Mohon tunggu...
MUHAMMAD FIRASYA
MUHAMMAD FIRASYA Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - pengusaha

semangatt

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kerajaan Mataram Islam

2 November 2024   08:33 Diperbarui: 2 November 2024   12:51 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AWAL MULA KERAJAAN MATARAM ISLAM:
Kerajaan Mataram Islam adalah salah satu kerajaan besar di Nusantara yang berdiri di Jawa Tengah pada akhir abad ke-16. Kerajaan ini menjadi penerus dari Kerajaan Demak dan Kesultanan Pajang. Berdirinya Mataram Islam bermula dari perjalanan politik, konflik, dan kebangkitan seorang tokoh bernama Sutawijaya, yang kemudian dikenal dengan sebutan Panembahan Senopati, pendiri Mataram Islam. Berikut ini adalah penjelasan singkat mengenai awal mula berdirinya Kerajaan Mataram Islam.

Latar Belakang dan Hubungan dengan Kesultanan Pajang
Sebelum Mataram Islam berdiri, Kesultanan Demak merupakan kerajaan Islam pertama dan terkuat di Jawa. Kesultanan ini mengalami kejayaan di bawah Sultan Trenggana, namun setelah kematiannya pada tahun 1546, kerajaan tersebut mengalami konflik internal yang akhirnya menyebabkan keruntuhan Demak. Setelah keruntuhan Demak, kekuasaan di Jawa Tengah beralih ke Kesultanan Pajang, yang dipimpin oleh Sultan Hadiwijaya atau lebih dikenal dengan sebutan Jaka Tingkir.
Jaka Tingkir memerintah Pajang dengan bijaksana, dan pada masa pemerintahannya, kekuasaan Pajang mencakup sebagian besar wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Salah satu orang kepercayaan Sultan Hadiwijaya adalah Ki Ageng Pamanahan, seorang bangsawan dari Mataram yang kemudian diberi wilayah di daerah Mataram sebagai bentuk hadiah karena jasanya membantu Pajang dalam perang melawan musuh-musuhnya. Tanah Mataram ini terletak di sekitar Kotagede, yang sekarang berada di wilayah Yogyakarta. Ki Ageng Pamanahan pun memindahkan keluarganya ke Mataram dan mulai membuka serta mengelola wilayah tersebut.

Sutawijaya: Pendiri Mataram Islam
Sutawijaya adalah putra Ki Ageng Pamanahan yang kemudian menjadi tokoh utama dalam berdirinya Kerajaan Mataram Islam. Ia tumbuh sebagai seorang pemimpin muda yang ambisius dan berani. Sutawijaya memiliki hubungan dekat dengan Sultan Hadiwijaya karena ia juga merupakan anak angkat dari Sultan tersebut. Di bawah bimbingan Sultan Hadiwijaya, Sutawijaya tumbuh sebagai seorang prajurit dan pemimpin yang tangguh, serta memiliki kemampuan militer yang mumpuni.
Namun, setelah kematian Ki Ageng Pamanahan pada tahun 1575, Sutawijaya mulai berambisi untuk mendirikan kerajaan sendiri. Sultan Hadiwijaya awalnya mendukung Sutawijaya, tetapi kemudian merasa bahwa Sutawijaya terlalu ambisius dan mungkin akan menjadi ancaman bagi Pajang. Ketegangan mulai muncul antara Pajang dan Mataram. Setelah Sultan Hadiwijaya wafat, konflik pun pecah antara pihak-pihak yang pro dan kontra terhadap Pajang.

KEMAJUAN
Kerajaan Mataram Islam mencapai masa kejayaannya terutama pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613--1645), seorang pemimpin besar yang berhasil memperluas pengaruh Mataram hingga ke sebagian besar Pulau Jawa dan mengembangkan kebudayaan Jawa dengan sentuhan Islam. Kemajuan Mataram Islam ditandai dengan berbagai keberhasilan dalam bidang politik, ekonomi, militer, budaya, dan agama, yang menjadikannya salah satu kerajaan terbesar dan terkuat di Nusantara pada masanya.

