Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Hanya seorang buruh kecil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dinamika Kehidupan Masyarakat Pulau Sebatik dari Segi Ekonomi, Sosial dan Budaya

3 Desember 2023   14:49 Diperbarui: 3 Desember 2023   15:06 2299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pulau Sebatik merupakan salah satu dari puluhan ribu pulau kecil yang dimiliki oleh negara Indonesia. Secara umum pulau ini tidak berbeda dengan pulau-pulau kecil lain di lepas pantai Indonesia, namun terdapat keunikan berupa pembagian wilayah di Pulau Sebatik ini. Secara administratif, Pulau Sebatik dimiliki dua negara berbeda yang dipisahkan oleh garis lurus yang menjadi perbatasan negara. Pulau Sebatik bagian selatan dikuasai oleh Indonesia dan bagian utara dikuasai oleh Malaysia.

Terbaginya Pulau Sebatik menjadi dua bagian merupakan peninggalan masa penjajahan oleh negara-negara Barat. Pada masa kolonialisme, wilayah-wilayah di  dunia terbagi berdasarkan kepentingan, serta ada anggapan bahwa wilayah-wilayah tersebut bukanlah tanah manusia.

Dampak kebijakan politik kolonialisme terasa ketika negara-negara jajahan memperoleh kemerdekaan. Hal ini disebabkan karena wilayah-wilayah yang memiliki kelompok budaya yang kurang lebih sama harus dipecah berdasarkan sistem administrasi nasional yang berbeda. Salah satunya adalah Pulau Sebatik.

Meskipun penduduk Pulau Sebatik berasal dari kelompok sosial dan budaya yang sama yaitu masyarakat Melayu, namun secara politik mereka juga berbeda karena tinggal di wilayah administratif yang  berbeda. Pulau Sebatik berada di antara Nunukan sebagai ibukota Kabupaten Nunukan dan Kota Tawau di negara bagian Sabah, Malaysia Timur.

Karena menjadi kawasan perbatasan, jadi wajar jika tidak hanya warga perbatasan Malaysia tapi juga warga Nunukan dan Sebatik yang melakukan aktivitas ekonomi lintas batas. Interaksi lintas batas di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia semakin intens karena adanya kesamaan sosial dan budaya antara kedua warga negara yang berbeda wilayah negara tersebut. 

Kesamaan ini juga membuat komunikasi kedua warga di wilayah ini semakin mudah. Karena luas Pulau Sebatik yang kecil, pergerakan penduduk di dalam pulau relatif terbatas, dan interaksi antar kedua wilayah semakin meningkat.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Pulau Sebatik sangat akrab dengan Kota Tawau, karena mereka membeli hampir seluruh kebutuhan sehari-hari di sana.

Bagi mereka, Kota Tawau adalah pasar tempat mereka membeli kebutuhan sehari-hari dan menjual sumber daya yang mereka miliki. Hal tersebut terjadi karena Kota Tawau menjadi kota terdekat dengan pemukiman penduduk Pulau Sebatik. Kota ini secara administratif berada di luar wilayah Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat Pulau Sebatik harus membeli kebutuhan sehari-hari dari luar negeri.

Menurut sensus penduduk tahun 2010, Pulau Sebatik memiliki luas 246,61 km2 atau 246.610 hektar, dengan jumlah penduduk sekitar 30.000 jiwa dan kepadatan penduduk 33.263 jiwa/km2. 

Pulau Sebatik yang relatif kecil tidak memiliki peluang kerja alternatif sebanyak kota-kota besar, dan juga memiliki tingkat pertumbuhan penduduk yang rendah. Dinamika pertumbuhan penduduk Pulau Sebatik tidak hanya terbatas pada pertambahan alami seperti faktor kelahiran dan kematian. Faktor migrasi juga memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan penduduk di Pulau Sebatik, seperti banyaknya WNI yang diusir dari Malaysia dan banyaknya penduduk yang tinggal di Sebatik.

Adanya fenomena tersebut menunjukkan bahwa Sebatik dan Nunukan bukan lagi sekadar kawasan transit, namun sudah menjadi sebuah tujuan. Dengan kata lain para pendatang yang berada di Pulau Sebatik mencari penghidupan yang lebih baik melalui berbagai kegiatan ekonomi. Kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan memanfaatkan lokasi Pulau Sebatik yang berbatasan langsung dengan Malaysia.

Sebagai wilayah perbatasan, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah mengembangkan kebijakan untuk memfasilitasi kunjungan timbal balik antar warga negaranya untuk tujuan ekonomi dan sosial. Kebijakan tersebut diatur dalam Permufakatan Dasar Lintas Batas Tahun 1967.

Dari segi sosial, interaksi antara masyarakat pendatang di Sebatik dan Tawau Malaysia sangat cair karena adanya ikatan kekerabatan yang kuat sebagai saudara dan keluarga dari daerah asalnya di Sulawesi Selatan. Selain itu, interaksi dengan masyarakat etnis lain dan warga Pulau Sebatik sangat harmonis dan dinamis. Konflik etnis yang berkaitan dengan kecemburuan sosial tidak pernah muncul karena adanya rasa saling menghormati.

Secara budaya, mayoritas penduduk Pulau Sebatik adalah suku Bugis yang merantau dari Sulawesi Selatan. Hal ini berbeda dengan wilayah perbatasan lain di Indonesia yang mayoritas penduduknya terdiri dari masyarakat adat lokal (local community).

Karena mayoritas Masyarakat Pulau Sebatik memiliki budaya dan adat istiadat Sulawesi Selatan menyebabkan terbentuknya kebiasaan gaya hidup masyarakat Pulau Sebatik. Misalnya, bahasa Bugis adalah bahasa yang digunakan secara luas setiap hari. Para pendatang di Pulau Sebatik yaitu suku Bugis telah membuktikan diri dalam dinamika kehidupan sosial.

Tanggung jawab sosial untuk lebih membangun dan menjaga keberlangsungan kegiatan ekonomi masyarakat menjadi pendorong utama membangun komunitas perbatasan yang kokoh dan bermartabat di mata negara tetangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun