Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Sarjana Pengangguran
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Jangan sesekali kalian mengeluh tentang kehidupan, bersyukurlah kalian kepada sang pencipta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sengketa Dualisme PSHT Tak Kunjung Padam, Dimana Arti Persaudaraan yang Dulu Dibanggakan?

11 Juli 2022   13:53 Diperbarui: 11 Juli 2022   16:41 7727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tak kenal dengan Persaudaraan Setia Hati Terate, sebuah organisasi pencak silat yang didirikan pada tahun 1922 di Madiun oleh Ki Hadjar Hardjo Oetomo. PSHT mengajarkan arti persaudaraan yang begitu mendalam tanpa membedakan status, ras, suku, agama maupun kepercayaan. 

Namun, sangat disayangkan apabila persaudaraan tersebut hancur lebur akibat dualisme kepemimpinan di tubuh PSHT. Bermula pada tahun 2017 silam, Drs. R. Murjoko Hadi Wiyono yang memproklamirkan dirinya sebagai ketua umum pusat yang baru. Dikarenakan ketidakpuasan atas hasil musyawarah besar (mubes) 2016 dengan terpilihnya Dr.Ir. Muhammad Taufiq SH, M.Sc sebagai ketua umum.

Dualisme kepemimpinan tersebut masih berlanjut hingga kini, meski sudah di proses ke ranah hukum. Bahkan keduanya saling mengklaim atas kepemilikan hak merek, logo, serta yayasan setia hati terate.

Bukannya memberikan solusi serta jalan keluar, anggota PSHT yang fanatik terhadap pemimpin pilihannya malah kian memperkeruh keadaan. Hal inilah yang menjadikan terpecahnya persaudaraan sesama anggota di tubuh PSHT.

Padahal PSHT memiliki makna dan arti persaudaraan yang begitu mendalam.

suatu ikatan lahir batin yang kekal abadi antara manusia satu dengan lainnya, serta tidak dapat dipisahkan oleh hal apapun

Pada tahun 2022 ini, organisasi PSHT telah menginjak usia yang ke 100 tahun, seharusnya bisa dijadikan contoh bagi organisasi pencak silat lainnya.  Dikarenakan persaudaraannya yang kekal abadi inilah, PSHT mampu bertahan hingga satu abad lamanya.

Konflik terkait kepemimpinan PSHT sebenarnya sudah pernah terjadi. Contohnya saja pada tahun 1974, dengan ditunjuknya RM Imam Koesoepangat oleh RM Soetomo Mangkoedjojo sebagai ketua umum PSHT. Hal ini dilakukan karena prestasi yang diraihnya, sehingga PSHT bisa tersebar ke luar Madiun. 

Dengan terpilihnya Mas Imam Koesoepangat, ada pihak yang merasa kecewa yaitu Santoso Kartoatmodjo. Menurut beliau, masih ada sesepuh yang lebih layak dan pantas untuk memimpin PSHT. 

Namun Mas Imam Koesoepangat menyelesaikan masalah tersebut tidak dengan menghina, menjatuhkan, serta mengeluarkannya dari organisasi. Melainkan anak-anak dari Santoso Kartoatmodjo dijadikan tokoh sejarah sebagai pelatih senam dasar pertama di PSHT.

Hal ini patut dijadikan contoh bagi pemimpin saat ini. Karena dengan adanya dualisme kepemimpinan di PSHT, yang menjadi korban adalah anggota di arus bawah. Meskipun begitu, mereka senantiasa mengharapkan bersatunya PSHT seperti sediakala, tanpa adanya perebutan kursi kepemimpinan. 

Lalu bagaimana cara kita sebagai arus bawah menyikapi dualisme di PSHT?

Sebagai insan PSHT yang dididik untuk menjadi manusia yang berbudi luhur tahu benar dan salah. Tentunya menjadi hal yang konyol apabila kita mudah menghakimi sesama anggota PSHT, merasa paling benar dan saling menyalahkan. Sedangkan kita tahu hal itu bukanlah bagian dari keluhuran budi yang kita tuju. 

Bicara mengenai benar dan salah, kedua pemimpin PSHT saat ini tidak ada yang mau disalahkan, semua memiliki pembenarannya masing-masing.

Intinya, cara yang paling efektif untuk menghindari perang saudara salah satunya harus ngalah,ngalih,ngemong. Saudara satu kandung saja banyak yang tidak bisa akur apalagi sebatas saudara se-organisasi. Karena sejatinya manusia Setia Hati bukan mengaku, melainkan diakui.

Yang menilai diri kita bukanlah diri kita, melainkan orang disekitar kita atau orang lain. Begitu pula yang mengetahui kesalahan kita ya orang lain bukan diri kita. Karena terkadang manusia sudah jelas salah tetap saja membela diri agar terlihat benar. 

Di sini kita mengajak bagi anggota PSHT yang masih memegang teguh pepacuh (wasiat luhur para pendiri PSHT) untuk sadar betul. Bahwa,

1. Bukanlah "kejayaan" jika kita masih saling menyalahkan antar saudara PSHT.

2. Bukanlah "kejayaan" jika kita masih menganggap bahwa berbeda pandang berorganisasi bukanlah saudara PSHT.

3. Bukanlah "kejayaan" jika kita masih memaknai dualisme ini sebagai jurang pemisah untuk kita bersilaturahmi antar saudara PSHT. 

Tetaplah menjaga nama baik PSHT dimanapun kalian berada. Jangan mau diadu domba oleh pihak yang menginginkan terpecahnya persaudaraan. 

Salam Persaudaraan 

Ashter.2014.Jepara

Muhammad Fauzi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun