Ditulis oleh
Purwati Anggraini*
Jika pandemi terus berlanjut, maka siswa remaja yang mengalami stres akan semakin meningkat dan mencapai persentase 50% lebih dari total jumlah remaja di Indonesia. Jika hal ini tidak segera ditangani, maka persentase tersebut bisa jadi akan semakin membengkak. Hal ini dapat terlihat pada beberapa penelitian.
Pada tahun 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia menerima laporan bahwa 79,9% siswa menyatakan ketidaksukaannya belajar dari rumah karena sebanyak 76,8% guru hanya memberi tugas dan tidak berinteraksi dengan siswa secara intensif. Pada tahun 2021, dengan jumlah sampel kurang lebih 150 per sekolah, sebagian sampel siswa menunjukkan bahwa mereka mengalami stres akademik. Jika digeneralisasi, maka persentase siswa yang stres pada tingkat SMP-SMA atau sederajat bisa mencapai 50%.
Setelah kurang lebih 1,5 tahun berlalu, saat ini siswa masih mengikuti pembelajaran daring (dalam jaringan/online). Pembelajaran daring di sebagian sekolah sudah relatif tertata dengan baik, namun demikian tidak sedikit pula yang masih meninggalkan PR besar. Di antaranya adalah stres siswa yang disertai dengan gejala dehumanisasi yang semakin meningkat.
Hal ini dapat terlihat di berbagai hasil survei dan artikel ilmiah. Fenomena stres pada siswa seperti gunung es di lautan, yang hanya terlihat puncaknya. Stres pada siswa lebih disebabkan oleh pola komunikasi siswa dengan gurunya yang belum optimal. Artinya ada unsur humanis yang tidak tersentuh. Siswa sesungguhnya lebih membutuhkan pertemuan langsung dengan guru, teman-temannya, dan orang lain tanpa rasa khawatir.
Interaksi siswa yang lebih banyak dilakukan di dunia maya, sedikit demi sedikit mengikis rasa kemanusiaan siswa. Dalam beberapa penelitian disebutkan, bahwa siswa lebih cenderung individualis dan semakin tidak peka terhadap kejadian di sekitarnya. Selain itu, kemudahan yang didapat dari gawai dan berbagai aplikasi online menyebabkan siswa semakin menggantungkan hidupnya pada gawai. Lalu dari situlah muncul gejala dehumanisasi.
Pandemi menjebak kita pada situasi yang mengharuskan kita menggunakan teknologi. Pertemuan kita dengan orang lain mau tidak mau harus diminimalisasi agar penularan virus dapat dikendalikan. Namun demikian, ternyata ada beberapa aspek yang tidak mungkin digantikan oleh teknologi.Â
Misalnya kedekatan guru dengan siswanya ketika mengajar tidak dapat digantkan oleh teknologi. Perhatian penuh yang tampak dari tatapan mata, gerakan kinestetik, dan tutur kata guru dalam pembelajaran tidak dapat dirasakan oleh siswa ketika belajar secara daring. Dalam hal ini jelas peran guru sangat penting untuk membuat siswa merasa diperhatikan dan dihargai.
Â
Gejala Dehumanisasi, Bisakah Dibendung?
Gejala dehumanisasi sudah mulai terlihat di banyak hal. Film kartun misalnya. Dalam kartun Doraemon yang diproduksi 1969 sudah tampak gejala dehumanisasi. Dalam cerita tersebut, Nobita selalu bergantung pada Doraemon yang memiliki peralatan super canggih. Akibatnya, Nobita tidak mau berusaha melakukan sesuatu dengan tangannya sendiri.Â
Dalam kisah kartun Doraemon, disampaikan cerita bahwa kecanggihan teknologi yang ditawarkan Doraemon selalu menuai masalah manakala Nobita yang notabene sebagai operatornya tidak dibekali dengan sikap dan pengetahuan yang cukup. Akibat yang dihasilkan selalu fatal.
Berkaca dari cerita kartun Doraemon saja, kita dapat melihat bahwa teknologi tanpa didasari pengetahuan dan karakter yang kuat akan berujung pada persoalan yang pelik. Lalu apakah gejala dehumanisasi ini dapat dibendung? Jawabnya tentu saja bisa. Manusia diciptakan Tuhan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.Â
Manusia menciptakan teknologi untuk memudahkan pekerjaan manusia. Harapannya dengan kehadiran teknologi tersebut, produktivitas manusia menjadi semakin meningkat.
