Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Potret Kekeliruan Organisasi: Senioritas, Patron-Klien, dan Birokrasi yang Berlarut-larut

12 Oktober 2024   21:13 Diperbarui: 12 Oktober 2024   23:41 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam ekosistem organisasi mahasiswa, di mana idealnya terjadi proses belajar demokrasi, kita justru menemukan cerminan distorsi demokrasi itu sendiri. Dalam praktiknya, organisasi mahasiswa lebih sering berfungsi sebagai laboratorium feodalisme kecil yang dibalut dalam dalih "pembelajaran kepemimpinan, etika, atau budaya." Alih-alih menciptakan pemimpin yang egaliter dan berpikir kritis, organisasi mahasiswa sering kali menjadi ruang reproduksi budaya patron-klien, senioritas yang menyesakkan, dan sistem birokrasi yang lebih mirip warisan kolonial. "Homo homini lupus", kata Thomas Hobbes, menggambarkan betapa manusia bisa menjadi serigala bagi sesamanya, dalam konteks ini, para senior terhadap junior.

Apakah kita tidak sadar bahwa organisasi yang seharusnya menjadi tempat belajar malah menjadi ajang pembentukan struktur kekuasaan yang tak jauh berbeda dengan oligarki? Para senior memanfaatkan posisinya untuk mengamankan jaringan patron-klien, di mana junior-junior patuh dimanipulasi untuk memenuhi agenda-agenda terselubung. Apakah semua ini hanya demi pengakuan sosial dalam lingkup sempit organisasi? Dan ironisnya, para junior yang diam-diam mengutuk kultur ini pada akhirnya mewarisi dan memperkuat sistem yang sama ketika giliran mereka tiba.

Budaya senioritas, intervensi berlebihan oleh para patron, rapat yang berlarut-larut, dan kebiasaan "ngaret" (terlambat) adalah patologi sosial yang telah mendarah daging dalam kehidupan organisasi mahasiswa. Seharusnya, organisasi mahasiswa menjadi sarana pembelajaran demokrasi dan manajemen diri, tetapi yang terjadi adalah pengulangan siklus feodalisme dalam skala kecil. Artikel ini berusaha mengkritisi dan merefleksikan fenomena ini dengan harapan mampu memantik kesadaran untuk mengakhiri praktik-praktik destruktif ini.

sumber gambar: Wikimedia Commons/Hegodis 
sumber gambar: Wikimedia Commons/Hegodis 
Budaya Senioritas: Feodalisme dalam Kemasan Baru

"The greatest leader is not necessarily the one who does the greatest things. He is the one that gets the people to do the greatest things."- Ronald Reagan

Budaya senioritas dan patron-klien dalam organisasi mahasiswa sering kali menjadi bentuk modern dari feodalisme. Senior diibaratkan sebagai penguasa, sedangkan para junior menjadi rakyat jelata yang tunduk dan tak berani bersuara. Tradisi ini sudah begitu mengakar sehingga dianggap sebagai norma yang tidak boleh dilanggar. Siapa saja yang berani bersuara kritis terhadap seniornya akan dicap sebagai junior yang tidak tahu sopan santun atau tidak menghormati tradisi.

Namun, apakah kita benar-benar menghormati tradisi, atau hanya takut melawan kekuasaan yang sudah terbangun? Senior sering kali menggunakan alasan pengalaman untuk mempertahankan status quo mereka, meskipun banyak keputusan mereka yang sebenarnya tidak relevan lagi dengan situasi yang ada. Hal ini menciptakan atmosfer yang mengekang bagi junior yang memiliki gagasan baru atau pemikiran kritis. Bukannya memberikan ruang bagi diskusi sehat, senior justru sering kali menekan dengan "otoritas moral" yang seolah tidak bisa diganggu gugat.

Patron-klien adalah sistem relasi kekuasaan yang tidak asing dalam organisasi mahasiswa. Para senior berperan sebagai patron, dengan junior yang menjadi klien yang tunduk dan patuh. Mereka yang setia kepada patron tertentu akan mendapatkan keuntungan, seperti jabatan strategis atau kemudahan dalam berbagai kegiatan organisasi. Sebaliknya, mereka yang mencoba berpikir mandiri atau kritis terhadap patron akan tersingkirkan. Inilah yang disebut sebagai "Individualisme datang terlambat di Asia Tenggara," tulis Wertheim dalam bukunya Indonesian Society in Transition. Akibatnya, orang tidak dikenal sebagai siapa dia, tetapi sebagai anak buah siapa, dari ormas atau partai mana dia, atau dari golongan mana oknum tersebut.

Sistem ini membentuk organisasi menjadi lebih menyerupai oligarki kecil, di mana kekuasaan dipegang oleh segelintir orang yang saling menjaga kepentingannya. Keputusan-keputusan penting sering kali tidak dibuat secara demokratis, melainkan ditentukan oleh patron yang memiliki pengaruh besar. Rapat-rapat hanya menjadi formalitas, karena hasilnya sudah ditentukan oleh patron di balik layar.

Ironisnya, kebiasaan ini bukan hanya membatasi kreativitas junior, tetapi juga menimbulkan mentalitas tunduk dan takut berbicara. Junior yang seharusnya menjadi generasi kritis malah terbiasa mengikuti tanpa berpikir panjang. Dalam jangka panjang, organisasi mahasiswa akan kehilangan dinamismenya karena gagasan baru yang potensial dipinggirkan oleh kekuatan senioritas yang korup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun