Politik di Indonesia memang selalu penuh dengan janji yang manis, berkilau di permukaan, namun sering kali pahit di realitasnya. Salah satu narasi yang paling menarik perhatian menjelang pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden adalah wacana pembentukan kabinet zaken. Bukan sebuah ide baru sebenarnya, kabinet zaken atau kabinet teknokrat telah lama digaungkan sebagai solusi untuk meredam bobroknya pemerintahan yang didominasi oleh kepentingan partai.Â
Janji ini muncul kembali di Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) Partai Gerindra pada Agustus 2024, dengan cita-cita mulia: kabinet yang diisi oleh para ahli dan profesional di bidangnya. Namun, seperti biasa, dalam politik Indonesia, antara janji dan kenyataan adalah dua hal yang hampir selalu terpisah oleh jurang kompromi.
Dengan presiden terpilih yang terjebak dalam lingkaran besar koalisi, bisakah kita benar-benar berharap kabinet zaken ini akan menjadi terobosan besar atau hanya menjadi bentuk lain dari zakenkoalisi, kabinet penuh dengan kompromi yang menyelubungi kepentingan elite politik dan oligarki? Atau mungkin, kabinet zaken ini hanyalah gincu politik untuk menutupi wajah lama pemerintahan yang masih terjebak dalam patronase, nepotisme, dan ambisi kekuasaan?
Kabinet Zaken: Janji Manis atau Gincu Politik yang Sama?
Membicarakan kabinet zaken di Indonesia selalu menarik, terutama karena gagasan ini selalu dikemas dengan indah: pemerintahan teknokratis yang diisi oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya, tanpa terikat oleh partai politik atau afiliasi kelompok tertentu. Sekilas, konsep ini tampak revolusioner, namun mari kita jujur sejenak. Sejarah politik kita dipenuhi dengan janji-janji yang sama: perubahan, profesionalisme, meritokrasi,semua terdengar familiar, bukan? Lalu, mengapa kabinet zaken Prabowo harus dianggap berbeda?
Janji ini dilontarkan oleh Sekretaris Jenderal Partai Gerindra, Ahmad Muzani, yang menegaskan bahwa Prabowo menginginkan sebuah pemerintahan yang dikelola oleh para ahli. Namun, satu hal yang menjadi ironi adalah bahwa Muzani juga menyebut bahwa meskipun kabinet ini akan diisi oleh para ahli, mereka tetap bisa berasal dari partai politik. Pada titik ini, pertanyaan mulai muncul. Bagaimana mungkin kita bisa memiliki kabinet teknokrat yang diisi oleh kader-kader partai yang selama ini dikenal sebagai pialang kekuasaan, bukan ahli di bidang tertentu?
Lebih jauh lagi, wacana kabinet zaken ini semakin diragukan ketika Hasyim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra, membeberkan bahwa beberapa kursi menteri sudah 'dipersiapkan' untuk alumni Taruna Nusantara. Apakah ini berarti kabinet zaken adalah eksklusif bagi kalangan tertentu saja? Atau, apakah alumni Taruna Nusantara memiliki hak istimewa untuk menjadi wajah baru dari kabinet yang katanya diisi oleh profesional?
Jika kita melihat lebih dalam, ini tidak lain adalah wajah lama politik patronase yang dikemas ulang dalam janji kabinet zaken. Alih-alih menjadi kabinet yang benar-benar diisi oleh para teknokrat, kabinet ini tampaknya hanya akan menjadi 'zakenkoalisi', pemerintahan yang masih saja terikat oleh kepentingan partai, alumni, dan janji-janji politik lama.
Bayangkan sebuah pemandangan di mana setiap calon menteri berdiri di depan panggung besar, dinilai bukan karena afiliasi politiknya tetapi berdasarkan keahlian, pengalaman, dan rekam jejak profesionalnya. Dalam konsep ideal kabinet zaken, setiap calon menteri seharusnya menjalani seleksi ketat, yang bisa kita sebut sebagai semacam beauty contest. Bukan hanya sekadar seleksi administratif, tetapi sebuah kontes di mana kemampuan teknis, integritas, dan kapasitas kepemimpinan benar-benar diuji. Siapa pun, tanpa memandang partai atau kedekatan dengan lingkaran kekuasaan, bisa berpartisipasi dalam seleksi terbuka ini.
Namun, mari kita realistis. Apakah hal ini mungkin terjadi dalam politik Indonesia yang sarat dengan nepotisme dan bagi-bagi kekuasaan? Apakah Prabowo berani membuka pintu seleksi bagi para profesional yang mungkin tidak memiliki kedekatan politik dengannya? Atau apakah beauty contest ini hanya akan menjadi panggung semu yang diatur sedemikian rupa untuk menempatkan orang-orang yang telah disiapkan sejak awal?
Dalam politik Indonesia, seleksi terbuka untuk posisi menteri mungkin akan lebih menyerupai audisi yang sudah memiliki pemenang sejak awal. Tidak peduli seberapa 'beauty contest' ini dibungkus dengan keindahan meritokrasi, hasil akhirnya mungkin tidak akan jauh berbeda dengan apa yang selama ini terjadi: orang-orang terpilih akan berasal dari kalangan elite politik, alumni sekolah-sekolah favorit, atau orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan kekuasaan. Lalu, di mana letak profesionalisme yang dijanjikan kabinet zaken?