Pagi yang Pilu
Terbitmu di pagi hari
Hujan sirna tanpa jejak kaki
Asing bagiku ketika kamu hendak pergi
Dikala rintik ini tak kunjung berhenti
Deras angin menuntunmu pergi
Dari tempat tak berpenghuni
Andai kala itu aku sendiri
Tak sudi aku melihatmu seperti ini
Karena aku tak cukup handal tuk berlari
Aku senang menetap pada hati yang sunyi
Aku senang bersamamu kali ini
Terbenammu menutup hati yang sepi
Hidup Tak Selamanya Muda
Waktu muda akan ada habisnya
Terekam jelas pada mata kita
Setiap waktu terlewati tetapi momen akan selalu ada
Momen pada saat berkumpul bersama
Canda tawa menghiasi memori diantara kita
Akankah saat ku menua
Momen itu akan tetap ada
Kembali bersama
Memanggil kembali ingatan kita
Yang telah usang termakan usia
Rumah Tak Bertuan
Ruangan hampa tanpa adanya seorang pun di dalamnya
Hanya ada jejak jejak yang ditinggalkan olehnya
Oleh orang orang yang mengisi ruangan itu
Yang datang silih bergantian
Tak hanya itu
Pertemuan
Menemukan
Kenyamanan
Tapi ada suatu ketidaknyamanan
Ketika perpisahan
Datang menyadarkan
Semua situasi yang ada
Satu hal yang bisa dilakukan
Adalah menerima bahwa perpisahan
Akan selalu ada ketika pertemuan
Ketidaksengajaan antara dua hati
Intuisi
Intuisi bagaikan pedang bermata dua
Satu sisi terkadang benar
Sisi lainnya terkadang salah
Entah mengapa tebakkannya selalu benar
Dengan apa yang dipikirkan
Seorang teman pernah berkata
Kalau kamu menuruti intuisi
Nantinya kamu akan dimanfaatkan
Emang benar begitu?
Tetapi..
Kalau dipikir lagi
Pikiran kita suka menolak dengan isi hati
Membuat kita berpikir lebih keras
Seperti halnya kita memikirkan sebuah hitungan yang rumit
Andai intuisi
Bisa menjelma seperti manusia
Berbicara tanpa adanya kekangan dari pikiran kita
Pikiran kita yang menuntut intuisi harus selaras dengannya
Belum lagi
Kalau Intuisi kita tak sama dengan dia
Lelah juga ya jadi orang yang nurutin mulu intuisi
Yang selalu bertengkar
Dengan pikiran
Apalagi ketika kita mulai mengkhawatirkan dia
Menutup Malam
Malam telah tiba
Cahaya senja
Tak lagi terlihat di alam raya
Seperti dia..Â
Tak lagi tampak sebagai dia yang dulu
Kini dia sudah berubah
Menjadi manusia asing
Yang tak ku kenal
Menyayat hati seseorang
Mempermainkannya dengan seenak hati
Kini...
Malam ini bukan malam biasa
Ku menutup malamku dengan terpaksa
Semua Bagian Hidup Berkumpul
Aku dengan cermin
Saling menatap
Berbicara tentang siapa diriku
Sikapku
Perasaanku
Pikiranku
Malam ini jadi malam panjang
Saling tanya menanyakan
Siapa yang salah
Siapa yang benar
Ekspetasi menggenggam bahuku
Seraya berkata
Akulah yang sering membunuh hatimu
Hingga Hatimu menangis dibelakang cermin
Aku terlalu memanjakanmu
Hingga hati tak bisa ikut denganku
Cermin hanya berkata
Damaikanlah hatimu dan ekspetasimu
Seperti engkau mendamaikan
Kedua saudaramu
Pesanku Kepada Tuhan
Hiruk pikuk kehidupan
Terus menerus tanpa ampunan
Langkah kakiku tak kunjung berhenti
Mengindahkan kata orang
Aku ini gila
Menaiki tangga hingga langit
Hanya membawa pesanku
Berupa secarik kertas
Bertuliskan namamu
Untuk ku sampaikan Kepada Tuhan
Nafas terengah engah
Kilau cahaya Agung-Mu perlahan terlihat
Aku hanya tertegun
Gemetar terbungkam seluruh ragaku
Tuhan pun enggan menyapaku
Aku hanya bisa menjerit tanpa henti
Memohon Kepada-Nya
Kalaupun nyawaku harus diambil
Agar Engkau yakin atas pilihanku
Ambil saja... Aku rela... Ya Tuhan...
Kemarahanku
Semua ini salah ekspetasimu sendiri
Bukan salah dia yang memberimu harapan
Bukan pula salah dia mendekatimu
Ekspetasi yang kamu ciptakan
Diambang batas wajar seorang manusia
Berbuat baik tanpa berharap pamrih
Itu MUNAFIK!!!
Semua orang tak terkecuali
Ingin dihargai seperti halnya dia berbuat baik
Kepadamu.. Iyah Kepadamu
Lalu...
Setelah semua begini adanya
Siapa yang patut disalahkan
Ekspetasi
Atau....
Dirimu yang berlebihan
Berjuang Sendirian
Aku berjuang demi kamu
Kamu diam terpaku
Tak melihat kehadiranku
Tingkahku setiap hari mengganggumu
Tapi kamu tetap mengindahkanku
Memang aku tidak sempurna untukmu
Bukan keinginanmu
Yang menggebu gebu
Mengharap laki laki yang kau inginkan
Aku hanya sebuah pemeran utamamu
Yang tak dianggap olehmu
Membuka Lembaran baru
Semua bebanku kini terlepas
Aku membuka lembaran kanvas
Gemetar jemariku memainkan kuas
Karena luka yang membekas
Aku sudah lupa cara melukis
Rupamu yang kian terkikis
Oleh akal dan pikiranku yang egois
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H