Balik Menuju Kota Lapar
Oleh: Muhammad Hatta Abdan
Pagi, sekitar jam 6:34 WIT, teriakan Mama dari dapur membangkungkan saya, tanpa lama-lama diatas tempat tidur saya langsung bangun dan menuju dapur untuk sejenak duduk dan menikmati udara pagi. Sementara Papa dan Mama sibuk mempersiapkan segala keperluan yang nantinya saya bawa ke kota lapar, dari mengisih baju-baju saya didalam tas dan juga beberapa kue-kue kering didalam kardus. Saya masih duduk dibelakang rumah dengan sisa-sisa ngantuk yang kuat.
"Mandi sudah", ucap Mama. Saya belum terlalu pusing dan Masi terus duduk. Setelah cukup menghirup udara pagi, saya langsung keluar menuju halaman rumah dan kelur ke bahu jalan, pagi ini belum terlalu ramai, sementara Mama masi dengan kalimat yang sama, "Mandi sudah", mendengar itu saya langsung masuk kedalam rumah dan kemudian mengambil handuk untuk segera cepat-cepat mandi.
Setelah selesai mandi dan ganti baju, saya keluar sebentar untuk membeli rokok dan pulsa. Diperjalan menuju warung, Papa dengan baju dinas kebun lewat dibelakang saya dengan membawa parang dan juga karung, Papa juga masuk kedalam warung untuk membeli rokok sama-sama dengan saya. Rupanya papa akan pergi ke kebun untuk mengecek buah pala yang sudah lama tidak lagi dilihat. Saya hanya terdiam, Â sesekali saya berfikir dan kasihan terhadap Papa, Saya keluar dengan cepat dari warung sebelum menambah uang rokok papa, sedangkan papa masi didalam membeli rokok. Pagi itu, saya hampir menangis. Tatapan mata saya dari kejauhan terus mengikuti langkah Papa yang pergi menuju Jembatan. Dalam hati saya berkata, "Terimakasi atas kasih dan cinta ini Papa".
Saya langsung balik ke rumah untuk menunggu Oto (mobil) yang akan saya dan teman-teman naiki menuju ke kota lapar. Seleng beberapa menit berdiri didepan teras, tiba-tiba ada telpon masuk dan yang menelpon saya adalah Lasmi, teman saya yang juga akan balik menuju kota lapar, katanya sang supir menyuruh saya untuk membawakan semua barang-barang saya ke rumahnya, mendengar itu saya langsung masuk dan memanggil Bule adik kandung saya untuk membantu saya. Tanpa lama-lama saya dan adik saya langsung pergi membawa barang-barang saya ke rumah Lasmi, karena Oto yang akan kami tumpangi ada di dirumahnya. Sementara dari arah belakang Mama mengikuti kami dengan setengah berlari, saya hanya tersenyum sembari memandang Bule. Adik saya.
Setelah Samapi dan memberi semua barang-barang saya ke sang supir saya langsung pergi mendekati Faujan dan juga Arkan teman-teman baik saya dikampung, lalu saya mengeluarkan sebungkus rokok Surya dan membagikannya kepada mereka. Adik saya sudah pulang menuju rumah, sedangkan Mama Masi sibuk mencari Oto untuk Eka, adik perempuan saya yang juga akan pulang ke desa dotte, didepan rumah Darto, saya, Faujan, Jihan, dan Arkan duduk menghisap rokok sembari bercanda dan tertawa bersama. Tak lama kemudian, Kaka Fiko dan Sahlan datang, Saya dan mereka pun duduk memulai wacana tentang nantinnya kami akan sama-sama berkebun dengan menanam pala. " Ini investasi jangka panjang yang tidak akan pernah habis sampai akhir zaman" ucap Kaka Fiko sembari menghembuskan asap rokok.
Wacana saya dan teman-teman tentang kualitas dan penghasilan buah pala terus berlanjut sampai Kaka Raswan, sang supir datang dengan bunyi klakson ditekungan. Saya dan Jihan serta teman-teman yang lain berdiri dan segera mendekat ke samping oto, saya dan Jihan langsung naik dikursi paling belakang, Ila, Ati, dan Lasmi pun menyusul naik di tempat Masing-masing. Â Sementara dari luar oto, Mama terus mengingatkan saya agar tidak muntah, kata-kata Mama yang mengigatkan saya untuk tidak muntah membuat semua teman-teman tertawa. Saya dan Jihan pun ikut tertawa. Muntah sudah menjadi kebiasaan saya jika naik oto, bahkan hampir sebagian orang juga sering muntah saat menaiki oto untuk bepergian.
Saya dan teman-teman pun berangkat, dua desa di Maba Selatan telah kami lewati. Sepanjang perjalanan saya mencoba untuk tidak berpikir untuk muntah, berbagai macam cara saya lakukan, salah satu cara yang saya lakukan adalah menyandarkan badan dikursi oto lalu menutup mata. Saya akhirnya tertidur Sepenjang perjalanan menuju kota Maba, rasa muntah sudah mulai ada dan saya berusaha kuat untuk menahan dengan segala cara. Dari Kota Maba, Mabapura, dan Buli saya masih kuat dan belum muntah, meski sempat sedikit merasa pusing-pusing. Pak polisi yang bersama kami memutuskan untuk makan bersama kami di Buli agar di Subaim nanti kita tidak lagi singgah. Kaka Raswan, sang supir dan kami langsung menuruti perintah pak polisi yang bersama kami itu.
Matahari di kota Buli sangat panas hari itu, aktifitas orang-orang diluar pun terhambat. Kaka Raswan sang supir oto memberhentikan kami di samping Mesjid karena disamping kanan sana ada rumah makan tempat Pak polisi itu sering makan, kami semua turun dan mulai memesan makanan. Â Sambil menunggu makanan saya dan Jihan membaringkan badan diatas tikar dan menikmati wayar angin yang mungkin dapat menghilangkan suar keringat dan pusing-pusing kami.
Selepas makan, saya dan Jihan memesan M-susu segelas lalu santai diteras warung dengan rokok Surya yang hampir habis di hisap. Tanpa membuang-buang waktu Kaka Raswan sang supir langsung menyuruh kami untuk segerah berangkat. Kami pun melanjutkan perjalan lagi.
Belum jauh dari kota Buli, saya sudah tertidur sampai masuk ke Subaim. Di dalam Oto, saya dan teman-teman tidak terlalu banyak wacana bahkan pak polisi pun demikian, diperjalanan kami sering diam dan fokus melihat ke depan dengan besarnya harapan agar bisa cepat Sampai. Dipertengahan subaim saya dan Ati sudah muntah-muntah, bahkan yang paling muntah adalah saya, hal itu membuat Pak polisi menyuruh Kaka Raswan sang supir untuk berhenti sejenak dan beristirahat di Ekor. Di Ekor, saya turun dari Oto dan muntah lagi dibelakang rumah orang, tenaga saya mulai terkuras habis akibat muntah-muntah yang tiada habis disepanjang perjalanan.
Istirahat belum cukup bagi saya, tapi sang supir dan teman-teman serta pak polisi menyuruh agar segera berangkat lagi, saya sudah tidak kuat lagi, tapi bagaimna pun perjalanan kami harus segera dilanjutkan agar tiba di Sofifi bisa sedikit cepat. Perjalan kami terus berlanjut, desa demi desa kami lewati dan muntah demi muntah pun saya keluarkan. Banyak teman-teman satu kampung yang kami temui disepanjang perjalanan, mereka juga sudah mulai balik menuju kota lapar. Laju oto yang kami naiki makin cepat, rasa pusing dan lelah saya nikmati sebagai hal paling tidak enak disaat mudik. Hari itu, saya merasakan hal yang tidak biasanya dan saya pun mulai marah-marah sendiri.
Jam 15:45 kami tiba di kota Sofifi, Ibu kota Provinsi Maluku Utara, Didermaga Verri banyak sekali kendaraan dan orang-orang yang antri. Jihan langsung menyuruh Lasmi dan Ila untuk segera membeli tiket Verri, sementara saya Masi dengan rasa pusing. Meski Masi pusing-pusing Saya dan Jihan langsung mengangkat barang-barang ke teras Loket pembelian karcis, dermaga Verri kota Sofifi hari ini sangat ramai dengan arus balik lebaran tahun ini, dan ini pertama kalinya  saya memulai arus mudik lebaran ditahun ini. Setelah menunggu hampir beberapa menit, akhirnya Lasmi dan Ila mendapatkan empat karcis untuk kami. Dan gerobak yang mengangkat barang-barang kami pun sampai didepan Verri, saya dan Jihan langsung ikut dari belakan menyusul Lasmi dan Ila yang sudah duluan menuju Verri.
Diatas Verri tepat di lantai paling atas, saya, Jihan, Lasmi dan Ila duduk. Orang-orang dan kendaran-kendran juga mulai naik ke atas Verri, sebelum berangkat saya dan Jihan pergi untuk memesan kopi di kantin Verri, sesampainya dikantin saya dan Jihan langsung memesan kopi kapal api, tapi airnya Masi dipanaskan, jadi kami harus menunggu beberapa jam lagi. Disela-sela menunggu panasnya air tiba-tiba dari atas Dek Verri ada yang memanggil nama saya, Ternyata itu Wani dan Afwan teman satu kampung saya yang juga sudah balik dari kampung menuju kota lapar, saya dan Jihan tidak terlalu pusing pada mereka. Tak lama kemudian kopi yang kami pesan pun siap. Saya dan Jihan langsung balik ke tempat dimana Lasmi dan Ila menunggu.
Diperjalan menuju kota lapar diatas Verri, saya dan Jihan mulai menikmati kopi dan rokok Surya, sembari berfoto-foto dengan senja-senja yang menghiasi gunung Gamalama Ternate, Sementara Lasmi dan Ila sudah lapar sehingga mereka hanya diam dengan menyandarkan badan dipagar Verri sambil bermain Handpond, Saya dan Jihan terus menikmati senja dan kopi hari ini, diatas Verri berbagai macam orang-orang kami temui, tapi kami tidak tahu menahu meski banyak orang. Ada seorang laki-laki sedari tadi duduk disamping, hampir mendekati Ternate baru kami dan dia saling berbicara, saling menannya asal dan segera menawarkannya kopi dan rokok. Ternyata dia dari Weda, ibu kota Kabupaten Halmahera Tengah, Kami hanya mempekanalkan Asal sehingga saya dan Jihan tidak tahu namanya siapa, biar begitu kami dan dia tetap bersaudara, sebab saya, Jihan dan dia adalah anak cucu yang terlahir di bumi Fagogoru, karena Maba, Patani, dan Weda adalah saudara yang terikat dalam salah satu bingkai yaitu Fagogoru.
8 Mei 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H