Pemilihan umum (Pemilu) bertujuan untuk memlih wakil rakyat yang nantinya akan menduduki lembaga permusyawaratan/perwakilan rakyat, membentuk suatu pemerintahan, melanjutkan perjuangan kemerdekaan, dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pada tahun 2024 akan menjadi tahun politik bangsa Indonesia karena akan diselenggarakannya pemilihan umum (Pemilu). Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) yang mengatakan bahwa untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan nasional sebagaimana termaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu diselenggarakan pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Menjelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu), pastinya banyak bakal wajah-wajah baru yang akan mencalonkan diri menjadi anggota DPR, DPRD, Presiden maupun Wakil Presiden, namun untuk mendapatkan suara dari masyarakat tentunya harus memahami beberapa hal, salah satunya yaitu Psikologi Politik.Â
Dekan Fakultas Psikologi Universitas Negeri Makassar (UNM), Dr. Muhammad Daud mengungkapkan, Ilmu Psikologi Politik dapat digunakan untuk mendapatkan suara dari masyarakat sebagai pemilik hak suara. "Kalau aktor politik ini memahami psikologi, tidak terlalu sulit mereka mendapatkan simpati, pengaruh dan dukungan dari masyarakat pemilih, tanpa menjanji sekalipun tidak perlu," ungkapnya saat mengikuti program podcast di Kantor Rakyat Sulsel, Jumat (4/11/2022).
Psikologi politik adalah bidang akademik interdisipliner, yang didedikasikan untuk memahami politik,politisi dan perilaku politik dari perspektif psikologis, dan proses psikologis menggunakan perspektif sosial-politik.Â
Hubungan antara politik dan psikologi dianggap dua arah, dengan psikologi digunakan sebagai lensa untuk memahami politik dan politik digunakan sebagai lensa untuk memahami psikologi. Sebagai bidang interdisipliner, psikologi politik meminjam dari berbagai disiplin ilmu, termasuk: antropologi, ekonomi, sejarah, hubungan internasional, jurnalistik, media, filsafat, ilmu politik, psikologi, dan sosiologi.
Psikologi politik bertujuan untuk memahami hubungan saling ketergantungan antara individu dan konteks yang dipengaruhi oleh keyakinan, motivasi, persepsi, kognisi, pemrosesan informasi, strategi pembelajaran, sosialisasi dan pembentukan sikap. Teori dan pendekatan psikologi politik telah diterapkan dalam banyak konteks seperti peran kepemimpinan, pembuatan kebijakan dalam dan luar negeri, perilaku dalam kekerasan etnis, perang dan genosida, dinamika dan konflik kelompok, perilaku rasis, sikap dan motivasi memilih, pemungutan suara dan peran media, nasionalisme, dan ekstremisme politik.
Pada dasarnya psikolog politik mempelajari dasar-dasar, dinamika, dan hasil dari perilaku politik menggunakan penjelasan kognitif dan sosial. Pada tahun 2006, para ilmuwan melaporkan hubungan antara kepribadian dan pandangan politik sebagai berikut "Anak-anak prasekolah yang 20 tahun kemudian relatif liberal dicirikan sebagai  pengembangan hubungan dekat, mandiri, energik, agak mendominasi, relatif di bawah kendali, dan tangguh. Anak-anak prasekolah kemudian relatif konservatif pada usia 23 tahun digambarkan sebagai: merasa mudah menjadi korban, mudah tersinggung, ragu-ragu, takut, kaku, terhambat, dan relatif terlalu dikendalikan dan rentan.
Beberapa akademisi terkemuka di bidang ini termasuk Dr. Chadly Daniel Stern, yang saat ini bekerja di Departemen Psikologi di University of Illinois, Urbana Champaign. Penelitiannya berpusat pada menjawab pertanyaan kognitif sosial tentang bagaimana sistem keyakinan politik seseorang membentuk cara mereka memandang dunia dan interaksi mereka sehari-hari.
Psikologi politik menggunakan dua perspektif secara terintegrasi untuk menggambarkan perilaku aktor politik. Personality and Politics (1969) yang ditulis Fred Greenstein menjelaskan bahwa (1) tindakan yang ditampilkan seseorang merupakan hasil dari dua hal utama, yaitu karakteristik pribadi dan lingkungan tempat orang itu berada; (2) semakin kabur dan tak terstruktur lingkungan, semakin besar karakteristik pribadi pemimpin memengaruhi tindakannya.