Mohon tunggu...
Muhammad Haikal Faturrahman
Muhammad Haikal Faturrahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Ketua Umum HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Mulawarman, Penggemar Buku, Penggila Sepak Bola

Menulis, Membaca, Berdiskusi

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pemukulan Ketua HMI Samarinda: Kekerasan Aparat dan Darurat Demokrasi di Negeri yang Koyak

26 Agustus 2024   23:35 Diperbarui: 26 Agustus 2024   23:39 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Samarinda menjadi saksi dari satu lagi adegan suram dalam sejarah panjang penindasan terhadap suara rakyat. Di tengah aksi damai di depan kantor DPRD Kaltim, Senin (26/8/2024), kekerasan kembali mewarnai ruang yang seharusnya menjadi wadah bagi kebebasan berpendapat. Syahril Saili, Ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Samarinda, yang hanya ingin berkomunikasi dengan aparat, justru menjadi korban pukulan yang menghantam keras tidak hanya wajahnya tetapi juga harapan akan demokrasi yang sehat dan adil di negeri ini.

Demonstrasi tersebut, yang diawali dengan niat suci menyampaikan tuntutan sahkan RUU Perampasan Aset, RUU Masyarakat Hukum Adat, penolakan HGU 26 ribu hektare milik PBNU di wilayah PT KPC, serta desakan pertanggungjawaban Presiden Jokowi dan DPR atas berbagai kebijakan yang kian menjauhkan rakyat dari keadilan, seharusnya menjadi bentuk konkret dari hak asasi setiap warga negara untuk menyuarakan pendapat mereka. Namun, aksi damai ini berubah menjadi sebuah tragedi demokrasi ketika aparat yang seharusnya melindungi justru melayangkan tangan besinya kepada mereka yang berani berbicara.

Insiden ini bukanlah yang pertama dan sangat mungkin bukan yang terakhir. Di era yang mengklaim dirinya sebagai era keterbukaan dan reformasi, kita justru sering melihat bagaimana kekuasaan disalahgunakan untuk meredam kritik. Aparat keamanan, yang seharusnya berdiri sebagai penjaga ketertiban dan pelindung hak-hak warga negara, malah kerap menjadi alat represi yang siap memukul siapa saja yang dianggap mengganggu status quo. Kekerasan yang dialami oleh Syahril Saili adalah sebuah potret dari wajah buruk demokrasi kita saat ini, demokrasi yang kian kehilangan jiwanya, demokrasi yang dikhianati oleh mereka yang diberi mandat untuk menjaganya.

Apa yang terjadi di Samarinda ini menambah panjang daftar hitam kekerasan negara terhadap rakyatnya. Negara, yang semestinya menjadi pelindung, telah berubah menjadi ancaman nyata bagi kebebasan warganya. Mengapa? Karena mereka yang berada di tampuk kekuasaan lebih sibuk menjaga posisi dan kekayaannya daripada mendengarkan jeritan rakyat yang semakin terpinggirkan. Pemerintah yang seharusnya menjadi pelayan rakyat, kini lebih terlihat sebagai penguasa yang tak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya.

Orasi yang dikumandangkan dalam aksi tersebut tidak hanya menuntut perubahan kebijakan tetapi juga meminta pertanggungjawaban dari mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Ketika rakyat bersuara, pemerintah seharusnya mendengar, bukan malah merespons dengan tinju dan pentungan. Kekerasan yang dialami oleh Syahril Saili bukan hanya sebuah tindakan kriminal, itu adalah penghinaan terhadap demokrasi. Sebuah sistem yang berdiri di atas fondasi kekuasaan rakyat seharusnya tidak mengizinkan, apalagi memfasilitasi, tindak kekerasan semacam ini. Namun kenyataannya, kekerasan semacam ini terus berulang, seakan-akan telah menjadi bagian dari strategi untuk mempertahankan kekuasaan.

Kita telah melihat bagaimana kekuasaan yang tidak terkontrol melahirkan tirani, dan dalam kasus ini, kekuasaan itu termanifestasi dalam bentuk pentungan yang menghantam kepala mereka yang berani melawan. Apa yang terjadi pada Syahril Saili adalah bukti nyata bahwa kekuasaan di negeri ini sudah terlalu lama tidak mendapat pengawasan yang memadai. Kekuasaan yang seharusnya dikelola dengan bijak untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk menakuti dan membungkam rakyat.

Lebih dari itu, kita harus bertanya, apakah kekerasan ini mencerminkan wajah sesungguhnya dari pemerintahan kita saat ini? Apakah ini adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah demokrasi yang sebenarnya hanya menjadi ilusi di tengah kepentingan oligarki yang terus berkuasa? Jika jawabannya adalah ya, maka kita sedang berada dalam sebuah krisis demokrasi yang sangat serius.

Reformasi yang dulu kita perjuangkan dengan darah dan air mata kini seakan-akan hanya tinggal kenangan. Semangat untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan yang dulu berkobar, kini meredup di bawah bayang-bayang kekuasaan yang semakin otoriter. Aparat yang seharusnya menjadi perpanjangan tangan rakyat, kini berubah menjadi alat represi yang siap menindas siapa saja yang dianggap mengganggu kenyamanan mereka yang berkuasa. Apakah ini demokrasi yang kita impikan?

Mereka yang berada di pucuk pemerintahan sering berbicara tentang pembangunan, stabilitas, dan kemajuan. Tetapi, bagaimana kita bisa berbicara tentang kemajuan ketika kebebasan dasar untuk berbicara dan menyampaikan pendapat terus menerus diinjak-injak? Bagaimana kita bisa berbicara tentang stabilitas ketika yang terjadi adalah ketakutan yang mencekam di setiap sudut negara? Bagaimana kita bisa berbicara tentang pembangunan ketika yang dibangun adalah tembok pembatas antara rakyat dan penguasanya?

Kekerasan yang dialami oleh Syahril Saili harus menjadi titik balik bagi kita semua untuk kembali memperjuangkan demokrasi yang sejati. Demokrasi yang tidak hanya ada dalam kata-kata tetapi juga dalam tindakan. Demokrasi yang tidak hanya indah dalam teori tetapi juga adil dalam praktek. Demokrasi yang memberikan ruang bagi setiap warga negara untuk bersuara tanpa takut dipukul atau dipenjara. Karena pada akhirnya, demokrasi tanpa kebebasan hanyalah sebuah kediktatoran yang dibungkus dengan retorika manis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun