Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Beda Pendapat Jaksa Yulianto Dengan Guru Besar Hukum Pidana

17 Februari 2016   15:27 Diperbarui: 17 Februari 2016   15:47 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim, Jaksa, polisi dan pengacara adalah profesi yang bergelut di bidang hukum. Mereka pun tentunya mengetahui seluk beluk hukum dan mengenal betul bagaimana proses serta peristiwa hukum bisa terjadi. Mungkin di Indonesia anda sudah sering mendengar bahwa hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Contohnya pun beragam, dari mulai nenek Minah yang mencuri tiga buah kakao dan dihukum 1 bulan 15 hari. Bedakan dengan PT Bumi Mekar Hijau yang membakar hutan di Sumatera Selatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan mengakibatkan ratusan orang terserang penyakit akibat asap yang ditimbulkan dari pembakaran tersebut, diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Sumatera Selatan.

Di negara-negara maju seperti di Amerika dan Eropa, bahkan di Asia hukum dijadikan ujung tombak dalam membatasi prilaku manusia dalam berprilaku sehari-hari. Di Indonesia, hukum kerap disebut sebagai panglima dalam menegakan keadilan, namun kita juga tidak bisa menutup mata bahwasanya hukum dijadikan alat untuk transaksi. Entah itu alat transaksi politik, maupun transaksi dalam membeli putusan bebas dari satu pengadilan.

Salah satu kasus yang hangat diperbincangkan adalah kasus pelaporan sms CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo oleh Kepala Subdirektorat Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Yulianto. Yulianto merasa terancam dengan sms Hary Tanoe yang isinya mengatakan "Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik karena ingin Indonesia maju dalam artian yang sesungguhnya. Termasuk penegakan hukum yang profesional dan tidak transaksional dan tidak semena-mena demi popularitas. Suatu saat saya akan jadi pimpinan negeri ini. Di situ lah saatnya akan berubah dan dibersihkan dari hal-hal yang tidak semestinya. Kasihan rakyat. Negara lain semakin berkembang dan maju."

Yulianto yang merasa terancam melaporkan sms tersebut kepada Komisi III DPR dan akhirnya membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri. Meskipun, banyak tokoh dan masyarakat menilai tidak ada nada ancaman dalam sms terseut. “tegakanlah hukum meskipun langit runtuh”, anggota Komisi III DPR tetap memproses laporan Yulianto dengan meminta Guru Besar dan juga Pakar Pukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, hadir di ruang rapat Komisi III.

Dalam pandangannya Muzakir, tidak ditemukan unrur pidana apapun seperti yang disangkakan Yulianto. Bahkan, Muzakir, mengatakan sms Hary Tanoe berkonotasi positif. Menurutnya, saat ini Yulianto tidak bisa fokus pada masalah intinya yaitu kasus restitusi pajak PT Mobile 8 yang masih dimiliki Hary Tanoe pada 2004 silam, itu lah mengapa kasus sms ini terkesan dibuat-buat dan dibesar-besarkan.

Dari fenomena sms ancaman dan penilaian seorang guru besar, artinya hukum kerap dimainkan dan dimanfaatkan segelintir orang demi kepentingan tertentu. Saya sebagai orang awam melihat Jaksa Yulianto ini buang-buang waktu jika mempermasalahkan soal sms ini. Kenapa? Karena jika Hary Tanoe benar terlibat dalam kasus restitusi pajak dan punya buktinya maka Hary Tanoe bisa dijerat dengan pasal yang lebih berat dari pada hanya melanggar UU ITE seperti yang disangkakan.

Saya jadi berpikir apa benar ucapan Muzakir mengapa masalah sms ini dibesar-besarkan sementara kasus PT Mobile 8 makin lama makin tidak terdengar kelanjutannya. Apakah mungkin Kejaksaan Agung sebenarnya tidak punya bukti keterlibatan Hary Tanoe dalam kasus tersebut? Atau kita tidak perlu berbicara banya karena yang jadi pertanyaan adalah apakah restitusi pajak PT Mobile 8 melanggar aturan?

Pengacara kondang Hotman Paris menegaskan PT Mobile 8 tidak pernah melanggar karena restitusi pajak PT Mobile 8 tahun 2004 sudah sesuai dengan Pasal 17 UU nomor 28 tahun 2007 tentang ketentuan umum perpajakan.

Tapi sudahlah, permainan tingkat tinggi seperti ini hanya bisa dilakoni oleh para petinggi penegak hukum, sementara jaksa-jaksa muda yang ada di berbagai pelosok daerah diminta untuk profesional dalam bekerja. Kita rakyat awam hanya bisa menonton saja bagaimana ide-ide Yulianto dalam mengkriminalisasi Hary Tanoe ini berlanjut.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun