Mohon tunggu...
Muhammad Haafizh Al Khatiiri
Muhammad Haafizh Al Khatiiri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student

Stay humble, forever learner

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Limitasi dari Transparansi Data dan Informasi Pasien COVID-19 beserta Perlindungan Hukum yang Dimilikinya

11 April 2021   16:58 Diperbarui: 11 April 2021   17:18 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kedua, Dokter atau tenaga medis tetap berpegang teguh pada pedoman regulasi dengan tetap menjaga kerahasiaan medis pasiennya agar terjaga. Bila ditinjau ke dalam aturan untuk mengungkap data rekam medis pasien positif Covid-19 secara normatif dalam UU Keterbukaan Informasi Publik, data medis pasien bersifat rahasia dan limitatif yang berarti stratanya secara hukum merupakan jenis informasi yang memperoleh pengecualian agar tidak disebarluaskan kepada pihak umum atau publik. Ketentuan ini lebih ditegaskan lagi dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 269 Tahun 2008 yang meregulasi bahwa sarana pelayanan kesehatan bertanggung jawab terhadap rekam medis. Pihak penyedia pelayanan kesehatan diharuskan membuat atau mencatat semua peristiwa yang berhubungan melalui layanan yang dilakukan terhadap pasien, mengelola dengan sebaik-baiknya, dan menjaga kerahasiaannya.[7]

Pihak dokter dan tenaga medis yang merawat kondisi pasien positif Covid-19 memiliki kewajiban untuk membuat medical records terhadap semua hal terkait tindakan yang dilakukan untuk menangani pasien tanggungannya. Data rekam medis berisi rangkuman interaksi pasien dengan sarana pelayanan kesehatan yang terdiri dari beberapa komponen yaitu data pribadi pasien, pemeriksaan, jenis pengobatan, tindakan yang diambil oleh dokter serta korespondensi demi keberlanjutan layanan kontrol dan konsultasi. Rangkuman catatan medis pasien yang tercantum dalam medical record dapat disusun secara manual yaitu dengan tulisan tangan yang komplit dan jelas dan/atau informasi elektronik berdasarkan ketentuan dari peraturan perundang-undangan. 

Tujuan rekam medis juga berfungsi sebagai kumpulan fakta dari kondisi kesehatan dan penyakit yang diidap oleh pasien sehingga data rekam medis pasien sudah pasti berisi dua hal antara lain: Dokumentasi komparasi perkembangan penyakit yang diderita oleh pasien dalam kondisi yang lampau dengan kondisi yang paling up to date serta dokumentasi tertulis mengenai dokumen tentang tindakan yang belum, sedang dan akan dilakukan oleh dokter. 

Memperhatikan dua hal di atas, setidaknya substansi diringkas menjadi suatu rekam medis pasien yang harus memuat tiga hal, di antaranya: a. Siapa? (Who) berkaitan erat dengan keterangan identitas pasien dan Siapa (Who) dokter maupun tenaga kesehatan yang merawat atau melakukan tindakan medis terhadap seorang pasien. b. Apa? (What) yang menjadi keluhan dari pasien terkait, Kapan? (When) keluhan tersebut mulai dirasakan, Mengapa? (Why) atau implikasi terjadinya keluhan dan Bagaimana? (How) tindakan medis yang diberikan kepada pasien. c. Hasil maupun efek (outcome) dari tindakan medis dan pengobatan yang sudah dialami oleh pasien. Informasi yang mengandung ketiga unsur di atas wajib untuk tidak salah sama sekali, sangat tepat, dan tidak boleh tertinggal, karena data atau informasi tersebut berakibat fatal bagi keselamatan jiwa dan kelangsungan hidup pasien jika terjadi sebuah kesalahan.[8] 

 

Kesimpulan

Meninjau kembali dari hasil kajian dan penelitian di atas, artikel ini mampu menarik beberapa benang merah di antaranya yaitu data rekam medis pasien diklasifikasikan oleh sejumlah peraturan perundang-undangan sebagai hak individu yang bersifat personal dan rahasia, sehingga tidak dapat dipublikasikan ke pihak publik tanpa adanya konsensus dari pihak pasien yang bersangkutan. Selain itu, beberapa peraturan perundang-undangan secara terpisah telah merumuskan tentang perlindungan data rekam medis pasien, tetapi belum terlalu optimal kinerjanya. 

Ketidakoptimalan itu disebabkan oleh adanya pertentangan norma dalam UU Kesehatan antara Pasal 71 dengan Pasal 72 yang menimbulkan ketidakmenentuan secara hukum dan dihilangkannya sanksi pidana bagi oknum dokter yang melakukan pelanggaran terhadap hak rekam medis juga ikut merugikan kedudukan pasien dalam perjanjian terapeutik dan praktik penelusuran data. Terutama dalam bidang hukum, ini merupakan sebuah tantangan yang sangat besar karena hukum menjadi instrumen kebijakan negara dalam menanggulangi penyebaran virus corona yang tengah merebak ke seluruh penjuru negeri.

Lebih dari itu, keberadaan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara sangat dibutuhkan juga sebagai instruman negara dalam rangka meregulasikan kebijakan-kebijakan selama masa pandemi Covid-19 ini, seperti Undang-Undang Kekarantinaan Wilayah, Pergub-Perwal-Perbup PSBB, Sanksi bagi para pelanggar Protokol Kesehatan. 

Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia berkewajiban pula guna mengambil tindakan terobosan dalam perumusan serta penegakan hukum termasuk di dalamnya hukum perlindungan data pribadi agar hak-hak masyarakat dapat terlindungi dengan aman. Semoga kedepannya, Negara Indonesia mampu mencatatkan sejarah dengan memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi yang lebih komprehensif sehingga dapat menyediakan perlindungan hukum terutama terhadap data pribadi setiap orang yang sehat maupun pasien yang sedang terkena suatu penyakit.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun