Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kekeliruan Organisasi: Senioritas, Patron-Klien, dan Birokrasi yang Berlarut-larut

12 Oktober 2024   21:13 Diperbarui: 12 Oktober 2024   23:41 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: indraprasetyo.com

Dalam ekosistem organisasi mahasiswa, di mana idealnya terjadi proses belajar demokrasi, kita justru menemukan cerminan distorsi demokrasi itu sendiri. Dalam praktiknya, organisasi mahasiswa lebih sering berfungsi sebagai laboratorium feodalisme kecil yang dibalut dalam dalih "pembelajaran kepemimpinan, etika, atau budaya." Alih-alih menciptakan pemimpin yang egaliter dan berpikir kritis, organisasi mahasiswa sering kali menjadi ruang reproduksi budaya patron-klien, senioritas yang menyesakkan, dan sistem birokrasi yang lebih mirip warisan kolonial. "Homo homini lupus", kata Thomas Hobbes, menggambarkan betapa manusia bisa menjadi serigala bagi sesamanya, dalam konteks ini, para senior terhadap junior.

Apakah kita tidak sadar bahwa organisasi yang seharusnya menjadi tempat belajar malah menjadi ajang pembentukan struktur kekuasaan yang tak jauh berbeda dengan oligarki? Para senior memanfaatkan posisinya untuk mengamankan jaringan patron-klien, di mana junior-junior patuh dimanipulasi untuk memenuhi agenda-agenda terselubung. Apakah semua ini hanya demi pengakuan sosial dalam lingkup sempit organisasi? Dan ironisnya, para junior yang diam-diam mengutuk kultur ini pada akhirnya mewarisi dan memperkuat sistem yang sama ketika giliran mereka tiba.

Budaya senioritas, intervensi berlebihan oleh para patron, rapat yang berlarut-larut, dan kebiasaan "ngaret" (terlambat) adalah patologi sosial yang telah mendarah daging dalam kehidupan organisasi mahasiswa. Seharusnya, organisasi mahasiswa menjadi sarana pembelajaran demokrasi dan manajemen diri, tetapi yang terjadi adalah pengulangan siklus feodalisme dalam skala kecil. Artikel ini berusaha mengkritisi dan merefleksikan fenomena ini dengan harapan mampu memantik kesadaran untuk mengakhiri praktik-praktik destruktif ini.

sumber gambar: Wikimedia Commons/Hegodis 
sumber gambar: Wikimedia Commons/Hegodis 
Budaya Senioritas: Feodalisme dalam Kemasan Baru

"The greatest leader is not necessarily the one who does the greatest things. He is the one that gets the people to do the greatest things."- Ronald Reagan

Budaya senioritas dan patron-klien dalam organisasi mahasiswa sering kali menjadi bentuk modern dari feodalisme. Senior diibaratkan sebagai penguasa, sedangkan para junior menjadi rakyat jelata yang tunduk dan tak berani bersuara. Tradisi ini sudah begitu mengakar sehingga dianggap sebagai norma yang tidak boleh dilanggar. Siapa saja yang berani bersuara kritis terhadap seniornya akan dicap sebagai junior yang tidak tahu sopan santun atau tidak menghormati tradisi.

Namun, apakah kita benar-benar menghormati tradisi, atau hanya takut melawan kekuasaan yang sudah terbangun? Senior sering kali menggunakan alasan pengalaman untuk mempertahankan status quo mereka, meskipun banyak keputusan mereka yang sebenarnya tidak relevan lagi dengan situasi yang ada. Hal ini menciptakan atmosfer yang mengekang bagi junior yang memiliki gagasan baru atau pemikiran kritis. Bukannya memberikan ruang bagi diskusi sehat, senior justru sering kali menekan dengan "otoritas moral" yang seolah tidak bisa diganggu gugat.

