Dampak radikalisme agama bagi dunia pendidikan
Pendidikan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia, karena didalamnya mencakup suatu proses dan hasil dari tindakan individu dari lahir hingga meninggal dunia. Ki Hadjar Dewantoro menyebutnya sebagai pendidikan seumur hidup, yang menekankan bahwa pendidikan adalah suatu proses yang berkesinambungan sepanjang hidup manusia.
Keberhasilan pendidikan dalam membinbing seseorang atau individu untuk menjadi inividu yang lebih baik dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu perkembangan dan dinamika kehidupan manusia, aksebilitas informasi, kemudahan komunikasi, serta tuntutan demokrasi dan transparansi.
Nah, apa dampak radikalisme agama dalam dunia pendidikan?
Radikalisme dalam konteks pendidikan, secara umum dapat dipahami sebagai suatu gerakan sosial yang lebih mengarah kepada tindakan negatif. Namun, dari segi bahasa, radikalisme pada dasarnya berbeda dengan terorisme. Radikalisme melibatkan proses pelatihan yang tulus untuk meraih kesuksesan atau aspirasi positif, sedangkan terorisme berakar pada penanaman rasa takut melalui cara cara yanh negatif dan mengintimidasi.
Kita dapat mengambil contoh yang disebutkan dalam Al Qur'an (Q. S. Muhammad [47]:4) yang berisi perintah tekstual untuk memenggal leher orang kafir yang ditemui dimedam perang. Ayat tersebut lebih lanjut menyatalan bahwa setelah mengalahkan mereka, mereka dapat dinyatakan sebagai tawanan dan dibebaskan atau ditebus. Ayat ini juga menyebutkan bahwa Allah dapat menghancurkan mereka jika dia menginginkannya, tetapi dia bermasud menguji orang orang beriman melalui tindakan ini. Ayat ini sebagai contoh dasar tekstual yang ditafsirkan sebagai promosi tindakal radikal, terutama dalam konteks dogma agama dan pemahaman ang sempit.
Radikalisme agama pada akhirnya dapat merambat ke dunia pendidikan, di mana para oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam sistem pendidikan dengan manjalankan kegiatan radikal yang mengarah pada tindakan teror atau menanamkan rasa takut diantara para pemangku kepentingan pendidikan , sehingga dapat menghambat kemampuan mereka dalam menjalankan peranannya secara efektif. Guru mungkin tidak dapat bekerja secara optimal karena takut akan ancaman dari pihak luar yang merasa dirugikan, sementara administrator sekolah mungkin menghadapi tekanan atau ancaman dari atasan mereka, yang mengakibatkan ketidak sesuaian antara proses pendidikan dan tujuan pendidikan itu sendiri.
Radikalisme agama di dunia pendidikan tidak hanya terwujud dalam bentuk tindakan kekerasa, namun juga melalui ucapan dan sikap yang berpotensi menyebabkan terjadinya kekerasan yang tidak sesuai dengan norma norma pendidikan. Potensi kekerasan ini telah menimbulkan keadaaan yanh tidak menyenangkan disekolah, dimana peran dan fungsi sekolah mengayomi dan membinbing telah bergeser menjadi institusi yang mengintimidasi, menyusahkan, dan bahkan menyengsarakan anak didiknya.
Pergeseran ini juga disebablan oleh pergeseran orientasi pendidikan yang bergeser dari proses pencerahan menjadi proses pemaksaan dalam mendapatkan ilmu pengetahuan, sebagai akibat dari dinamika budaya dan persepsi masyarakat yang cenderung memaknai perubahan dan kemajuan pengetahuan, teknologi, dan budaya secara negatif, bukannya memetik nilai nilai positif nya.
Berkurangnya nilai nilai etika dan rasa hormat didalam lembaga pendidikan, terutama antara guru, murid, dan tenaga pendidik. Munculnya pola pikir kepuasaan instan di kalangan siswa dan keinginan untuk sukses dengan cepat dan mudah, sementara guru dianggap mencari tugas tugas yang mudah dan mengabaikan tanggung jawab mereka. Pergeseran sikap dan perilaku ini mencerminkan dinamika budaya yang lebih luas dan perubahan sosial yang berdampak pada lingkungan pendidikan.