Dalam menghadapi gejala dehumanisasi, manusia perlu memegang peranan penting. Sebagai manusia, kita perlu memilih dan memilah, teknologi seperti apa yang benar-benar penting dan dapat "menolong" kehidupan manusia. "Menolong" bukan berarti menggantikan peran manusia. Dalam kehidupan ini, peran manusia tidak dapat digantikan.Â
Manusia yang mempunyai akal pikiran dan nurani tentu akan lebih baik dalam menghasilkan solusi atas persoalan yang muncul. Begitupun dalam hidup bermasyarakat, secara naluriah manusia lebih senang menyapa, bertemu, dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini disebabkan manusia merupakan makhluk sosial, hidupnya sangat bergantung pada kehadiran orang lain.
Meminimalisasi Dehumanisasi di Masa Pandemi
Manusia pada dasarnya perlu eksis, mereka membutuhkan pengakuan oleh orang lain. Minimal manusia membutuhkan pengakuan bahwa mereka ada. Pengakuan ini tidak akan didapatkan dari produk teknologi. Pengakuan ini hanya bisa didapatkan dari manusia. Hal inilah yang perlu dipertimbangkan dalam dunia pendidikan.
Siswa yang sedang belajar secara daring, seringkali tidak merasakan kehadiran teman dan gurunya. Rasa memiliki, rasa bersahabat, rasa menyayangi, dan rasa kemanusiaan lainnya tidak muncul ketika daring. Kebersamaan mereka sebatas pada pertemuan singkat tanpa rasa. Nilai yang dibangun oleh guru dalam pembelajaran daring juga sulit terkontrol, karena pertemuan yang hanya terbatas melihat wajah.
Namun demikian, semua kekurangan yang ada dalam pembelajaran daring dapat diminimalisasi. Artinya, di sini membutuhkan peran orang tua, guru, sekolah, dan masyarakat untuk dapat bekerja sama mengembalikan rasa kemanusiaan siswa yang sempat terkikis. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di antaranya adalah guru menyisipkan motivasi dan permainan yang dapat menggugah rasa humanis siswa.Â
Materi pembelajaran memang penting, namun penguatan karakter juga jauh lebih penting. Siswa yang mempunyai karakter kuat akan dapat membangun dirinya menjadi insan yang lebih baik. Sebaliknya, siswa yang berpengetahuan luas tanpa dibekali dengan karakter yang kuat, ia akan lebih mudah stres dan ia tidak akan siap menghadapi tantangan di masa yang akan datang.
Orang tua dan masyarakat di lingkungan rumah juga perlu bahu membahu membentuk karakter siswa, misalnya masyarakat mengedukasi karakter siswa sebagaimana ia mengedukasi anaknya sendiri. Bisa juga dipasang slogan: kampung ramah sesama. Dengan demikian, siswa dan juga warga yang barangkali sudah tidak terlalu memperhatikan tetangga, mereka menyadarinya kembali. Masyarakat juga dapat menggalakkan kegiatan peduli sesama, untuk membantu tetangga yang sedang dilanda kesusahan.
Bagaimana dengan peran sekolah? Dalam hal ini, sekolah juga perlu membuat sebuah kebijakan untuk menyeimbangkan antara kegiatan daring dengan kegiatan yang dapat meningkatkan motivasi dan nilai kemanusiaan siswa. Misalnya, sekolah bisa membuat program lomba atau riset mini yang dilakukan siswa dalam tema kemanusiaan.Â
Kegiatan ini dilakukan dengan skala kecil, sesuai dengan kondisi siswa, namun dampaknya dapat menggugah siswa untuk berbuat lebih.Â
Dengan upaya merancang kegiatan yang positif dan menggugah hati nurani, maka proses dehumanisasi dapat diminimalisasi. Hasilnya, manusia akan dapat ditempatkan pada posisi yang tepat, dan pendidikan dapat dikembalikan pada tujuannya, yaitu memartabatkan manusia.
*Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H