Mohon tunggu...
Emhafis
Emhafis Mohon Tunggu... Mahasiswa - Marhaenis Kediri

Ngelamun dan eksekusi!!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Desukarnoisasi Sebagai Upaya Pengerdilan di Zaman Orba: Sejarah yang Terdistorsi

20 Juni 2024   18:05 Diperbarui: 21 Juni 2024   18:23 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia yang kini sudah berumur lebih dari setengah abad, telah mengukir berbagai sejarah yang spektakuler, bukan hanya secara nasional, bahkan dunia internasional pun telah mengukir nama indonesia dalam sejarah dunia. Karl Marx yang dalam teori marxismenya mengatakan bahwa, sejarah ada bukan karena satu atau dua tokoh besar, tetapi oleh karena seluruh elemen manusia berkontestasi dan saling bertentangan dalam kurun kurun waktu itu, lalu menghasil ukiran sejarah dalam suatu ruang.  Begitupun Indonesia terbentuk dari perjuangan, tekad, semangat yang pada waktu itu dimiliki oleh rakyat Hindia Belanda yang ingin segera meraih kemerdekaan melawaan Imperialis. 

Sejarah telah terbentuk, dan sejarah pasti diukir. pertanyaanya, siapa yang mengukir sejarah?, apakah pelaku sejarah itu sendiri, atau orang lain?, apakah ukiran sejarah secara hemat optimis tidak terinfiltrasi oleh oportunistis  ?. ini yang menjadi pembahasan kita. 

Putra Sang Fajar, sebuah julukan yang melekat pada seorang Bung Karno, seorang Proklamator, Penyambung Lidah Rakyat, dan sekaligus Presiden pertama Negara Indonesia. Bung karno sebagai seorang sosial adalah sosialis, sebagai seorang negarawan adalah Nasionalis, dan sebagai seorang hamba adalah theis sama sekali. Disebut sebagai pemimpin besar Revolusi Indonesia, tetapi Revolusi Indonesia ini, Bung Karno pernah mengatakan bahwa "Revolusi Indonesia ini bukan Revolusi Sukarno, tetapi Revolusi dari pada seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke". Bung karno sebagai pencetus embrio dasar negara, yang kini memanifestasi menjadi Pancasila, yaitu Marhaenisme. Tak salah bila ada proposisi bahwa Marhanisme is pancasila, Pancasila is Marhaenisme, keduanya adalah dwitunggal, keduanya adalah merupakan sendi sendi pada bangsa Indonesia, tetapi kenapa Marhaneisme sebagai terminologi maupun ideologi kerap asing ditelinga khalayak, padahal Pancasila ketika kita relevansikan terhadap marhanisme, akan menemukan koherensi dalam asas asas Marhanisme, dan keduanya adalah dalam satu pikiran yang sama, yaitu Bung Karno. Maka kemudian muncul hipotesa bahwa pasti ada unsur infiltrasi dalam terukirnya sejarah, yang kemudian mereduksi suatu hegemoni dari pelaku sejarah (Bung Karno). Maka mari kita buktikan hipotesa tersebut dalam uraian yang akan dibahas. 

A. Relevansi Marhaenisme telah redup : Pengkerdilan. 

Marhaenisme sebagai Ideologi perjuangan, sebagai alat revolusi, dan sekaligus embrio dari dasar Negara (Pancasila), kini dirasa ideologi tersebut terasa asing ditelinga rakyat, menjadi ideologi yang dianggap kuno, dan sudah tak adanya relevansi. bagaimana penjelasanya menurut logika induksi ?. Pada tahun 1965/1966 terjadi sirkulasi kekuasaan, Bung karno diganti pak Harto, dengan dalih keamanan negara, yang pada 1965 terjadi hiruk pikuk sejarah yang berkobar. Setelah Bung Karno lengser, muncul Keputusan MPRS, yaitu tap MPR No 25 Tahun 1966, yang berisi pembubaran partai Komunis, serta pelarangan berkembangnya ideologi marxisme, leninisme, dan komunisme. 

Dari tap MPR tersebut kemudian mereduksi pikiran pikiran kiri, segala hal diskusi atau kajian ini dibubarkan ketika dalam bahasan ideologi ideologi kiri. Perlu diketahui Bung Karno mengaku adalah seorang kiri, " ya.., akupun berulang ulang menegaskan dengan tanpa tedeng aling aling, ya, aku seorang marxis, marxisme adalah isi dada saya " . Memang marhanisme pada waktu itu tidak secara eksplisit dilarang untuk berkembang, tetapi perlu diketahui, bahwa ada satu teori dalam marhaenisme yang menjadi tajinya, yaitu marxisme. Ketika marxisme dicabut dalam kehidupan Indonesia maka marhaenisme akan tumpul, seperti seorang petani yang disawahnya kita rampas cangkulnya, maka dia akan tidak bisa apa apa, begitupun marhanisme, tanpa marxisme, marhaenisme tidak lebih hanya sekedar terminologi yang tersimpan dikbbi. 

Dalam suatu propaganda dizaman orba marhaenisme dikatan dalam dasar katanya yaitu marhaen, merupakan akronim dari marx, hegel, engels, mengingat bahwa ketiga tokoh tersebut merupakan tokoh kiri, dan indonesia melarang hal tersebut, itulah salah satu indikator pengkerdilan terhadap eksistensi marhaneisme.Kebijkan tap MPRS NO 25 tersebut hingga terjadinya pemberontakan 98, dan sampai era reformasi, masih menghegemoni eksistensi marhaenisme, seakan akan marhaenisme sebagai ideologi yang kuno dan nir relevansi, padahal pancasila hingga saat ini langgeng dan dinamis, tetapi marhaenisme ?. ya begitulah, politik merasuk dalam setiap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.  

B. Gerakan Rengasdenglok : kaum muda revolusioner atau kaum tua konservatif, atau sebaliknya ?

Dikatan dalam buku buku pendidikan mengenai peristiwa rengasdengklok, bahwa peristiwa ini adalah penculikan yang diupayakan oleh kaum muda terhadap kaum tua, yang kemudian menghasilkan hari kemerdekaan 17 agustus, dikarenakan doktrin dari kaum muda. Dari tulisan seorang jurnalis amerika, yaitu cindy adams, dalam karyanya dalam buku "Penyambung Lidah Rakyat Bung Karno", dijelaskan bahwa sebelum terjadinya peristiwa penculikan, ada dialog antara kaum muda dan tua, dirumah sukarno. dialog membara dan hampir hampir bung karno dibunuh karena perdebatan sengit itu. 

pada suatu dini hari sekitar jam tiga pagi, terjadilan penculikan terhadap bung karno dan bung hatta, yang kemudian diinternir di rengasdengklok, dengan maksud akan megadakan revolusi besar besaran dijakarta. Bung Karno terus betanya terhadap penjaga dimukimanya, apakah sudah terjadi revolusi? berulang kali bung karno menanyakan itu, tetap jawabannya sama, yaitu belum. Pada waktu kemudian A.Subarjo datang ke tkp bung karno, dan bermaksud menjemput dwitunggal itu. Bung Karno bertanya kepada Subarjo, "ada apa bung ?, apa yang terjadi ?, Subarjo menjawab " ya itu masalahnya bung, tidak terjadi apa apa, rakyat mencarimu, membutuhkanmu, dan ,menantimu bung ". 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun