Di berbagai negara, hubungan antara sepak bola dan kelas pekerja juga terlihat jelas. Di Jerman, klub-klub seperti Borussia Dortmund dan Schalke 04 lahir dari komunitas buruh yang sama, di mana mereka mengadopsi budaya dan tradisi lokal. Di Italia, AC Milan didirikan oleh imigran dan kelas pekerja yang mencari tempat untuk mengekspresikan identitas mereka melalui olahraga. Bahkan di Argentina, Boca Juniors dibentuk oleh para imigran dari kelas pekerja yang melihat sepak bola sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan sosial.
Namun, perubahan sosial dan ekonomi pada awal abad ke-20, terutama selama dan setelah Perang Dunia II, mulai menggeser posisi sepak bola. Meskipun sepak bola tetap menjadi sumber hiburan bagi kelas pekerja, kapitalisme mulai merambah ke dalam struktur organisasi klub. Penyiaran televisi dan sponsor mulai menarik perhatian para kapitalis yang melihat potensi keuntungan yang besar dalam industri olahraga ini. Perubahan ini semakin mencolok pada tahun 1980-an, ketika banyak klub sepak bola Inggris mengalami krisis finansial akibat pengelolaan yang buruk dan meningkatnya biaya operasional.
Krisis ini membuka jalan bagi investor swasta dan perusahaan besar untuk masuk dan mengakuisisi klub-klub tersebut. Proses ini tidak hanya mengubah cara klub dikelola tetapi juga mengalienasi para penggemar dari klub yang mereka cintai. Klub yang dulunya dimiliki dan dikelola oleh masyarakat kini beralih ke tangan individu atau korporasi yang lebih peduli pada keuntungan finansial daripada warisan dan tradisi yang dibangun oleh kelas pekerja.
Kapitalisme, Komodifikasi, dan Alienasi dalam Sepak Bola
Kapitalisme, dengan segala kekuatan ekonominya, tidak hanya merubah sistem ekonomi, tetapi juga merubah wajah sepak bola itu sendiri. Sepak bola, yang awalnya merupakan ruang kolektif bagi komunitas buruh, kini telah bertransformasi menjadi ladang bisnis yang dijalankan oleh para kapitalis internasional. Dengan masuknya kapitalisme, klub-klub sepak bola yang sebelumnya dimiliki dan dikelola oleh kelas pekerja kini beralih ke tangan pemilik modal yang lebih memperhatikan keuntungan daripada semangat kolektivitas dan identitas yang melekat pada olahraga ini.
Transformasi ini dapat dijelaskan melalui teori alienasi Karl Marx dalam Economic and Philosophic Manuscripts of 1844. Marx menyatakan bahwa dalam sistem kapitalis, pekerja terasing dari hasil kerja mereka dan dari aktivitas sosial yang mereka nikmati. Dalam konteks sepak bola, alienasi ini terlihat ketika penggemar yang berasal dari kelas pekerja, yang dulunya memiliki kontrol dan akses terhadap klub yang mereka dukung, kini merasa terasing dan terpisah dari olahraga yang mereka cintai. Keterasingan ini terjadi seiring dengan mahalnya harga tiket dan akses ke pertandingan, yang membuat kelas pekerja semakin sulit untuk hadir di stadion.
David Harvey, dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism, menjelaskan fenomena komodifikasi yang terjadi dalam masyarakat modern, di mana segala sesuatu, termasuk olahraga, bisa dijadikan komoditas untuk dijual. Sepak bola, yang dulu merupakan produk budaya yang diciptakan oleh dan untuk kelas pekerja, kini telah menjadi barang dagangan yang hanya dapat dinikmati oleh segelintir orang yang mampu membayar. Kenaikan harga tiket dan hak siar menciptakan jarak yang semakin besar antara klub dan penggemar mereka. Para penggemar kelas pekerja tidak lagi memiliki perasaan keterikatan dan kepemilikan terhadap klub mereka, melainkan hanya menjadi konsumen dari produk yang dijual oleh pemilik modal.
Dalam konteks ini, alienasi menjadi semakin nyata. Para penggemar yang dahulu mendukung tim dengan semangat dan loyalitas, kini hanya bisa menyaksikan pertandingan dari layar kaca, jika mereka mampu membayar biaya langganan. Hal ini menciptakan eksklusi sosial yang merugikan, di mana suara dan pengalaman kelas pekerja semakin terpinggirkan dari arena sepak bola yang mereka bantu bangun. Semangat kolektivitas yang dulunya menyatukan para penggemar kini hilang, tergantikan oleh individualisme yang ditawarkan oleh kapitalisme.
Sepak Bola sebagai Alat Kapitalis
Kita bisa melihat sepak bola hari ini sebagai alat kapitalis yang sempurna. Olahraga ini, yang dulunya dibangun oleh kelas pekerja, kini telah berubah menjadi mesin uang bagi para pemilik modal. Pertandingan sepak bola yang seharusnya menjadi arena solidaritas dan pertemuan masyarakat kini lebih berfokus pada profitabilitas. Penyiaran yang lebih mahal, merchandise yang harganya melangit, dan tiket yang tidak terjangkau bagi kelas pekerja, semua menciptakan sistem di mana sepak bola tidak lagi bisa diakses oleh mereka yang paling membutuhkan hiburan ini.
Komodifikasi sepak bola merusak nilai-nilai asli dari olahraga ini. Pertandingan yang seharusnya menjadi ajang untuk merayakan semangat lokal kini hanya menjadi peluang bagi kapitalis untuk meraup keuntungan dari loyalitas penggemar. Sepak bola modern tidak lagi berbicara tentang rivalitas antar komunitas, tetapi tentang bisnis dan keuntungan yang dapat diperoleh dari hak siar, iklan, dan penjualan merchandise. Hal ini mencerminkan bagaimana kapitalisme telah mengubah sepak bola menjadi produk yang hanya bisa dinikmati oleh mereka yang mampu membayar.