Mohon tunggu...
Muhammad Firdaus Habibillah
Muhammad Firdaus Habibillah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Aktif di UIN Mulana Malik Ibrahim Malang

mahasiswa teknik informatika s1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Penerimaan Vaksinasi Global: Mengapa Booster Masih Ditolak di Beberapa Negara?

10 Oktober 2024   10:31 Diperbarui: 10 Oktober 2024   10:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penerimaan Vaksin Global: Mengapa Booster Masih Ditolak di Beberapa Negara?

 Pandemi COVID-19 terus menjadi ancaman global meskipun telah diperkenalkan berbagai vaksin yang aman dan efektif. Namun, tantangan besar yang masih dihadapi oleh banyak negara adalah rendahnya tingkat penerimaan vaksin di sebagian kalangan masyarakat. Dalam artikel ilmiah berjudul "A Survey of COVID-19 Vaccine Acceptance Across 23 Countries in 2022", Lazarus et al. (2023) menunjukkan bahwa penerimaan terhadap vaksin COVID-19 telah meningkat menjadi 79,1% pada tahun 2022. Meski demikian, masih ada negara-negara di mana hesitansi terhadap vaksin, termasuk booster, tetap tinggi. Misalnya, di Afrika Selatan, tingkat hesitansi mencapai 21,1%, sementara di negara-negara seperti Rusia, lebih dari 28,9% dari mereka yang telah divaksin menunjukkan keraguan terhadap booster. Survei yang melibatkan 23.000 responden dari 23 negara ini mencerminkan bagaimana keraguan terhadap vaksin tidak hanya terkait dengan ketersediaan vaksin, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, ekonomi, dan kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah serta sains.

Data ini menunjukkan bahwa meskipun kampanye vaksinasi global berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat, tetap ada kesenjangan besar dalam penerimaan vaksin. Lazarus et al. (2023) juga mencatat bahwa 38,6% responden menyatakan bahwa mereka kurang memperhatikan informasi baru mengenai vaksin COVID-19 dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa penyebaran informasi yang salah atau kurangnya komunikasi yang jelas dapat menurunkan minat masyarakat untuk melakukan vaksinasi atau booster. Dalam konteks ini, isu terkait hesitansi vaksin ini bukan hanya menjadi persoalan medis, melainkan juga tantangan sistem informasi, di mana penyebaran informasi yang akurat menjadi sangat penting dalam mempengaruhi opini publik.

***
Dalam analisis Lazarus et al. (2023), terlihat jelas bahwa faktor-faktor seperti pendidikan, pendapatan, dan kepercayaan terhadap institusi memainkan peran signifikan dalam penerimaan vaksin COVID-19. Contohnya, di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Polandia, hesitansi vaksin lebih tinggi di kalangan individu yang memiliki tingkat pendidikan rendah. Di Amerika Serikat, mereka yang berpenghasilan di bawah median nasional cenderung lebih skeptis terhadap vaksin dengan adjusted odds ratio (aOR) sebesar 2,35. Sebaliknya, di Ghana dan Ekuador, orang dengan pendapatan lebih tinggi justru lebih ragu terhadap vaksin dengan aOR berkisar antara 0,07 hingga 0,13. Ini menunjukkan bahwa faktor sosial-ekonomi sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan terhadap vaksin.

Selain itu, survei ini juga menyoroti bagaimana persepsi publik terhadap risiko COVID-19 mulai menurun, yang dapat menjelaskan mengapa penerimaan vaksin booster lebih rendah daripada dosis awal. Di Rusia, misalnya, 28,9% dari mereka yang telah divaksin menolak untuk menerima booster, meskipun vaksin tersebut terbukti efektif dalam meningkatkan kekebalan. Fenomena ini terkait erat dengan persepsi bahwa COVID-19 kini dianggap sebagai ancaman yang lebih rendah dibandingkan awal pandemi, terutama karena varian baru yang dianggap kurang mematikan. Lebih dari 25% responden di Korea Selatan menyatakan bahwa mereka kurang tertarik menerima booster karena mereka merasa penyakit ini kini kurang berbahaya.

Namun, perbedaan penerimaan vaksin antara negara-negara juga terkait erat dengan komunikasi publik. Di negara-negara seperti Tiongkok, di mana kepercayaan terhadap pemerintah dan otoritas kesehatan tinggi, tingkat penerimaan vaksin, termasuk booster, mencapai 98,3%. Sebaliknya, di negara-negara seperti Jerman, di mana skeptisisme terhadap kebijakan publik meningkat, hesitansi terhadap vaksin tetap menjadi masalah, dengan 21,9% populasi menunjukkan penolakan terhadap vaksin. Sementara itu, di negara-negara berkembang seperti Ghana dan Nigeria, kendala akses dan ketidaksetaraan distribusi vaksin turut memperburuk hesitansi vaksin, meskipun secara umum kesadaran akan pentingnya vaksinasi cukup tinggi.

Penelitian ini juga menggarisbawahi perlunya pendekatan yang lebih terfokus dalam menyusun kebijakan vaksinasi. Tidak semua negara menghadapi masalah yang sama. Di negara-negara dengan akses yang baik terhadap vaksin, seperti di Amerika Utara dan Eropa, hesitansi lebih dipengaruhi oleh kepercayaan pada otoritas dan persepsi risiko. Sebaliknya, di negara-negara berpenghasilan rendah, masalah utama sering kali terkait dengan ketersediaan dan distribusi vaksin, yang menyebabkan kesenjangan vaksinasi yang besar. Oleh karena itu, strategi yang berhasil di satu negara belum tentu efektif di negara lain.

***
Dari hasil penelitian Lazarus et al. (2023), terlihat jelas bahwa tantangan utama dalam mencapai cakupan vaksinasi yang luas tidak hanya bergantung pada ketersediaan vaksin, tetapi juga pada penerimaan masyarakat terhadap vaksin tersebut. Meskipun terjadi peningkatan dalam penerimaan vaksin global pada tahun 2022, hesitansi terhadap dosis booster masih menjadi masalah signifikan, terutama di negara-negara dengan tingkat kepercayaan rendah terhadap otoritas kesehatan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan berbasis konteks yang memperhitungkan kondisi sosial, ekonomi, dan politik di setiap negara.

Penelitian ini menunjukkan bahwa strategi komunikasi publik harus ditingkatkan, dengan menekankan pada transparansi, keandalan data ilmiah, dan penjelasan yang lebih sederhana mengenai pentingnya vaksinasi berkelanjutan. Selain itu, kesenjangan distribusi vaksin di negara-negara berkembang juga perlu diperbaiki untuk memastikan akses yang adil dan merata. Dengan adanya pendekatan yang lebih terarah dan disesuaikan, diharapkan tingkat hesitansi vaksin dapat terus berkurang, sehingga upaya global untuk mengakhiri pandemi COVID-19 dapat lebih berhasil.

Referensi:

Lazarus, J. V., Wyka, K., White, T. M., Picchio, C. A., Gostin, L. O., Larson, H. J., Rabin, K., Ratzan, S. C., Kamarulzaman, A., & El-Mohandes, A. (2023). A survey of COVID-19 vaccine acceptance across 23 countries in 2022. Nature Medicine, 29(2), 366-375. https://doi.org/10.1038/s41591-022-02185-4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun