Mohon tunggu...
Muhammad Fauzi
Muhammad Fauzi Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Hanya seorang buruh kecil yang hobi menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Permainan Politik Uang jadi Akar dari Korupsi, Apa Dampak Terburuknya?

1 Desember 2023   01:23 Diperbarui: 1 Desember 2023   01:23 1089
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika mendekati periode pemilihan, calon kepala daerah atau anggota legislatif seringkali memberikan janji-janji manis kepada masyarakat. Tak jarang dari mereka juga membagikan amplop berisi uang atau bingkisan sembako. Tindakan ini sebenarnya merupakan politik uang, suatu praktik koruptif yang kemudian membuka pintu bagi berbagai bentuk korupsi lainnya.

Politik uang atau money politic merujuk pada upaya untuk memengaruhi pilihan pemilih atau penyelenggara pemilu dengan memberikan imbalan berupa materi atau hal lainnya. Pemahaman ini mengidentifikasi politik uang sebagai salah satu bentuk suap.

Praktik ini kemudian menghasilkan para pemimpin yang hanya memikirkan kepentingan pribadi atau kelompoknya, bukan kepentingan masyarakat yang memilihnya. Mereka merasa berkewajiban untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama kampanye, termasuk dengan cara menggunakan posisi jabatannya.

Akibatnya setelah menjabat mereka terlibat dalam berbagai kecurangan seperti menerima suap, gratifikasi, atau bentuk korupsi lainnya. Tak heran jika politik uang dijuluki sebagai "induk dari korupsi".

Amir Arief, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK, menyebutkan bahwa politik uang telah menyebabkan biaya politik yang tinggi. Selain untuk membeli suara (vote buying), para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis. Tentu saja, hal ini tidak hanya berasal dari sumber keuangan pribadi, melainkan juga dari donasi yang diberikan oleh berbagai pihak dengan harapan mendapat balasan jika sang kandidat terpilih. Perilaku semacam ini dikenal sebagai korupsi investatif, yaitu investasi untuk melakukan korupsi.

Menurut Amir, penelitian mereka menunjukkan bahwa 95,5 persen keberhasilan dalam pemilu atau pilkada dipengaruhi oleh kekuatan uang. Setiap kontestan harus mengeluarkan dana sebesar Rp5-15 miliar per orang untuk hal ini.

Ancaman Serangan Fajar

Salah satu bentuk vote buying yang umum terjadi adalah yang dikenal dengan nama "serangan fajar". Konsep ini mengambil istilah dari sejarah revolusi Indonesia, di mana serangan fajar merujuk pada pemberian uang kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan dilakukan. Serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum hari pemilihan, atau bahkan beberapa hari sebelumnya.

Praktik ini dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang kompleks, dengan tujuan mendapatkan jumlah suara yang besar.

Dalam buku "Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014", disebutkan bahwa pembelian suara dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang kompleks, dan bertujuan untuk mendapatkan jumlah suara yang besar.

Sistematisitas ini terlihat dari mobilisasi tim yang besar untuk mengumpulkan data dan mendistribusikan ribuan amplop uang, serta upaya keras untuk memastikan penerima uang tersebut menggunakan suaranya sesuai dengan keinginan pemberi.

Serangan Fajar sudah menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia sejak zaman Orde Baru. Hal ini terbukti dari survei LIPI pada 2019 yang menyatakan bahwa masyarakat melihat pemilihan umum sebagai kesempatan untuk "berbagi rezeki".

Survei tersebut menemukan bahwa 40 persen responden menerima uang dari peserta pemilu, namun hal ini tidak mempengaruhi keputusan mereka dalam memilih. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan untuk memilih pemberi uang tersebut.

Tidak hanya dari perspektif masyarakat, serangan fajar juga telah membentuk tradisi buruk dalam demokrasi bagi para politisi. Mereka melihat vote buying sebagai hal yang wajar, suatu langkah yang harus diambil untuk mengalahkan rival dalam pemilihan.

Dampak Buruk Politik Uang

Pengaruh politik uang pada akhirnya akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat itu sendiri. Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak layak untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka buat tidak akan representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat menjadi hal yang diabaikan setelah kepentingan pribadi, donatur, atau partai politik.

Dampak politik uang pada akhirnya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Figur yang terpilih cenderung tidak layak untuk memimpin. Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil tidak akan representatif dan akuntabel. Kepentingan rakyat akan terpinggirkan setelah kepentingan pribadi, donatur, atau partai politik.

Figur yang terpilih berkat politik uang juga akan mendorong terjadinya korupsi di sektor lainnya. Hal ini terjadi karena figur tersebut berusaha untuk mengumpulkan uang sebagai "balik modal" dari yang telah dikeluarkannya selama masa kampanye.

Korupsi ini akan berdampak pada instansi yang dipimpinnya maupun pada masyarakat. Di dalam instansi, korupsi dapat terjadi dalam bentuk jual-beli jabatan atau dalam pengadaan barang dan jasa. Dampaknya pada masyarakat bisa berupa regulasi yang tidak menguntungkan, praktik pungutan liar, dan pemotongan anggaran yang mengarah pada penurunan kualitas pembangunan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun