Perkembangan industri di suatu negara senyatanya tidak dapat lepas dari peran otoritas pemerintah di dalamnya. Pemerintah sebagai pihak yang memegang kendali kuasa atas kebijakan publik menjadi salah satu penentu utama agar industrialisasi dapat berjalan secara efektif. Untuk itu, penting bagi pemerintah untuk menentukan arah kebijakan mana yang akan menyokong pertumbuhan industri dan ekonomi untuk ke depannya.
Pemerintah negara berkembang dalam membangun industri dan ekonomi umumnya memiliki dua pilihan arahan kebijakan. Kebijakan yang pertama adalah kebijakan industrialisasi substitusi impor atau Import Substitution Industrialization (ISI). Sementara kebijakan yang kedua adalah kebijakan industrialisasi yang berorientasi pada ekspor atau Export Oriented Industrialization (EOI).
Apa itu ISI dan EOI?
ISI sendiri dapat didefinisikan sebagai kebijakan industrialisasi yang berfokus untuk mengurangi ketergantungan impor suatu negara. Mekanisme dari kebijakan ini dapat bermacam-macam mulai dari pengenaan tarif, pelarangan impor, hingga pemberian subsidi bagi perusahaan domestik. Umumnya kebijakan ini memang ditargetkan agar perusahaan domestik dapat terlindungi pasar domestiknya dari masuknya barang impor yang memiliki daya saing lebih tinggi.
Sementara itu, EOI sendiri dapat didefinisikan sebagai kebijakan industrialisasi yang berfokus untuk menggenjot pertumbuhan industri domestik agar dapat bersaing di pasar internasional. Asas yang menjadi dasar dari kebijakan ini adalah semakin tinggi nilai expor suatu negara maka semakin tinggi pula industrialisasinya. Mekanisme dari kebijakan EOI sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pemberian pinjaman bunga rendah, pemotongan tariff, hingga pembebasan cukai barang.
Mana yang lebih baik?
Sepanjang sejarah pasca Perang Dunia II, banyak negara berkembang yang memilih untuk membangun industri di negaranya menggunakan strategi kebijakan ISI. Salah satunya adalah negara Brazil yang memutuskan memberlakukan ISI untuk melindungi sektor agrikultur dalam negeri. Namun, imbas dari ISI ini justru cukup menimbulkan banyak masalah di Brazil. Pada awalnya pertumbuhan industri Brazil memang terbukti mengalami kenaikan, namun seiring berjalannya waktu justru sektor agrikultur di Brazil menjadi kurang inovatif dan terlalu bergantung pada proteksi pemerintah berkat mekanisme dari ISI.
Selain Brazil, negara seperti Korea Selatan juga pernah menerapkan ISI ketika pasca Perang Korea di bawah Presiden Syngman Rhee. Hasil dari kebijakan ISI di Korea Selatan ini juga tidak membuahkan hasil yang maksimal. Tercatat sepanjang Pemerintahan Presiden Rhee, pertumbuhan GDP rata-rata Korea Selatan hanya berkisar 4,1% saja. Hal ini juga diperparah dengan adanya fakta bahwa di akhir masa pemerintahan Presiden Rhee, sekitar 20% dari total populasi usia produktif di Korea Selatan masih terjebak dalam pengangguran dan kemiskinan. Hal ini menunjukkan bahwa ISI gagal dalam membangun industri Korea Selatan mengingat ketersediaan lapangan pekerjaan masih terbatas serta kemiskinannya masih tinggi.
Nasib Korea Selatan justru berubah di bawah Pemerintahan Presiden Park Chunghee yang mereformasi pemerintah sekaligus mengubah arah kebijakan dari yang semula ISI menjadi EOI. Reformasi ini sukses membawa pertumbuhan industri sekaligus pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan di Korea Selatan. Di tahun awal Pemerintahan Presiden Park pada tahun 1961, GDP per kapita Korea Selatan hanya berkisar sekitar $98,3 USD. Namun di akhir Pemerintahan Presiden Park pada tahun 1979, GDP per kapita Korea Selatan tumbuh secara signifikan hingga mencapai angka $1.783,6 USD. Kondisi ini yang pada akhirnya menghantarkan Era Keajaiban Sungai Han di Korea Selatan yang sukses mentransformasi Korea Selatan dari negara miskin menjadi negara industri yang maju dan kaya.
Dari kasus ini, dapat diketahui bahwa EOI membawa pertumbuhan industri dan ekonomi lebih efisien ketimbang ISI. Faktor kegagalan ISI ini dapat dirangkum menjadi tiga sebab utama. Pertama, kebijakan ISI menyebabkan pasar domestik menjadi tidak efisien dan tidak inovatif terhadap perkembangan zaman. Kedua, daya saing perusahaan domestik yang berlindung di bawah proteksi pemerintah justru menjadi lemah dan tidak dapat berkembang ke pasar internasional. Ketiga, akibat inovasi yang buruk di dalam industri, maka secara otomatis perkembangan teknologi di negara yang menerapkan ISI juga akan cenderung terhambat.
Ketiga faktor ini yang menyebabkan kebijakan ISI menjadi kebijakan yang memiliki segudang masalah terkait efektivitasnya. Bahkan ekonom pro intervensi pemerintah seperti Albert O Hirschman (1958) dalam bukunya juga mengkritisi ISI dan mengakui peran penting impor bagi proses industrialisasi yang berlangsung di suatu negara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa EOI merupakan kebijakan yang lebih efektif untuk dilakukan oleh pemerintah guna membangun industri dalam jangka panjang secara efisien.
Bagaimana dengan Indonesia?
Pada konferensi pers di tahun 2021, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perindustrian telah mengumumkan akan mencanangkan kebijakan substitusi impor secara efektif mulai tahun 2022. Pihak Kementerian Perindustrian menetapkan target penurunan impor dari kebijakan ini senilai 35%. Kebijakan ini diklaim dapat membantu menyokong industri nasional dan perekonomian negara secara efektif. Namun, kebijakan substitusi impor yang diumumkan oleh pemerintah ini tidak menyertakan kepastaian mekanisme di dalamnya.
Indonesia tercatat sempat mengalami penurunan nilai impor dari yang sebesar $237 miliar USD di tahun 2022 menjadi sebesar $221 miliar USD di tahun 2023. Penurunan ini masih jauh dari target 35% yang sebelumnya dicanangkan oleh Kemenperin. Dengan demikian, perlu ada evaluasi lebih lanjut terkait bagaiman kebijakan pemerintah terhadap industri akan dilakukan. Selain itu, perlu ada konsiderasi lebih lanjut apakah ISI masih diperlukan di dalam konteks Indonesia dan apakah dampak dari ISI terhadap perekonomian Indonesia dalam jangka panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H