Akhir-akhir ini media sangat sering mengabarkan tentang tingkah lucu para pemangku kekuasaan. Mulai dari mereka yang duduk di kursi empuk eksekutif, legislatif, hingga yudikatif dengan kompak bertingkah lucu, seakan-akan ingin menghibur rakyat yang sedang kesusahan di masa pandemi. Tapi pak, dimata rakyat tingkahmu itu seperti peserta kompetisi lawak negeri tetangga yang viral dengan puncline buwong puyuhnya, alias tidak lucu!.
Jika kita mundur sedikit, kembali mengingat peristiwa penting tentang sebuah sidang di gedung yang didesain sangat nyaman untuk mereka bersekongkol membuat pemufakatan jahat yang menghasilkan sebuah keputusan untuk memilih, mengangkat, dan memutuskan seorang yang bermasalah untuk diberi mandat atas nama rakyat memimpin sebuah lembaga penting negara, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi. Alhasil, seiring berjalannya waktu, ditangan beliau, orang-orang jujur yang sangat getol memberantas korupsi harus dipaksa keluar dari pengabdiannya dengan cara yang tak terhormat. Baiklah pak, ini mungkin hanya bagian dari bercandaan bapak.
Ya pasti bercandalah, mana mungkin manusia yang percaya dengan tuhan dan memeluk agama yang diyakininya benar dengan sadar bermain mata dengan koruptor hanya demi memuaskan nafsu kekayaan pribadinya hingga sampai merugikan negara. Mana mungkin ia secara sadar memuluskan rencana jahat koruptor untuk memperkaya diri disaat ribuan orang di pedalaman Nusantara membutuhkan akses fasilitas kesehatan yang layak, pendidikan yang layak, hingga tempat tinggal yang layak.
Penegak hukum juga bercanda dengan memotong hukuman seorang jaksa yang terbukti melakukan tiga kejahatan seperti menerima suap, pemufakatan jahat, dan mencuci uang dengan alasan kemanusiaan karena ia memiliki seorang balita. Ya pasti bercanda lah, mana mungkin serius. Wong di daerah lain ada juga seorang narapidana harus mendekan di penjara tanpa potongan hukuman dan mengharuskan anak balitanya ikut tinggal di dalam penjara.
Para wakil rakyat dengan bercanda mengesahkan sebuah proyek hukum raksasa bernama omnibus law yang diantaranya mengatur tentang undang-undang cipta lapangan kerja yang bermasalah. Untuk merespon atas disahkannya undang-undang tersebut, para mahasiswa, buruh, dan rakyat yang berkoalisi atas nama rakyat Indonesia turun kejalan untuk menolak kebijakan tersebut. Hampir di seluruh kota di penjuru Indonesia dipenuhi dengan aksi unjuk rasa tersebut. Sang presiden kita dengan polos merespon aksi itu dengan berkata jika rakyat tak puas dengan omnibus law silahkan bawa permasalahan ini ke MK. Eh hampir setahun berlalu pak presiden ikutan bercanda dengan meminta MK melalui mentrinya untuk menolak semua gugatan tentang undang undang cipta kerja. Sungguh lawakan yang hampir lucu pak presiden.
Belum lagi para elit politik negeri ini yang riuh tentang wacana presiden tiga periode. Pasti ini bercanda dong. Gak mungkin lah mereka serius dengan wacana tersebut hingga menimbulkan perdebatan antar elit politik ditengah kesengsaraan rakyat terdampak imbas pandemi yang tak kunjung usai.
Yang terbaru nih. Lagi hangat-hangatnya tentang aksi salah satu Bem Universitas ternama di Indonesia yang membuat heboh Indonesia dengan unggahan memenya tentang pak presiden. Karena aksi tersebut, jajaran pengurus BEM dipanggil oleh Rektorat kampusnya untuk ditegur dan dimintai keterangan. Yang lucu, salah satu dosen kampus tersebut justru mengkritik aksi tersebut, bahkan cenderung menyerang personal ketua bem tersebut. Sungguh sebuah lawakan dari para akademis negeri ini. Belum lagi tersebar fakta jika rektor kampus tersebut disinyalir rangkap jabatan menjadi komisaris salah satu perusahaan BUMN. Pasti bercanda dong, mana mungkin seorang doktor dengan sadar meyalahi statuta kampus yang dipimpinnya sendiri.
Ah sungguh sangat banyak lawakan para penguasa di negeri ini. Yang pasti di mata kami, semua lawakan tersebut tidaklah lucu. Indonesia terlalu sayang jika dijadikan panggung lawakan penguasa. Ada salah satu puisi indah karya Kiai D Zawawi Imron yang berjudul Tanah Sajadah. Salah satu petikan dari puisi tersebut adalah: Indonesia adalah tanah surga! Siapa yang mencintainya, jangan mencipratinya dengan darah. Siapa yang mencintainya, jangan mengisinya dengan maksiat, fitnah, dan permusuhan. Jika diperkenankan untuk menambahi puisi tersebut maka kurang lebih ditambah dengan kalimat: Siapa yang mencintainya (Indonesia), maka jangan menjadikannya panggung lawak dengan lawakan  tak lucu, yang membuat rakyat makin menderita dan sengsara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H