Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kekeliruan Organisasi: Senioritas, Patron-Klien, dan Birokrasi yang Berlarut-larut

12 Oktober 2024   21:13 Diperbarui: 12 Oktober 2024   23:41 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber gambar: tajdid.id
sumber gambar: tajdid.id
Pengkaderan Tanpa Substansi: Perpeloncoan Bermotif Tradisi

"Salus populi suprema lex esto" - (Kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi) - Cicero

Kaderisasi seharusnya menjadi proses pembentukan nilai dan karakter yang membekali mahasiswa untuk menjadi individu yang siap memimpin. Namun, apa yang sering terjadi adalah sebaliknya. Proses pengkaderan lebih cenderung mengarah pada perpeloncoan yang jauh dari esensi pendidikan dan pembinaan. Kader baru sering kali dipaksa menjalani aktivitas yang tidak bermakna, seperti mengikuti instruksi absurd yang hanya bertujuan untuk menunjukkan kekuasaan senior.

Perpeloncoan ini, yang sering kali disebut sebagai "ritual tradisi," menjadi alat intimidasi yang menekan kebebasan berpikir para kader. Tentu, ada yang beralasan bahwa ini adalah proses pengujian mental dan loyalitas. Tetapi, apakah loyalitas yang dibangun atas dasar ketakutan dan penindasan benar-benar bisa menghasilkan anggota yang berpikiran kritis dan independen? Pengalaman perpeloncoan yang membekas justru membentuk karakter yang rapuh dan patuh tanpa alasan yang jelas.

Bukan hanya itu, perpeloncoan juga merendahkan martabat kader baru. Mengapa harus mengulang tradisi yang tidak mendidik, jika tujuannya adalah untuk mencetak kader yang berkualitas? Seharusnya, kaderisasi adalah tentang pembinaan intelektual, bukan tentang siapa yang bisa bertahan dari pelecehan psikologis paling parah. Lagi pula, kader yang telah berani melewati ujian perpeloncoan ini pada akhirnya hanya akan menjadi pion dalam permainan patron-klien yang melanggengkan budaya senioritas dan kepatuhan buta.

sumber gambar: Liputan6 
sumber gambar: Liputan6 
Budaya "Ngaret": Terlambat Jadi Tradisi Bangga

"Tempus fugit" - (Waktu berlalu)
Budaya "ngaret" atau terlambat adalah salah satu fenomena yang merusak produktivitas dalam organisasi mahasiswa. Rapat yang dijadwalkan jam 7 malam, umumnya baru akan dimulai pukul 8 atau bahkan lebih lambat. Keterlambatan sudah dianggap sebagai hal biasa, bahkan menjadi bagian dari budaya organisasi. Anehnya, budaya ini seolah diterima tanpa perlawanan, dan dianggap wajar dalam kehidupan organisasi.

Fenomena ini mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap waktu dan etos kerja yang buruk. Mereka yang datang tepat waktu pun sering kali dipaksa menunggu, dan pada akhirnya terbiasa dengan perilaku ini. Budaya "ngaret" bukan hanya masalah teknis, tetapi juga menunjukkan betapa organisasi tersebut gagal menghargai waktu sebagai sumber daya yang tidak dapat digantikan.

Akibatnya, agenda-agenda penting sering kali tertunda, kegiatan terhambat, dan produktivitas menurun. Namun, anehnya, tidak ada upaya serius untuk memperbaiki hal ini. Dalam organisasi yang sehat, penghargaan terhadap waktu adalah salah satu indikator profesionalitas. Tetapi di dalam organisasi mahasiswa, budaya "ngaret" malah menjadi norma yang sulit dilawan.

sumber gambar: jurnalposmedia.com
sumber gambar: jurnalposmedia.com
Rapat Berlarut-larut: Ketika Berbicara Lebih Penting dari Bertindak

"Acta non verba" - (Tindakan, bukan kata-kata)
Rapat dalam organisasi mahasiswa sering kali menjadi tempat pemborosan waktu. Alih-alih membahas hal-hal yang substantif, rapat berubah menjadi ajang debat tanpa akhir. Semakin lama rapat berlangsung, semakin dianggap serius. Padahal, rapat yang berlarut-larut tanpa arah hanya membuang-buang energi dan waktu para anggota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun