Menghadapi Realitas 'Zakenkoalisi': Kompromi Tanpa Akhir
Dengan latar belakang koalisi besar yang menopang Prabowo, pembentukan kabinet zaken ini tampaknya lebih rumit dari sekadar menyusun daftar nama menteri yang ahli di bidangnya. Koalisi besar berarti banyak pihak yang harus dipuaskan. Partai-partai besar seperti Demokrat, Golkar, PAN, dan lainnya jelas tidak akan duduk diam jika mereka tidak mendapatkan jatah kursi. Mereka adalah bagian dari mesin politik yang memastikan kemenangan Prabowo di Pilpres 2024, dan tentu saja, mereka akan meminta bagiannya.
Kita sudah sering melihat bagaimana janji-janji pemerintahan teknokrat runtuh di bawah tekanan koalisi besar yang menuntut bagian kekuasaannya. Maka, apakah kita masih bisa berharap kabinet zaken ini akan menjadi terobosan besar bagi pemerintahan Prabowo? Ataukah kita harus menerima kenyataan bahwa kabinet zaken yang dijanjikan ini hanyalah nama lain dari 'zakenkoalisi', kabinet penuh kompromi politik yang dibungkus dalam jargon teknokratis?
Dengan kata lain, kabinet zaken Prabowo mungkin tidak akan jauh berbeda dari kabinet sebelumnya, kecuali bahwa kali ini wajah-wajah lama politik Indonesia disamarkan dengan retorika profesionalisme.
Melihat realitas politik Indonesia, kita harus bertanya: mungkinkah kabinet zaken benar-benar terwujud? Di satu sisi, harapan akan kabinet teknokrat yang diisi oleh orang-orang terbaik di bidangnya sangatlah menarik. Namun di sisi lain, politik Indonesia tidaklah sesederhana itu. Jika kita benar-benar ingin kabinet zaken yang sejati, maka kita harus mengakui bahwa sistem politik kita tidak mendukung itu.
Indonesia terjebak dalam lingkaran setan patronase dan oligarki, di mana kabinet zaken hanyalah mimpi yang sulit diwujudkan. Realitasnya, partai-partai besar akan terus menuntut jatah mereka, alumni-alumni sekolah elite akan tetap diprioritaskan, dan janji meritokrasi hanya akan menjadi gincu yang menyamarkan wajah lama politik patronase.
Jika Prabowo benar-benar serius tentang kabinet zaken, maka ia harus siap untuk menghadapi kenyataan pahit: ia harus melawan arus koalisi besar yang mendukungnya. Namun, apakah Prabowo siap untuk mengambil risiko itu? Apakah ia akan mengorbankan dukungan politiknya demi idealisme kabinet teknokrat? Atau, apakah kabinet zaken ini hanya akan menjadi mimpi indah yang perlahan-lahan memudar seiring dengan tuntutan kompromi politik?
Pada akhirnya, kita mungkin akan melihat kabinet zaken yang tidak jauh berbeda dari kabinet sebelumnya. Profesionalisme mungkin akan digunakan sebagai topeng untuk menutupi kenyataan bahwa kabinet ini tetap saja adalah hasil dari kompromi politik yang tak terhindarkan. Dan publik? Mereka akan menyaksikan janji-janji kabinet zaken ini berlalu begitu saja, seperti janji-janji manis yang terdahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H