KEMAJUAN YANG DICAPAI KERAJAAN MATARAM ISLAM:

1. Ekspansi Wilayah yang Luas
Pada masa Sultan Agung, Mataram Islam berhasil memperluas wilayah kekuasaannya ke berbagai daerah di Pulau Jawa, menjadikannya kerajaan yang sangat berpengaruh. Sultan Agung memiliki ambisi untuk menyatukan seluruh Pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Ia melakukan ekspansi militer ke berbagai wilayah, termasuk Jawa Timur dan Jawa Barat.
Sultan Agung berhasil menaklukkan beberapa kerajaan dan kota-kota besar di Jawa Timur seperti Surabaya, Pasuruan, Tuban, dan Blambangan. Di Jawa Barat, ia juga berupaya menguasai Banten dan Cirebon, meskipun menghadapi tantangan dari VOC yang bersekutu dengan Banten. Selain itu, kekuatan Mataram juga berhasil menguasai daerah-daerah pedalaman di Jawa, sehingga kekuasaan kerajaan ini meluas ke berbagai penjuru Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ekspansi wilayah ini memperkuat posisi Mataram sebagai kerajaan terbesar di Jawa pada masa itu.

2. Pengembangan Militer yang Kuat
Kerajaan Mataram Islam memiliki kekuatan militer yang kuat dan terorganisir dengan baik, terutama pada masa Sultan Agung. Mataram mengembangkan sistem militer yang terdiri dari prajurit-prajurit tangguh, dilengkapi dengan senjata dan strategi perang yang canggih untuk masanya. Sultan Agung memperhatikan dengan serius pembangunan angkatan perang, terutama angkatan darat, untuk mempertahankan wilayahnya dari serangan dan untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain.
Mataram juga memiliki armada laut yang cukup kuat meskipun tidak sebesar VOC. Angkatan laut ini digunakan untuk mengamankan jalur-jalur perdagangan dan melindungi pantai dari serangan musuh. Dengan kekuatan militer yang tangguh, Sultan Agung melakukan serangkaian serangan terhadap kekuatan-kekuatan yang dianggap sebagai ancaman, termasuk VOC di Batavia. Meskipun upaya Sultan Agung untuk merebut Batavia tidak berhasil, serangan tersebut menunjukkan ambisi dan tekadnya untuk melawan kekuatan kolonial.

3. Perekonomian yang Maju
Kerajaan Mataram Islam memiliki perekonomian yang berkembang pesat, didukung oleh pertanian dan perdagangan. Mataram memiliki wilayah yang subur, terutama di daerah pedalaman Jawa yang kaya akan lahan pertanian. Sultan Agung memperkuat sektor pertanian, khususnya dalam produksi padi, yang menjadi sumber utama kebutuhan pokok masyarakat. Sistem irigasi yang baik diterapkan untuk memastikan ketersediaan air bagi sawah-sawah yang ada di wilayah kerajaan.
Selain pertanian, perdagangan juga berkembang dengan pesat di Mataram. Meskipun letaknya tidak di pesisir, Mataram memanfaatkan kota-kota pelabuhan yang telah ditaklukkan, seperti Tuban dan Surabaya, untuk mengembangkan perdagangan dengan daerah lain. Pelabuhan-pelabuhan tersebut menjadi pusat pertemuan para pedagang dari berbagai daerah dan negara, seperti Aceh, Makassar, Maluku, dan bahkan pedagang asing dari India, Arab, dan Tiongkok. Melalui jalur perdagangan ini, Mataram juga mendapatkan komoditas penting seperti rempah-rempah dan barang-barang yang memiliki nilai jual tinggi di pasar internasional.

4. Kejayaan Budaya dan Seni
Masa pemerintahan Sultan Agung menjadi salah satu periode yang kaya dalam perkembangan budaya dan seni di Mataram Islam. Sultan Agung dikenal sebagai seorang raja yang sangat memperhatikan seni, sastra, dan budaya, serta berupaya menyelaraskan tradisi budaya Jawa dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dalam berbagai karya seni, arsitektur, dan tradisi yang berkembang pada masa itu.

Beberapa pencapaian budaya yang signifikan antara lain:
Arsitektur: Mataram Islam mengembangkan gaya arsitektur yang khas, menggabungkan unsur-unsur Hindu-Buddha dengan unsur Islam. Salah satu contoh arsitektur peninggalan Mataram adalah Masjid Agung Kotagede dan kompleks pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri yang memiliki gaya arsitektur Jawa-Islam.
Sastra: Sultan Agung juga mengembangkan sastra Jawa klasik dengan memasukkan unsur-unsur keagamaan Islam dalam karya sastra tradisional. Salah satu karyanya adalah Serat Sastra Gending, yang berisi ajaran moral dan spiritual yang berdasarkan nilai-nilai Islam tetapi dikemas dalam bentuk sastra Jawa.
Gamelan dan Seni Tari: Seni musik dan tari berkembang pesat di Mataram. Gamelan, alat musik tradisional Jawa, diperluas dan disempurnakan menjadi ansambel musik yang digunakan dalam upacara kerajaan dan hiburan. Tari-tarian seperti bedhaya dan serimpi juga berkembang, dan keduanya diatur menjadi bagian dari tradisi keraton yang sakral dan penuh makna.
5. Penyebaran dan Penguatan Agama Islam
Kerajaan Mataram Islam memiliki peran besar dalam penyebaran dan penguatan agama Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah pedalaman. Sultan Agung berupaya menyelaraskan kebudayaan Jawa dengan ajaran Islam, sehingga nilai-nilai Islam semakin diterima oleh masyarakat Jawa yang sebelumnya menganut kepercayaan Hindu-Buddha.
Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang memiliki pandangan keagamaan yang kuat, dan ia menerapkan syariat Islam sebagai bagian dari kehidupan kerajaan dan masyarakat. Salah satu bukti komitmen Sultan Agung terhadap Islam adalah keputusannya untuk mengganti penanggalan Hindu dengan kalender Jawa-Islam yang menggabungkan sistem penanggalan Hijriah (Islam) dan penanggalan Saka (Hindu). Hal ini merupakan upaya Sultan Agung untuk menanamkan identitas keislaman di kalangan masyarakat Jawa, sekaligus menghormati tradisi lama yang sudah ada.
Selain itu, Sultan Agung juga mendukung dakwah dan pendidikan agama Islam melalui pondok pesantren dan para ulama yang menyebarkan ajaran Islam di berbagai pelosok Jawa. Dengan cara ini, Islam berkembang pesat dan menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya dan kehidupan masyarakat Jawa pada masa itu.

6. Sistem Pemerintahan yang Terstruktur
Sultan Agung mengembangkan sistem pemerintahan yang terstruktur dan terpusat, dengan kekuasaan yang berada di tangan raja dan pejabat-pejabat tinggi yang dipercaya. Sultan Agung juga mengatur sistem pembagian wilayah dan administrasi kerajaan, di mana wilayah-wilayah kerajaan dikelola oleh bupati atau pejabat daerah yang setia kepada raja.
Mataram Islam menerapkan sistem birokrasi yang cukup rapi dan tertib. Selain itu, Sultan Agung juga menempatkan pejabat-pejabat yang berkompeten dan setia untuk mengelola wilayah-wilayah yang telah ditaklukkan, memastikan bahwa wilayah-wilayah tersebut tetap setia kepada Mataram dan mampu memberikan kontribusi pajak serta tenaga kerja bagi kerajaan.
Untuk memperkuat kontrol atas wilayahnya, Sultan Agung juga mengembangkan jaringan spionase dan intelijen yang memastikan bahwa raja selalu mendapatkan informasi terbaru mengenai situasi di setiap wilayah. Dengan cara ini, Sultan Agung mampu menjaga stabilitas politik dan keamanan di wilayah kerajaan yang luas, sehingga memungkinkan Mataram Islam untuk terus berkembang.

7. Perlawanan terhadap VOC
Salah satu ciri khas kepemimpinan Sultan Agung adalah perlawanan kerasnya terhadap VOC di Batavia. Sultan Agung menyadari bahwa keberadaan VOC merupakan ancaman bagi kedaulatan dan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama di Pulau Jawa. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melancarkan serangan besar-besaran ke Batavia, meskipun serangan ini pada akhirnya tidak berhasil mengalahkan VOC karena berbagai faktor, termasuk cuaca buruk, kekurangan logistik, dan kekuatan pertahanan Batavia yang kuat.
Namun, meskipun gagal merebut Batavia, perlawanan Sultan Agung menunjukkan komitmen Mataram dalam mempertahankan kedaulatan dan menghalau intervensi asing. Serangan tersebut juga menginspirasi perlawanan-perlawanan lain terhadap VOC di wilayah Nusantara pada masa berikutnya.

KEMUNDURAN KERAJAAN MATARAM ISLAM:
Kerajaan Mataram Islam mulai mengalami kemunduran setelah masa kejayaan di bawah pemerintahan Sultan Agung (1613--1645). Seiring dengan wafatnya Sultan Agung, kerajaan ini menghadapi berbagai tantangan internal dan eksternal yang secara bertahap mengikis kekuatannya. Pengganti Sultan Agung tidak mampu mempertahankan stabilitas dan kewibawaan kerajaan, yang menyebabkan Mataram mengalami kemunduran dan akhirnya terpecah.

1. Kematian Sultan Agung dan Penerus yang Lemah
Setelah Sultan Agung wafat pada tahun 1645, putranya Amangkurat I (1646--1677) naik tahta. Sayangnya, Amangkurat I tidak memiliki kemampuan kepemimpinan yang sekuat ayahnya. Gaya kepemimpinannya cenderung otoriter dan sewenang-wenang. Amangkurat I banyak menyingkirkan bahkan membunuh para bangsawan yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaannya, termasuk keluarga dan pejabat istana.
Tindakan-tindakan keras ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan rakyat. Amangkurat I mengabaikan kepercayaan yang sudah dibangun Sultan Agung dengan rakyat, sehingga hilang dukungan dari kalangan bangsawan dan rakyat. Pemerintahan yang represif ini menyebabkan ketidakstabilan dalam negeri, yang akhirnya berkontribusi pada kemunduran Mataram.

2. Konflik Internal dan Pemberontakan Trunajaya
Sikap keras Amangkurat I terhadap bangsawan dan keluarganya memicu pemberontakan. Pada tahun 1674, Trunajaya, seorang bangsawan dari Madura yang mendapat dukungan luas dari rakyat dan sejumlah bangsawan yang tidak puas dengan kepemimpinan Amangkurat I, memimpin pemberontakan besar melawan Mataram.
Trunajaya bahkan berhasil merebut beberapa wilayah penting, termasuk Plered yang merupakan ibu kota Mataram. Amangkurat I merasa kewalahan menghadapi pemberontakan ini, sehingga ia meminta bantuan VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Perusahaan Hindia Timur Belanda) untuk memadamkan pemberontakan. VOC bersedia membantu dengan syarat mendapatkan konsesi dagang dan hak istimewa di Mataram.

Bantuan VOC berhasil mengakhiri pemberontakan, tetapi VOC kemudian menuntut imbalan atas bantuan militer yang mereka berikan. Kondisi ini melemahkan kedaulatan Mataram, yang semakin bergantung pada VOC.

3. Ketergantungan pada VOC dan Intervensi Politik
Permintaan bantuan Amangkurat I kepada VOC saat menghadapi Trunajaya membuka pintu bagi intervensi VOC dalam urusan kerajaan. VOC menyadari bahwa Mataram yang lemah menjadi peluang besar untuk memperluas pengaruh dan kepentingan ekonomi mereka di Jawa. VOC mulai menerapkan politik pecah-belah (divide et impera) untuk memanfaatkan konflik di kalangan keluarga kerajaan.
VOC mendukung pihak-pihak dalam kerajaan yang setuju untuk bekerja sama dengan mereka. Hal ini semakin memperlemah kedaulatan Mataram, karena para penguasa harus mengikuti keinginan VOC demi menjaga kekuasaan. Pada gilirannya, VOC menuntut hak-hak istimewa seperti monopoli perdagangan, kontrol atas pelabuhan-pelabuhan, dan bahkan sebagian wilayah Mataram sebagai bentuk imbalan.
Ketergantungan Mataram pada VOC semakin besar, terutama pada masa Amangkurat II (1677--1703), penerus Amangkurat I. Amangkurat II memberikan lebih banyak hak istimewa kepada VOC agar dapat mempertahankan kekuasaannya di Mataram. Akibatnya, VOC semakin mengendalikan urusan dalam negeri Mataram.

4. Perjanjian Giyanti (1755) dan Pembagian Mataram
Salah satu peristiwa yang menandai kemunduran Kerajaan Mataram adalah Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Perjanjian ini merupakan puncak dari konflik internal dalam kerajaan dan intervensi VOC yang semakin kuat. Pada waktu itu, terjadi perselisihan antara Sunan Pakubuwana III, penguasa Mataram yang bekerja sama dengan VOC, dan Pangeran Mangkubumi, adiknya yang menentang pengaruh VOC.
Pangeran Mangkubumi yang tidak puas dengan perlakuan VOC dan Pakubuwana III akhirnya memimpin pemberontakan. VOC kemudian menawarkan perdamaian dengan syarat membagi wilayah Mataram menjadi dua bagian. Hasil dari Perjanjian Giyanti membagi Mataram menjadi:
Kasunanan Surakarta, yang dipimpin oleh Sunan Pakubuwana III dan menjadi bagian dari wilayah yang berada di bawah pengaruh VOC.
Kasultanan Yogyakarta, yang dipimpin oleh Pangeran Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengkubuwono I.
Perjanjian Giyanti secara resmi memecah belah Mataram menjadi dua kerajaan yang berbeda. Pembagian ini mengurangi kekuatan Mataram secara signifikan dan mempermudah VOC dalam mengendalikan kerajaan-kerajaan di Jawa. Perjanjian ini menjadi simbol berakhirnya kesatuan Mataram Islam sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat.

5. Perjanjian Salatiga (1757)
Setelah Perjanjian Giyanti, terjadi perpecahan lebih lanjut yang menghasilkan Perjanjian Salatiga pada tahun 1757. Perjanjian ini muncul akibat ketegangan antara Sunan Pakubuwana III di Surakarta dengan Pangeran Sambernyawa, atau Raden Mas Said. Pangeran Sambernyawa adalah bangsawan yang menentang VOC dan berjuang mempertahankan kedaulatan Mataram.
Perjanjian Salatiga membagi wilayah Surakarta dengan mendirikan Kadipaten Mangkunegaran di bawah kepemimpinan Pangeran Sambernyawa. Dengan demikian, wilayah Mataram kini terbagi menjadi tiga, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran. Perpecahan ini semakin memperlemah kekuasaan Mataram Islam, karena masing-masing kerajaan kecil ini berada di bawah pengaruh VOC.

6. Pengaruh Ekonomi dan Monopoli Dagang VOC
VOC tidak hanya mengintervensi politik di Mataram, tetapi juga menguasai ekonomi kerajaan. Mereka menuntut hak monopoli dagang atas berbagai komoditas penting, seperti rempah-rempah, dan memberlakukan pajak tinggi yang dibebankan kepada rakyat Mataram. Kondisi ini menekan ekonomi kerajaan dan menyebabkan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan rakyat.
VOC juga mengendalikan jalur-jalur perdagangan utama dan pelabuhan-pelabuhan yang sebelumnya dikuasai oleh Mataram. Kehilangan kontrol atas pelabuhan dan perdagangan ini mengakibatkan pendapatan Mataram berkurang drastis, sehingga semakin sulit bagi kerajaan untuk membiayai administrasi dan pertahanan.

7. Melemahnya Struktur Militer dan Ketergantungan pada VOC
Di bawah kekuasaan VOC, Mataram kehilangan kemampuan untuk mengembangkan militernya secara mandiri. Kekuatan militer yang dulu tangguh pada masa Sultan Agung melemah, dan ketergantungan pada VOC untuk keamanan semakin besar. Setiap kali terjadi pemberontakan atau ancaman dari pihak-pihak dalam kerajaan, penguasa Mataram harus meminta bantuan VOC, yang pada gilirannya membuat VOC semakin berkuasa.

VOC juga mengurangi kewenangan raja-raja Mataram dalam hal militer untuk mencegah adanya perlawanan terhadap mereka. Tanpa kekuatan militer yang kuat, Mataram semakin kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedaulatannya.

8. Akhir Kekuasaan dan Kemunduran Total.
Setelah Perjanjian Giyanti dan Salatiga, Mataram Islam tidak lagi menjadi kekuatan besar di Pulau Jawa. Mataram terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil yang masing-masing berada di bawah pengaruh VOC. Kekuasaan kerajaan secara bertahap beralih ke tangan VOC dan kemudian pemerintah kolonial Belanda setelah VOC dibubarkan pada akhir abad ke-18.
Pada akhirnya, wilayah Mataram Islam sepenuhnya berada di bawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Selama abad ke-19, setelah Perang Diponegoro (1825--1830), kekuasaan para raja Mataram hanya sebatas pada urusan adat dan budaya. Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta tetap eksis hingga masa kemerdekaan Indonesia pada 1945, namun tidak lagi sebagai kerajaan yang memiliki kedaulatan penuh.

Sumber:
H.J. de Graaf dan T. G. Th. Pigeaud. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram. Jakarta: Grafiti Pers, 1985.
Ricklefs, M.C. A History of Modern Indonesia since c. 1200. Stanford University Press, 2008.
Soekmono, R. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3: Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Yogyakarta: Kanisius, 1973.
Pranata, T. Sejarah Kerajaan Mataram Islam: Kejayaan dan Kemundurannya. Yogyakarta: UGM Press, 2005.
Moedjanto, G. Mataram, Pusat Kekuasaan Jawa Zaman Sultan Agung. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987.
Ricklefs, M.C. Jogjakarta under Sultan Mangkubumi, 1749-1792: A History of the Division of Java. London: Oxford University Press, 1974.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun