Indonesia adalah negara yang kaya. Baik dari alam, kebudayaan, bahasa, kesenian, kuliner, maupun sukunya. Contoh saja freeport dengan tambang emasnya di Papua, atau reog dengan kesenianya dari ponorogo, dan tak luput pula rendang dengan kulinernya dari Sumatera Barat. Ini hanya segelintir kekayaan Indonesia yang  tak mungkin saya sebutkan satu persatu.
Memang, semua yang telah disebutkan tadi, adalah milik indonesia. Baik dari kekayaan alamnya,kesenianya,maupun kulinernya. Namun, apakah kalian sadar. Semua itu telah diklaim oleh negara luar. Bahkan parahnya lagi kita hanya menjadi penonton di negeri kita sendiri. Kekayaan yang begitu melimpah, tak dapat kita olah dengan sebaik mungkin.
Bukan karena bangsa ini kekurangan orang hebat atau orang pintar. Hanya saja ada segelintir sampah, atau lebih tepatnya penyakit yang masih kambuh di indonesia. Mereka itu seperti lintah darat, yang menyerap darah seseorang secara perlahan. Entah bagaimana membasminya, semua cara dan aturan negara telah digunakan untuk membunuh penyakit tersebut.
Sayangnya hingga detik inipun penyakit tersebut masih suka kambuh dan membuat ulah. Rakyat kecil, seperti dipakasa untuk sudi menontonya. Apakah kau tak punya malu. Hidup terfasilitasi, namun masih saja suka menyerap darah orang lain. Apakah tak pernah kau  bayangkan, kehidupan mereka yang untuk mencari makan saja, susahnya minta ampun.
Lebih parahnya lagi, peraturan yang berlaku di negeri ini. Lebih lancip kebawah, namun tumpul ke atas. Seakan-akan kau ingin kenyang sendiri. Tanpa memperdulikan keluargamu yang lain. Apakah itu yang kau sebut mewakili kita. Apakah itu yang kau sebut melayani kita. sungguh kami tak butuh dengan semua drama murahanmu itu.
Muak rasanya, sekaligus bosan melihat tingkah lakumu. Tersenyum ketika tertangkap, seakan kau lupa membuat kesalahan yang amat besar untuk negeri ini. Kau putar balikkan media demi kepentinganmu. Kau suap petugas negara, dengan darah hasil rampasanmu. Sungguh kami keecewa, sekaligus emosi melihat semua ini. Sampai kapan kau berbahagia di atas penderitaan kami.
Miris rasanya menyaksikan semua ini. Seperti melihat ibu pertiwi , di telanjangi secara perlahan oleh keluarganya sendiri. Kau nikmati....., kau rasakan....., dan kau sentuh,  tanpa memikirkan dosa-dosamu itu. Ingin sekali ku merajammu, menebus semua kesalahan fatal  yang sudah kau perbuat selama ini. Agar kau jera dan sadar, atas semua tindakan serakahmu itu.
Memang benar, tak ada waktu untuk mengingatmu. Namun di balik semua ini, seharusnya kau sadari. Negara ini terlalu lama menderita. Dari zaman kolonial belanda hingga pasukan jepang yang sudah menjajah kita. seharusnya kau sadar, untuk membuat perubahan. Bukan malah membuatnya semakin buruk. Apakah kau tak punya empati untuk memikirkan semua itu.
Di manakah letak hatimu. Apakah dia terbuat dari batu. Sehingga begitu keras, tak dapat tersentuh oleh nuranimu. Tolong pikirkan itu sekali lagi. Kuharap kau bisa melihat apa yang sudah kau perbuat selama ini. Negara ini tak butuh orang hebat, atau pintar sepertimu. Tetapi sangat membutuhkan orang yang jujur dan amanah. Sehingga mampu mensejahterakan rakyat.
Menjadi penyambung lidah, untuk menyampaikan keluh dan kesah. Menjadi penggerak, untuk kehidupan rakyat yang lebih baik kedepannya. Aku sangat merindukan model kepemimpinan seperti itu. Tak terbayang rasanya, bisa hidup dengan tenang dan nyata. Karena sejatinya negara ini memang kaya. Tapi entah kemana, kami masyarakatnya tak pernah merasakan semua itu.
Jadi tolong renungi, semua yang telah kau lakukan selama ini. Agar kau sadar, seberapa dalam luka yang telah kau berikan kepada kami. Aku tak memintamu  untuk mengobatinya. Asalkan kau perbaiki semua kesalahanmu. Itu sudah cukup untuk menyembuhkan luka kami semua. Terima kasih banyak, jika kau membuka kembali nuranimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H