Patron-klien adalah sistem relasi kekuasaan yang tidak asing dalam organisasi mahasiswa. Para senior berperan sebagai patron, dengan junior yang menjadi klien yang tunduk dan patuh. Mereka yang setia kepada patron tertentu akan mendapatkan keuntungan, seperti jabatan strategis atau kemudahan dalam berbagai kegiatan organisasi. Sebaliknya, mereka yang mencoba berpikir mandiri atau kritis terhadap patron akan tersingkirkan. Inilah yang disebut sebagai "Individualisme datang terlambat di Asia Tenggara," tulis Wertheim dalam bukunya Indonesian Society in Transition. Akibatnya, orang tidak dikenal sebagai siapa dia, tetapi sebagai anak buah siapa, dari ormas atau partai mana dia, atau dari golongan mana oknum tersebut.

Sistem ini membentuk organisasi menjadi lebih menyerupai oligarki kecil, di mana kekuasaan dipegang oleh segelintir orang yang saling menjaga kepentingannya. Keputusan-keputusan penting sering kali tidak dibuat secara demokratis, melainkan ditentukan oleh patron yang memiliki pengaruh besar. Rapat-rapat hanya menjadi formalitas, karena hasilnya sudah ditentukan oleh patron di balik layar.

Ironisnya, kebiasaan ini bukan hanya membatasi kreativitas junior, tetapi juga menimbulkan mentalitas tunduk dan takut berbicara. Junior yang seharusnya menjadi generasi kritis malah terbiasa mengikuti tanpa berpikir panjang. Dalam jangka panjang, organisasi mahasiswa akan kehilangan dinamismenya karena gagasan baru yang potensial dipinggirkan oleh kekuatan senioritas yang korup.

sumber gambar: tajdid.id
sumber gambar: tajdid.id
Pengkaderan Tanpa Substansi: Perpeloncoan Bermotif Tradisi

"Salus populi suprema lex esto" - (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi) - Cicero

Kaderisasi seharusnya menjadi proses pembentukan nilai dan karakter yang membekali mahasiswa untuk menjadi individu yang siap memimpin. Namun, apa yang sering terjadi adalah sebaliknya. Proses pengkaderan lebih cenderung mengarah pada perpeloncoan yang jauh dari esensi pendidikan dan pembinaan. Kader baru sering kali dipaksa menjalani aktivitas yang tidak bermakna, seperti mengikuti instruksi absurd yang hanya bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan senior.

Perpeloncoan ini, yang sering kali disebut sebagai "ritual tradisi," menjadi alat intimidasi yang menekan kebebasan berpikir para kader. Tentu, ada yang beralasan bahwa ini adalah proses pengujian mental dan loyalitas. Tetapi, apakah loyalitas yang dibangun atas dasar ketakutan dan penindasan benar-benar bisa menghasilkan anggota yang berpikiran kritis dan independen? Pengalaman perpeloncoan yang membekas justru membentuk karakter yang rapuh dan patuh tanpa alasan yang jelas.

Bukan hanya itu, perpeloncoan juga merendahkan martabat kader baru. Mengapa harus mengulang tradisi yang tidak mendidik, jika tujuannya adalah untuk mencetak kader yang berkualitas? Seharusnya, kaderisasi adalah tentang pembinaan intelektual, bukan tentang siapa yang bisa bertahan dari pelecehan psikologis paling parah. Lagi pula, kader yang telah berani melewati ujian perpeloncoan ini pada akhirnya hanya akan menjadi pion dalam permainan patron-klien yang melanggengkan budaya senioritas dan kepatuhan buta.

sumber gambar: Liputan6 
sumber gambar: Liputan6 
Budaya "Ngaret": Terlambat Jadi Tradisi Bangga

"Tempus fugit" - (Waktu berlalu)
Budaya "ngaret" atau terlambat adalah salah satu fenomena yang merusak produktivitas dalam organisasi mahasiswa. Rapat yang dijadwalkan jam 7 malam, umumnya baru akan dimulai pukul 8 atau bahkan lebih lambat. Keterlambatan sudah dianggap sebagai hal biasa, bahkan menjadi bagian dari budaya organisasi. Anehnya, budaya ini seolah diterima tanpa perlawanan, dan dianggap wajar dalam kehidupan organisasi.

Fenomena ini mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap waktu dan etos kerja yang buruk. Mereka yang datang tepat waktu pun sering kali dipaksa menunggu, dan pada akhirnya terbiasa dengan perilaku ini. Budaya "ngaret" bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menunjukkan betapa organisasi tersebut gagal menghargai waktu sebagai sumber daya yang tidak dapat digantikan.

Akibatnya, agenda-agenda penting sering kali tertunda, kegiatan terhambat, dan produktivitas menurun. Namun, anehnya, tidak ada upaya serius untuk memperbaiki hal ini. Dalam organisasi yang sehat, penghargaan terhadap waktu adalah salah satu indikator profesionalitas. Tetapi di dalam organisasi mahasiswa, budaya "ngaret" malah menjadi norma yang sulit dilawan.

sumber gambar: jurnalposmedia.com
sumber gambar: jurnalposmedia.com
Rapat Berlarut-larut: Ketika Berbicara Lebih Penting dari Bertindak

"Acta non verba" - (Tindakan, bukan kata-kata)
Rapat dalam organisasi mahasiswa sering kali menjadi tempat pemborosan waktu. Alih-alih membahas hal-hal yang substantif, rapat berubah menjadi ajang debat tanpa akhir. Semakin lama rapat berlangsung, semakin dianggap serius. Padahal, rapat yang berlarut-larut tanpa arah hanya membuang-buang energi dan waktu para anggota.

Sebenarnya, rapat yang efektif bisa dilakukan dengan singkat dan padat. Tetapi organisasi mahasiswa tampaknya lebih memilih jalan panjang yang penuh perdebatan. Rapat yang seharusnya bisa selesai dalam satu atau dua jam, sering kali molor hingga tiga atau empat jam tanpa keputusan yang jelas.

Ketidakmampuan mengarahkan rapat dengan efisien menunjukkan lemahnya manajemen organisasi. Bukannya fokus pada solusi, anggota rapat lebih sering terjebak dalam perdebatan yang tidak produktif. Pada akhirnya, keputusan-keputusan penting tertunda, dan masalah yang sebenarnya tidak terlalu besar menjadi rumit karena terlalu banyak dibahas tanpa tindakan nyata.

sumber gambar: indraprasetyo.com
sumber gambar: indraprasetyo.com
Kesimpulan

"Quo usque tandem abutere, patientia nostra?" (Sampai kapan kamu akan menyalahgunakan kesabaran kami?) - Cicero
Organisasi mahasiswa, yang seharusnya menjadi wadah pembelajaran demokrasi dan manajemen diri, sering kali terjebak dalam budaya yang kontraproduktif. Budaya senioritas,  budaya "ngaret", dan rapat berlarut-larut hanya menciptakan generasi yang terbiasa tunduk pada kekuasaan dan membuang-buang waktu tanpa hasil yang signifikan. Jika pola ini terus dipertahankan, organisasi mahasiswa tidak akan pernah mampu melahirkan pemimpin yang independen dan inovatif.

Sudah saatnya organisasi mahasiswa melakukan refleksi mendalam terhadap struktur dan budaya yang ada. Seharusnya, organisasi  menjadi tempat pembentukan pemimpin masa depan yang berpikir kritis, mampu menghargai waktu, dan menghargai demokrasi. Tanpa perubahan mendasar, organisasi mahasiswa hanya akan menjadi miniatur dari patologi kekuasaan yang lebih besar di luar sana.

Mengakhiri budaya senioritas yang menekan, memutus rantai patron-klien yang manipulatif, memperbaiki budaya tepat waktu, dan mengadakan rapat yang efektif adalah langkah kecil tapi penting untuk membangun organisasi yang lebih sehat. Sebagaimana adagium Cicero, kesabaran ada batasnya, dan batas ini seharusnya menjadi pemicu untuk perubahan yang lebih baik dalam organisasi mahasiswa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun