Masa orba atau bisa di sebut masa orde baru adalah sebuah masa di masa presiden Soeharto memerintah, masa tersebut terjadi pada tahun 1967-1998. Bukan kah kita lihat sebuah pemerintahan yang mana pada saat itu beliau menjadi presiden yang menjabat dengan periode terlama  beliau memerintah Indonesia selama 32 tahun lamanya, perubahan-perubahan dalam bidang pemerintahan pun sangat terasa baik itu dari segi ekonomi, politik, dan pertahanan adatu sistem kemiliteran yang ada di Indonesia. Kesejahteraan pada zaman beliau terjamin yang mana sebagai bukti nyata nya ialah barang-barang pokok seperti  beras, sayur mayur, daging-daginganpada masa tersebut terlampau murah harganya. Kepemimpinan soeharto menghasilkan beberapa bukti yang menjadikan beliau sebagai pemimpin yang patut di contoh walaupun menjabat selama kurang lebih 32 tahun selain bukti kesejahtaan yang merata presiden soeharto juga membentuk suatu program yang mana pada program tersebut bersangkut paut tentang pembangunan-pembangunan di Indonesia atau yang lebih kita kenal sebagai program pembangunan 5 tahun (REPELITA).
Program-program yang di buat oleh presiden soeharto adalah sebuah program yang mana telah di pertimbangkan dan telah canangkan untuk kesejahteraan rakyat, namun selain program yang telah di buat soeharto adapun sifat ia saat menjadi pemimpin ialah menerapkan sifat kediktatoran yang mana kekuasaan tertinggi ada di presiden dan semua perintah dari beliau tidak bisa di ganggu gugat banyak terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM atau hak asasi manusia yang terjadi pada masa itu seperti pembungkaman media atau pers tentang berita-berita yang menurut fakta harus di ketahui oleh publik dan satu kejadian pelanggaran HAM yang mana pelanggaran ini merupakan sebuah berita fenomenal di kalangan masyarakat indonesiay yaitu penembakan misterius (PETRUS).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam rapat paripurna pada Februari 2008 akan memutuskan untuk menyelesaikan kasus penembakan misterius (Peter) pada 1980-an di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto. Komnas HAM sendiri bertekad menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Namun walaupun dalam paripurna tersebut sudah di putuskan dan tetapkan pelakasanaan dalam penyelesaiaan kasus tersebut tidak lah perah terealisasikan secara baik yang artinya penyelesaian tersebut menjadi terbengkalai atau tidak bisa di selesaikan dari zaman ke zaman.
Syarifuddin Ngulma meuelue seorang anggota dari komnas member tanggapan pada wawancara yang di lakukan pada setelah penetapan keputusan paripurna "Saya bertanggung jawab atas kasus Petrus. Tim saya mengetahui laporan kasus komisioner (anggota) Komnas HAM sebelumnya"(23/1/2008). Melihat kesaksian dari seorang anggota HAM kita tau bahwa kasus penembakan misterius ini merupakan kasus yang sangat berat dalam buku Penegakan HAM karya Sigit Dwi Nuridha penyebab terjadinya pelanggaran HAM ialah "setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat negara baik di sengaja maupun tidak di sengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum, mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang" (Sigit,2019:2).
Menelusuri jejak-jejak dari penembakan misterius tersebut mencapai sebuah dugaan pada Presiden soeharto merupakan dalang dari terjadinya penembakan misterius ini yang pada kasus ini telah merenggut banyak orang, namun jika benar itu presiden soeharto yang merupakan dalang dari kasus ini ada kemungkinan TNI akan kehilangan kepercayaan rakayat karena rakyat pasti akan berfikiran bahwa TNI merupakan seorang pembunuh. Tindakan penembak misterius (Petrus) ditakuti pada 1980-an. Saat itu, penembak yang diduga sebagai aparat keamanan menangkap para perusuh dan pelaku kriminal tanpa prosedur hukum. 99% korban penculikan Petrus meninggal secara tragis. Mereka sengaja menghempaskan tubuhnya di tengah keramaian untuk memberikan terapi kejut kepada pelaku. Dalang dari petrus sampai saat ini belum di ketahui  karena ada kerahasiaan dokumen negara yang di sembunyikan oleh pihak intelejen negara. Presepektif atau sangkalan kerahasiaan negara memang sudah beredar dalam kehidupan masyarakat dimana intelejen negara beserta militer menutup-menutupi siapa dalang penembak misterius ini.
Seperti yang kita tahu bahwa pada zaman soeharto pula militer atau tentara memiliki hak dwi fungsi yang mana pada hak tersebut di jelaskan bahwa militer dapat mendapatkan wewenang dalam sebuah kepemerintahan. Dimana militer dapat merangkap jabatan mereka di pemerintahan yang mana mereka dapat menjadi seorang menteri, gubernur, walikota, ataupun menduduki jabatan dalam pemerintahan yang lainnya, Pada masa Orde Baru, perwira dan jenderal tinggal di hampir setiap bidang untuk menjaga stabilitas politik. Militer mengambil tindakan tangan besi untuk menghindari kerusuhan politik dan ekonomi yang terjadi selama rezim Sukarno.
Sayangnya, intervensi militer dalam kehidupan sipil ini mengarah pada kekerasan yang menekan bahkan mengecam suara, bahkan mereka yang tidak sependapat dengan pemerintah sama sekali. Dwifungsi ABRI merupakan tradisi luhur tentara Indonesia dalam memerangi Belanda dari tahun 1945 hingga 1949. Prajurit Indonesia asli berperang sesuai dengan keinginannya sendiri.Hal ini sepenuhnya didorong oleh keinginan untuk mempertahankan negara dari Belanda. Belanda tidak mau mengakui Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam buku Memahami Ilmu Politik karya Ramlan surbakti menjelaskan bahwa Max Weber membagi 3 aspek ciri negara yang menerapkan pandangan kelembagaan pada di salah satu ciri Weber menjelaskan "Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh negara. Negara memiliki kewenangan yang sah untuk putusan yang final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabat mempunyai hak untuk menegakkan putusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan maka negara menggunakan aparatnya, seperti polisi,militer,jaksa,hakim, dan oerugas lembaga permasyarakatan".(Ramlan,1992:4).
Melihat  dari pernyataan tersebut bahwa antara paham kelambagaan dengan sistem kediktatoran memiliki  keterkaitan satu sama lain yang mana dalam hal ini pemerintah dapat memaksakan kehendak rakyat dengan alibi membuat suatu keputusan presiden dan dari keputusan presiden tersebut tidak bisa di ganggu gugat oleh rakyat.
Kasus Petrus yang terjadi pada orba pun memiliki sejumlah cerita kelam dari beberapa masyarakat yang hidup pada masa soeharto dimana seorang warga dari Malahayu, Bandung. Menjadi korban salah tangkap dari Petrus, ia di ikat dengan kain hitam di bagian mata agar tidak bisa memandang apapun lalu di masukkan kedalam mobil. Saat proses penangkapan sebut saja A memberontak karena ia tidak terima di culik tanpa adanya tunduhan yang mendasar, A mulai memprotes dengan bahwa mereka salah tangkap, lalu dri pihak Petrus memeriksa identitas A tersebut.
Setelah di cek para penculik meyakini bahwa mereka salah orang lalu A pun di lepaskan begitu saja, beberapa bulan setelah penculikan tersebut orang yang di yakini bahwa incaran petrus cari-cari yang awalnya mereka mencurigai A, orang tersebut tewas di pinggir jalan kota bandung.