Kinerja Kejaksaan Agung di bawah kepemimpinan HM Prasetyo mendapat banyak sorotan, di sepanjang tahun 2015 bahkan hampir tidak ada kasus besar yang bisa diungkap korps Adhiyaksa ini. Alhasil, nama Prasetyo yang merupakan politisi NasDem ini disebut-sebut akan “dipecat” dari jabatannya. Namun di awal 2016 ini, bukannya memperbaiki kinerja, namun Kejaksaan Agung malah melakukan tindakan-tindakan yang makin mencoreng lembaga mereka sendiri. Mau tahu apa saja kelakuan para jaksa di awal tahun 2016 ini?
1. Memeriksa Ketua Umum Gafatar
Setara Institute melansir ada kesalahan Kejaksaan Agung dalam memeriksa Ketua Umum Gafatar karena keyakinan bukanlah domain hukum. Keyakinan tidak bisa diadili dan negara tidak memiliki kewenangan. Koordinator Setara Institute Hendardi mengatakan . Jaksa Agung mesti belajar dari kriminalisasi yg dilakukan oleh negara atas keyakinan warga negara. Kasus Lia Eden misalnya, berapa kali pun dia dipenjara, kalau bukan atas kemauan sendiri maka tidak akan berubah juga keyakinannya. Jadi sia-sia saja mengadili pikiran dan keyakinan orang. Itu merupakan pelanggaran HAM.
2. Pura-pura Kerja dalam Kasus Setya Novanto
Setara Insitute juga mencatat Kejaksaan Agung bermain politik dan hanya pura-pura bekerja dalam kasus Setya Novanto atas dugaan permintaan saham, pencatutan nama Jokowi, dan permufakatan jahat. Pasalnya, proses pemeriksaan Novanto semakin tidak jelas, karena sebenarnya Kejaksaan Agung tidak sungguh2 bermaksud menjerat Novanto. Novanto adalah orang yang memiliki pengaruh kuat pada penegak hukum, terbukti dalam beberapa kasus yang menjeratnya, dirinya selalu lolos dari jerat hukum, meskipun putusan pengadilan menunjukkan indikasi kuat keterlibatannya, salah satunya dalam kasus Bank Bali. Setara Institute mendorong KPK untuk melakukan supervisi intensif dan/atau mengambil alih kasus Novanto dalam kaitannya dugaan memperdagangkan pengaruh untuk keuntungan pribadi. Dalam nomenklatur pemberantasan korupsi, tindakan Novanto dapat diminta pertanggungjawaban hukumnya.
3. Membiarkan Surya Paloh Lolos
Kasus penyelewengan dana bantuan sosial Provinsi Sumatera Utara yang dilakoni Gubernur Sumut nonaktiv Gatot Pujo Nugroho menyeret beberpa nama kader NasDem, seperti OC Kaligis dan Patrice Rio Capella. Namun ada beberapa bukti yang menunjukan bahwa Ketua Umum NasDem Surya Paloh juga terlibat dalam kasus tersebut. Jaksa Agung Prasetyo berkali-kali menegaskan akan menelusuri kebenaran keterlibatan Surya Paloh, namun lagi-lagi janji Prasetyo tidak terdengar lagi setelah beberapa waktu dia mengatakan hal tersebut.
4. Kriminalisasi Hary Tanoesoedibjo
Pamer kekuatan dan inign seolah terlihat bekerja diperlihatkan Jaksa Agung lewat Kepala Subdirektorat Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Kejagung) Yulianto yang mencoba mengusut dana restitusi pajak PT Mobile 8 pada 2007 silam. Dalam peraturan perundang-undangan restitusi pajak PT Mobile 8 tidak melanggar undang-undang, namun Yulianto tetap mengusut kasus tersebut.
Hary Tanoe juga dilaporkan ke Bareskrim karena mengirim pesan singkat kepada Yulianto yang isinya sebagai berikut "Mas Yulianto, kita buktikan siapa yang salah dan siapa yang benar. Siapa yang profesional dan siapa yang preman. Anda harus ingat kekuasaan itu tidak akan langgeng. Saya masuk ke politik karena ingin Indonesia maju dalam artian yang sesungguhnya. Termasuk penegakan hukum yang profesional dan tidak transaksional dan tidak semena-mena demi popularitas. Suatu saat saya akan jadi pimpinan negeri ini. Di situ lah saatnya akan berubah dan dibersihkan dari hal-hal yang tidak semestinya. Kasihan rakyat. Negara lain semakin berkembang dan maju."
Menurut para ahli bahasa tidak ada kalimat yang mengancam di dalam sms tersebut, namun Yulianto tetap ingin melanjutkan kasus tersebut karena merasa dirinya terancam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H