Sebuah jejak yang masih membekas, mengarungi setiap persimpangan dengan tekad. Ku ingin rekah ulang perihal tualang yang tergelar di jalan-jalan kota rempah, tentang sesosok yang gemar bermalam bersama buku-buku dan percikan-percikan diskusi.Â
Perempuan itu ku sapa dengan sebutan Eks, perempuan yang serupa laut-laut Halmahera yang imut, atau gunung-gunungnya yang tinggi menjulang penuh embun.
Merintis jalan panjang penuh sesak dan penat, menabrak setiap himpitan yang hendak merobohkan, ia tak pernah alpa pada setiap kemanusiaan atau pada ketidakadilan yang mencekik kaumnya.Â
Perempuan Tidore bermata pekat, ia ku kenal di sebuah percakapan, saat meminta sepotong tulisan ku untuk dibaca. Hingga kini, aku dan dia masih setia berkawan, dan bahkan pernah berjanji untuk ngopi bersama, meski belum berujung temu, namun kami yakin, bahwa ini hanya soal waktu, hehhehe. Â
Hidup bersama orang-orang kiri, terjun terlibat dengan berbagai aksi demontrasi, ia juga pernah menjadi salah seorang paling penting di sebuah organisasi progres yang erat dengan tali persaudaraan.Â
Aku, hendak menerka apa-apa yang pernah dibikin olehnya di masanya, tentu yang ku temukan adalah jejak juang yang tak mampu dilibas waktu, ia akan abadi serupa risalah nabi-nabi. Dan aku turut mengaguminya dalam relung, tempat bertapa sang Alif, memujinya dalam doa-doa yang sederhana, seraya ku aamiin kan pelan-pelan.
Perempuan bermata pekat, yang tumbuh dalam gelembung arah-arah perlawanan, ku ingin kau tetap hidup dalam sepotong yang ku sebut cerpen. Harap ku, tetaplah teguh, tumbuh, dan subur sepanjang hari, jangan biarkan raga terjungkir ke dasar yang membuyarkan.Â
Tentu aku tahu, bahwa kau adalah petarung yang mengimpikan sebuah hidup yang jauh dari ketertindasan dan dominasi. Kau, salah satu dari sekian banyak wanita yang ku anggap hebat, maka merdeka lah.
Percakapan kita akan terus berlangsung, ia tak pernah membatasi dirinya untuk lebih dulu memulai, bukan pada hal-hal lain, namun pada setiap tulisan-tulisan ku. Ia gemar sekali menyelipkan komentar dengan beragam warna, memuji tulisan ku tentang Kinaya, Lara, dan lain-lain yang hilang menjauh dari keabadian sastra.Â
Wacana ku dengannya juga sesekali tentang kekasih, tentang patah-patah yang memahat lubuk hingga mengecil dan makin perih, intinya Perempuan Bermata Pekat ini adalah tempat, segala curahan mengucur.
Banyak jejak yang masih mengena pada mereka yang hendak tumbuh menjadi gemuruh, di rumah juang yang berbendera merah sutra, perempuan ini wakafkan segala benih pada anak generasi. Mengulang setiap terpaan yang mengancam, membidik arah baru untuk komitmen berlawan.Â
Semata-mata untuk detak jantung yang ter-hela atas nama rakyat tertindas, tak banyak yang ku tahu tentang mu, Eks, namun sepenggal ini ku tulis dengan imajinasi penuh, dengan bahasa paling sederhana yang tak mampu diredam gas air mata.
"Para perempuan menjamah jejak langkah di setapak jalan terjal penuh ancaman, tak mengenal resiko besar yang akan di alami, terkadang tantangan di depan mata dengan berani dan berlangkah maju menebus jaring-jaring stigma yang menggores hati dan pikiran. Namun karena sudah terbiasa ditempa badai pengetahuan dan mengasah akal pikiran, baginya ini sebuah angin lalu yang harus di dobrak dan bongkar atas mitos-mitos juga pengetahuan kolot yang membelenggu dan menindas perempuan. Dari berabad-abad lamanya kehadiran adalah amanah yang harus dituntaskan".
Demikianlah kau menulis di kolong beranda untuk beri semangat pada mereka yang bertarung dengan hiruk pikuk malam. Eks, atas semua percakapan kita, ku telah simpan dalam-dalam, berharap penuh pada remang-remang purna, agar kita segera temu dan ngopi bersama, sembari berdiskusi tentang Lara yang tak berwujud dan leptop ku yang rusak, juga mempercakapkan Halmahera yang perlahan habis dijarah. Dua bola mata mu yang pekat, yang teduh bila di tatap, tetaplah terjaga dan terpelihara. Sehat selalu yah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H