Di dunia pendidikan tinggi, nilai akademik sering kali dipandang sebagai penentu utama dari kesuksesan seorang mahasiswa. Nilai yang tinggi dianggap sebagai bukti dari kecerdasan dan kemampuan seseorang, dan sering kali digunakan sebagai patokan untuk peluang karir di masa depan. Namun, di balik label yang melekat pada nilai akademik tersebut, muncul pertanyaan penting: apakah nilai akademik benar-benar menjadi indikator kesuksesan mahasiswa, ataukah justru sistem penilaian ini mengabaikan aspek-aspek lain yang jauh lebih krusial dalam membentuk masa depan mahasiswa?
Bagi sebagian orang, nilai akademik adalah segala-galanya. Lulus dengan predikat cumlaude dianggap sebagai tiket emas menuju karir yang sukses, diakui oleh masyarakat, dan bahkan menjadi bukti bahwa mahasiswa tersebut memiliki kualitas intelektual yang tinggi. Namun, dalam realitasnya, nilai akademik tidak selalu mencerminkan kualitas pribadi, kreativitas, atau potensi seseorang di luar lingkungan akademis. Begitu banyak mahasiswa yang lulus dengan nilai tinggi namun kesulitan mencari pekerjaan, atau bahkan tidak tahu bagaimana mengaplikasikan ilmu yang mereka pelajari dalam kehidupan sehari-hari.
Sistem Penilaian yang Terbatas
Pendidikan formal, terutama di kampus, sering kali menekankan pada penilaian kuantitatif seperti angka dan huruf sebagai ukuran dari pencapaian. Di banyak kampus, nilai A, B, C, dan seterusnya menjadi semacam ukuran baku yang menilai kecerdasan dan kerja keras mahasiswa. Padahal, seperti yang ditulis oleh Karl Marx dalam karya-karyanya, sistem pendidikan dalam masyarakat kapitalis sering kali hanya bertujuan untuk mencetak individu yang dapat mendukung sistem ekonomi yang ada, tanpa memperhatikan aspek-aspek lebih mendalam mengenai pengembangan karakter dan kreativitas. Marx dalam Das Kapital menulis, "Pendidikan hanyalah alat untuk menyiapkan individu agar siap menjalani peran mereka dalam struktur sosial yang lebih besar, bukan untuk membentuk manusia yang bebas dan kreatif." Dalam hal ini, sistem penilaian akademik yang hanya mengukur seberapa baik seseorang bisa mengikuti aturan dan memenuhi standar yang ada justru mengabaikan kemungkinan untuk berkembang secara lebih holistik.
Penilaian yang terfokus pada angka atau huruf ini tidak memadai untuk mengukur berbagai aspek penting dalam kehidupan mahasiswa, seperti keterampilan berpikir kritis, kemampuan beradaptasi, dan kepekaan sosial. Nilai akademik cenderung lebih mengutamakan kemampuan menghafal dan menyelesaikan tugas dalam batas waktu tertentu, sementara kemampuan untuk berinovasi dan berkolaborasi tidak mendapatkan ruang yang cukup dalam sistem penilaian yang ada.
Tan Malaka dan Pendidikan yang Membebaskan
Dalam perspektif yang lebih kritis, Tan Malaka, seorang tokoh pemikir Indonesia, menyatakan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berfokus pada pencapaian intelektual semata, tetapi lebih pada pembebasan manusia. Dalam bukunya Madilog, Tan Malaka mengkritik sistem pendidikan yang hanya berorientasi pada keterampilan teknis dan keilmuan tanpa memperhatikan pembentukan kesadaran sosial dan politik. Menurut Tan Malaka, pendidikan harus berfungsi untuk "membebaskan" individu dari belenggu pengetahuan yang sempit dan memberi mereka kemampuan untuk melihat dunia secara lebih luas, serta mengembangkan potensi diri untuk berkontribusi pada masyarakat.
Pendidikan yang membebaskan ini bukanlah pendidikan yang semata-mata mengukur pencapaian akademik, tetapi lebih pada proses transformasi individu yang mampu melihat dunia dengan cara yang kritis dan inovatif. Tan Malaka menekankan bahwa pendidikan seharusnya mengajarkan mahasiswa untuk mempertanyakan status quo dan mencari solusi untuk masalah-masalah sosial yang ada, bukan hanya untuk mematuhi aturan yang sudah ditetapkan oleh sistem yang ada.
Jika kita mengacu pada pemikiran Tan Malaka, maka nilai akademik sebagai penentu utama kesuksesan mahasiswa perlu dipertanyakan. Pendidikan yang membebaskan tidak hanya mengukur mahasiswa melalui ujian dan tes, tetapi juga melalui kemampuan mereka untuk berpikir kritis, berinovasi, dan memberikan kontribusi kepada masyarakat. Dalam konteks ini, sistem penilaian akademik yang hanya bergantung pada angka dan huruf tidaklah mencerminkan kesuksesan yang sejati.
Dampak Nilai Akademik pada Mahasiswa
Terkadang, kita lupa bahwa nilai akademik yang diterima mahasiswa sering kali berhubungan erat dengan stres dan tekanan yang tinggi. Beberapa mahasiswa bahkan merasa bahwa kegagalan untuk mencapai standar nilai yang tinggi berarti kegagalan dalam hidup mereka secara keseluruhan. Di sisi lain, ada pula yang merasa terjebak dalam sistem pendidikan yang lebih mengutamakan angka daripada pemahaman dan pemikiran kritis. Studi oleh Jonathan Haidt dalam bukunya The Coddling of the American Mind menunjukkan bahwa tekanan akademik yang berlebihan dapat berkontribusi pada masalah kesehatan mental mahasiswa, termasuk kecemasan dan depresi.