowi tidak sedang ‘terpenjara’ dalam biduk politik pencitraan yang telah dipilihnya.

[Dimuat di Halaman OPINI Harian Tribun Timur Makassar, 11 November 2015]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun