Namun, terlepas dari seluruh pengaruh psikis yang ditimbulkan kalimat ini, sehingga membentuk perspektif diri dan keyakinan, serta kepercayaan diri. Kita tak bisa mengabaikan realitas sosial yang kompleks. Banyak kasus seorang individu yang memiliki sumber daya yang terbatas, seperti kondisi finansial yang bahkan tak mampu mencukupi kebutuhan primernya. Misalnya, apabila ia kalah pada suatu kompetisi bergengsi tahunan yang memiliki biaya pendaftaran sebesar Rp. 300.000,00. Sedangkan ia tak memiliki cukup uang untuk membayar biaya pendaftaran itu untuk tahun besok.Â
Kemudian juga situasi yang tak dapat diprediksi dan diatasi oleh kita. Situasi yang tak berada dibawah kendali kita, seperti situasi geopolitik yang kacau. Misalnya, apabila terjadi perang dunia yang dahsyat yang tak diketahui kapan akan berakhir, sehingga beberapa kompetisi internasional dan regional, seperti: Olimpiade, Asian Games, dan Piala Dunia, terpaksa dibatalkan. Sedangkan faktor umur juga menghambat mereka untuk mengikuti kompetisi di tahun-tahun selanjutnya, sehingga terpaksa harus mengakhiri proses perjalanan panjang yang dia mulai itu. Atau seperti seorang siswa yang gagal meraih gelar juara Olimpiade Sains Nasional (OSN) di kelas 11, sedangkan ia tak bisa mengikuti OSN kembali di kelas 12. Maka ia harus menerima kenyataan bahwa ia takkan bisa meraih juara di kompetisi OSN tersebut.Â
Adapun hal-hal mistis atau berbau kepercayaan, terutama mitos, yang mengatakan bahwa kita akan mendapatkan hasil yang terbaik dan menggapai cita-cita itu, atau seperti berharap suatu keajaiban akan datang, lalu tiba-tiba perang yang dahsyat itu berakhir secara damai, atau berharap Kementerian Pendidikan mengubah kebijakan yang lama dimana anak kelas 12 dapat mengikuti kompetisi OSN, adalah sesuatu yang abstrak. Hal ini kurang dapat dipertimbangkan karena tak memiliki data empiris yang mendukung hal ini akan terjadi, bahkan pada sebagian besar kasus.Â
Sehingga dari seluruh poin-poin pembahasan dan faktor-faktor diatas kalimat "kegagalan adalah sukses yang tertunda" tidak relevan terhadap kondisi sosial masyarakat sekarang yang multifaset. Namun, apabila dipandang dari segi emosional, kalimat ini dapat mendorong atau memberikan stimulus kepada seseorang untuk bangkit dan jangan terus berlarut-larut dalam kesedihan akan kegagalan tersebut.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H