BANDUNGÂ - Perlintasan sebidang masih tersebar di Indonesia, salah satunya Jawa Barat. Hal ini yang seringkali menjadi penyebab kecelakaan di rel kereta hingga menimbulkan korban jiwa. Terutama perlintasan ilegal yang tidak memiliki fasilitas penjagaan yang memadai, mirisnya jumlah perlintasan ilegal ini masih banyak.
Perlu dipahami, perlintasan sebidang adalah irisan antara jalan dan jalur kereta api yang berada di bidang tanah sama. Menurut UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang perkereta apian, perlintasan sebidang yang tidak berizin harus ditutup.
Menurut data rekap perlintasan Daop  2 Bandung tahun 2023, tercatat ada 331 perlintasan sebidang resmi dan sebanyak 28 tdak resmi. Pada data tersebut juga tercatat, dari resort Bandung hingga Cicalengka terdapat 21 perlintasan resmi dan sebanyak  6 yang tidak resmi.
Minimnya Kesadaran Masyarakat
Meskipun sudah mafhum akan bahaya perlintasan sebidang yang ilegal, masyarakat tetap mengakses perlintasan tersebut secara rutin, salah satunya perlintasan yang sering diakses terletak di wilayah RW 13, Jl. Parakan Saat, Cisaranten Endah, Kecamatan Arcamanik, Kota Bandung.Â
Warga dan pengendara yang melalui perlintasan tersebut mengaku sudah biasa melewati jalan ini karena kebutuhan akses sehari-hari dan disebabkan jauhnya perlintasan resmi dari tempat tinggal mereka. mereka mengaku perlintasan tersebut adalah jalan pintas dari arah Bypass ke Antapani.
Sidik (24) salah seorang pengendara motor mengungkapkan alasannya melewati perlintasan liar, "Saya biasa lewat sini karna memang yang paling deket cuma di sini, kalo mau ke perlintasan yang bagus muternya kejauhan," ujar Sidik.
Bukan hanya menjadi perlintasan warga, perlintasan liar ini juga menjadi sumber mata pencaharian bagi para penjaga lintasan. Di wilayah RW 13, Jl. Parakan Saat, penjagaan perlintasan dikelola oleh warga khususnya RW 12 Parakan Saat.
Ketua RW 12 Parakan Saat, Aep Saepudin (43) mengatakan bahwa pengelolaan perlintasan ini sudah ada sejak tahun 1989. Inisiatif warga untuk mengelola adalah mengamankan perlintasan yang seringkali menjadi lokasi kecelakaan karena posisi pemukiman penduduk yang menghalangi pandangan pengendara di perlintasan liar ini.
"Ini atas dasar inisiatif kami warga untuk mencegah dan meminimalisir kecelakaan di rel kereta. Untuk pendapatan kami gak dapat dari PT KAI, cuma sebatas dari pengendara yang lewat saja," jelas Aep.
Aep juga menjelaskan bahwa RW 12 selaku pengelola hanya mendapat 60 ribu rupiah per hari dari penjaga perlintasan untuk biaya kontribusi kepada masyarakat, sisanya diserahkan untuk upah para penjaga.
"Kita RW sebatas pengelola hanya meminta 60 ribu per hari, satu kali shift ada 2 orang, sedangkan sehari ada 2 shift. Dari 2 shift ini dikenakan 60 ribu sebagai biaya kontribusi kepada masyarakat," tambah Aep.
PT KAI Angkat Suara
Manager Humas PT KAI Daop 2 Bandung, Ayep Hanapi menekankan bahwa pintu perlintasan adalah tanggung jawab pemerintah selaku pemberi izin. Hal tersebut sebagaimana tertuang pada UU No. 27 Tahun 1997, bahwa pintu perlintasan merupakan wewenang pemerintah daerah.
"Menurut undang-undang No. 27 Tahun 1997, perlintasan itu tanggung jawabnya pemerintah bukan tanggung jawab KAI, tapi kita tetap bantu. Pintu-pintu perlintasan yang sudah KAI jaga tetap kita jaga, pintu perlintasan liar kalo bisa kita tutup," ujar Ayep.
Ayep juga menjelaskan kontribusi PT KAI dalam melakukan sosialisasi tentang keselamatan di pintu-pintu perlintasan. Daop 2 Bandung juga memiliki program penutupan pintu perlintasan pada tahun 2023 sebanyak 23, akan tetapi baru terealisasi sebanyak 15 pintu.
"Kita di 2023, Daop 2 punya program penutupan pintu perlintasan sebanyak 23, baru 15 yang terealisasi, masih banyak yang harus ditutup. Fungsi perlintasan adalah untuk mengamankan perjalanan kereta api bukan untuk pejalan kaki atau pengendara, jadi harus kita clear dulu," ungkapnya.
Terkait penjaga palang yang memungut sumbangan di perlintasan liar, menurut Ayep itu adalah permasalahan strukltural, di mana karena seringnya pengguna jalan memberi sumbangan kepada mereka, namun Ayep juga berterima kasih kepada para penjaga perlintasan karena membantu mengamankan perjalanan kereta api.
"Karena mereka biasa dikasih jadi sumber mata pencaharian, tapi mereka membantu saya untuk mengamankan kereta api, makanya perlu clear dulu, fungsi perlintasan apa, wewenang perlintasan ada di siapa," jelas Ayep.
Sebagai apresiasi kepada para penjaga, PT KAI sering memberi bingkisan kepada mereka, akan tetapi Ayep menegaskan bahwa itu bukan kewajiban KAI tapi hanya bentuk terima kasih atas jasa mereka dalam mengamankan perjalanan kereta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H