Aceh adalah satu satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan syariat Islam yang mengacu pada ketentuan hukum pidana islam undang-undang yang menerapkannya adalah qanun aceh nomor 6 tahun 2014 tentang hukum jinayat
Timbul pertanyaan mengapa pemerintah Aceh dan dinas syariat Islam nya dapat menerapkan syariat Islam khususnya hukum jinayat di bumi serambi Mekah?
Perang saudara di Aceh yang terjadi dalam kurun waktu 1976/2005 (30 tahun) antara pihak dari pemerintah Indonesia (RI) melawan gerakan untuk memisahkan Aceh dari NKRI yaitu organisasi pembebasan yang didirikan oleh Dr Muhammad Hasan Ditiro (cucu pahlawan kemerdekaan Teuku chik Ditiro) yaitu gerakan Aceh merdeka atau yang lebih dikenal dengan nama GAM,
Tsunami menerjang aceh pada tahun 2004 membuka mata daripada kedua belah pihak untuk melakukan gencatan senjata , Â karena alasan kemanusiaan agar bantuan dapat segera disalurkan kepada masyarakat yang terkena tsunami yang meluluhlantakkan Aceh,
 tak lama berselang pada tahun 2005 pihak daripada gerakan Aceh merdeka yaitu pimpinan yang ada di Eropa maupun yang ada di hutan Aceh sepakat dengan pemerintah Indonesia untuk melakukan negosiasi ,
Negosiasi ini ditengahi oleh LSM yang dipimpin oleh presiden Finlandia waktu itu yaitu marti Antasari yang mana pada negosiasi ini Lsm yang berkantor di Helsinki ini berhasil mendamaikan pihak yang sudah lama bertikai
 yang mana sebelumnya sudah ada beberapa perundingan tetapi mengalami kegagalan
Ceritanya dimulai disini !
Setelah damai Aceh diberikan keistimewaan dan kekhususan salah satunya adalah otonomi khusus dan diberi kebebasan pula,
 Salah satunya adalah kebebasan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah dibumi yang dikenal dengan sebutan serambi Mekah ini
Qanun Jinayat No.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, hukuman dijatuhkan kepada pihak yang dinilai melakukan perbuatan yang dilarang dalam syariah Islam, atau disebut "jarimah,"Â
Qanun No. 6 tahun 2014 (juga disebut "Qanun Jinayat") adalah perda terbaru yang mengatur hukum pidana Islam di Aceh.Â
Perda ini melarang konsumsi dan produksi minuman keras (khamar), judi (maisir), sendirian bersama lawan jenis yang bukan mahram (khalwat), bermesraan di luar hubungan nikah (ikhtilath), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan,Â
menuduh seseorang melakukan zina tanpa bisa menghadirkan empat saksi (qadzaf), sodomi antar lelaki (liwath), dan hubungan seks sesama wanita (musahaqah)
Hukuman bagi mereka yang melanggar bisa berupa hukuman cambuk, denda, dan penjara.
Beratnya hukuman tergantung pada pelanggarannya.
 Hukuman untuk khalwat adalah yang paling ringan, yaitu hukuman cambuk sebanyak maksimal 10 kali, penjara 10 bulan, atau denda 100 gram emas.
Hukuman paling berat adalah untuk pemerkosa anak; hukumannya 150-200 kali cambuk, 150-200 bulan penjara, atau denda sebesar 1.500-2.000 gram emas).
 Yang menentukan hukuman mana yang akan dijatuhkan adalah hakim.
 Menurut Amnesty International, pada tahun 2015 hukuman cambuk dilaksanakan sebanyak 108 kali, dan dari Januari hingga Oktober 2016 sebanyak 100 kali.
Hukum ini berlaku untuk semua orang Muslim ataupun badan hukum di Aceh. Hukum ini juga berlaku untuk kaum non-Muslim
 jika kejahatannya tidak diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, atau jika dilakukan bersama dengan seorang Muslim dan pihak non-Muslim secara sukarela memilih hukum Islam.
Pada April 2016, seorang wanita Kristen dicambuk 28 kali karena telah menjual minuman keras; ia adalah orang non-Muslim pertama yang dijatuhi hukuman cambuk berdasarkan qanun ini.
Lembaga-lembaga yang terkait dengan penerapan hukum jinayat di Aceh adalah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Wilayatul Hisbah (atau "polisi syariat"), dan Mahkamah Syar'iyah
 MPU terlibat dalam proses perumusan perda bersama dengan pemerintah. Namun, pada praktiknya perda dirumuskan ole DPRA dan kantor gubernur
 Wilayatul Hisbah memiliki wewenang untuk menegur mereka yang tertangkap telah melanggar hukum Islam
Mereka tidak punya wewenang untuk menangkap atau mendakwa tersangka, sehingga mereka harus bekerja sama dengan polisi dan jaksa untuk menegakkan hukum
Walaupun qanun jinayat sudah dijalankan tetapi banyak juga pihak yang kontra terhadap qanun atau peraturan ini .
Salah satunya adalah amnesti internasional dan beberapa organisasi perempuan yang menilai pemberlakuan hukum jinayat ini melanggar UUD 1945 , hak asasi manusia,dan diskriminasi terhadap perempuanÂ
Walaupun begitu kita semua tetap harus menghormati konstitusi yang ada di Aceh.
Karena semua aturan yang diberlakukan disana sudah dikaji secara mendalam dan matang serta menerima berbagai aspirasi masyarakatÂ
Sudah sepantasnya semua elemen masyarakat umumnya Indonesia khususnya Aceh mendukung penuh pemberlakuan syariat IslamÂ
Karena Islam diaceh bukanlah Islam yang selalu dikaitkan dengan ISIS (islami state of iraq and Syiria) ataupun islam radikal yang selalu diberikan oleh pihak pihak yang tidak bertanggung jawab
Dan sudah saatnya masyarakat Aceh khususnya, menata diri untuk lebih baik dan merubah sedikit demi sedikit tata kehidupan yang tidak sesuai dengan syariat Islam
Serta pemuda-pemudi sepenuhnya mendukung pemberlakuan syariat Islam khususnya hukum jinayat dan menjauhi larangan yang dilarang didalam agama Islam , seperti pacaran, judi , narkoba dll
Semogapenerapan syariat Islam di Aceh menuju ke tingkat yang sempurna yaitu penerapan syariat Islam secara kaffah Amin ya rabbal alamin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H