Mohon tunggu...
Muhammad HasanBasri
Muhammad HasanBasri Mohon Tunggu... Lainnya - Direktur Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi

Bekerja sebagai peneliti di Pusat Studi Konstitusi dan Demokrasi, sebagai organisasi non pemerintah dan konsen pada isu-isu konstitusi dan demokrasi, Berdiskusi, Riset, dan Publikasi adalah moto dalam kerja-kerja PSKD.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mahkamah Konstitusi & Daulat Rakyat, Catatan dan Harapan Publik setelah 20 Tahun

27 Juni 2023   22:04 Diperbarui: 27 Juni 2023   23:22 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pandangan Arjomand, kedekatan hubungan antara pelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan transisi politik merupakan bentuk rekonstruksi atas percepatan kebutuhan demokrasi. MK hadir guna mewujudkan era konstitusionalisme baru yang mengedepankan aspek perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM). Secara singkat dapat dikatakan bahwa gagasan membentuk Mahkamah Konstitusi adalah upaya untuk menegakan prinsip-prinsip negara hukum dan memberi perlindungan maksimum terhadap demokrasi dan hak-hak dasar warga negara.

Dalam teorisasi Ginsburg, judicial review hadir guna membatasi besarnya kekuatan politik mayoritas yang ada di parlemen terhadap proses pembentukan undang-undang. Mekanisme judicial review diyakini akan mampu menjaga keseimbangan dalam pelaksanaan checks and balances antar cabang kekuasaan negara. Selain itu, judicial review menimbulkan prinsip (kehati-hatian) bagi pembentukan undang-undang ketika membahas rancangan undang-undang.

 Mahkamah Konstitusi (MK) dibentuk pada tahun 2003 karena adanya kebutuhan menjawab berbagai persoalan hukum dan ketatanegaraan sebelumnya. 

Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut, MK diberi mandat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) untuk melaksanakan empat kewenangan dan satu kewajiban konstitusional, yaitu menguji undang-undang terhadap Undang -Undang Dasar NRI Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum, dan memberi pendapat kepada Dewan Perwakilan Rakyat terkait dengan pemakzulan Presiden dan Wakil Presiden. 

Kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh MK tersebut pada dasarnya merupakan implementasi dari prinsip checks and balances yang bermakna bahwa setiap lembaga negara memiliki kedudukan yang setara, sehingga terdapat pengawasan dan keseimbangan dalam penyelenggaraan negara.

            Banyaknya pengujian yang dibawah ke Mahkamah Konstitusi terhadap produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR dan Presiden telah menunjukkan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh pembentuk undang-undang masih memiliki kecatatan baik materil dan formil. 

Dengan kata lain, kualitas produk undang-undang sarat akan muatan yang bersebrangan dengan konstitusi, tidak transparan, partisipatif, aspiratif, dan akuntabel. Dalam hal ini, terdapat inkonsistensi dalam proses penyusunan undang-undang baik isinya dan bentuknya secara prosedur yang telah diatur dalam konstitusi dan turunannya dalam bentuk undang-undang. Bahkan ada beberapa undang-undang yang dibuat sarat akan kepentingan kelompok ketimbang aspek keadilan.

            Dalam kondisi demikian, produk legislasi tidak boleh dibiarkan bertentangan dengan konstitusi. Karena apabila hal ini tetap dibiarkan maka akan terjadi proses delegitimasi konstitusi, pelanggaran hak konstitusional warga negara, bahkan berujung pada menurunnya kualitas demokrasi. Itulah sebabnya MK dituntut menjadi benteng terakhir menjadi penyeimbang dalam mengontrol produk legislasi yang menabrak konstitusi.

            Pasal 1 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menegaskan bahwa: "Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar". Salah satu bentuk implementasi dari pasal ini adalah dengan adanya partisipasi masyarakat dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Mulai dari pengambilan kebijakan sampai pembentukan undang-undang. Adanya partisipasi dari masyarakat menjadi syarat utama terwujudnya pemerintahan yang demokratis.

            Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang pengujian formil undang-undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, membawa perluasan makna partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang yang harus dilakukan secara bermakna (meaningfull participation). Tujuannya, agar dapat menciptakan partisipasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar pembentukan undang-undang tidak hanya berasal dari kekuasaan pemerintah saja melainkan secara langsung berasal dari aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Dengan adanya putusan MK ini membawa dampak bagi proses legislasi kedepan.

  MK menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang harus dilakukan secara bermakna (meaningfull participation). Tujuannya, agar menciptakan partisipasi masyarakat secara sungguh-sungguh. Berikut pendapat MK mengenai hal tersebut. Partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningfull participation) sehingga tercipta/terwujud partisipasi dan keterlibatan publik secara sungguh-sungguh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun